Penulis: Annemarie Schimhmel
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: April - 2017
Genre: Nonfiksi, Education
Jumlah Halaman: 292 h
Nama Pereview: Anisah Busthomi
Nafs, cinta, wanita, dan Tuhan. Kata-kata itu menjadi mata rantai tak tersambung secara kasat mata, tapi akan terhubung secara mendalam dalam bacaan ini. Kita mulai dengan “Wanita”. Di kalangan jazirah Arab wanita dianggap sabagai aib dan patut dimusnahkan saat terlahir ke muka bumi. Jahiliyah! Ya, jaman kebodohan dimana islam secara akomodatif belum masuk pada kalangan perusuh, perusak moral, bahkan tidak manusiawi. Setelah islam masuk dan tersebar ke seluruh penjuru Arab, sikap ketidakmanusiaan yang sudah menjadi tradisi perlahan terhapuskan. Berikut marginalisasi terhadap kaum perempuan. Siapa yang mampu menyerukan dengan sangat pagan keadilan tersebut? Rasulullah. Bagaimana pandangan Rasulullah terhadap wanita? Huft..! perlu menghela nafas dalam-dalam sambil menikmati seruputan kopi hangat, sebelum membaca ulasan berikut tentang buku ini.
Rasulullah bersabda: Allah telah membuatku menyayangi dari duniamu kaum wanita dan wewangian, dan kebahagiaan bagi mataku adalah ketika shalat (Kaum Wanita dan Nabi h. 61).
Rasulullah sebagai sufi panutan dari para sufi menganggap perempuan sebagai jiwa yang tidak bisa dipandang remeh. Inilah sebabnya kita tidak bisa mengabaikan peranan penting para perempuan nabi dan rasul di sepanjang sejarah. Khadijah istri rasul, sekaligus sahabat dan ibu bagi rasul telah memberi peranan besar terhadap perkembangan dunia islam. Begitupun Aisyah istri rasul yang tak kalah menakjubkan dalam mempresentasikan keilmuannya untuk kaum wanita di sepanjang zaman. Kallimi Ya Humaira: “Bicaralah kepadaku, wahai gadis kecilku yang kemerah-merahan” (M I 1972, cf.M VII, h. 134) Ungakapan Rasulullah tersebut menjadi penafsiran yang mendalam para ahli mistik bahwa, untaian kata yang lembut tersebut merupakan panggilan kasih untuk Ruh Ilahi yang terkasih dari sang kekasih baik pria maupun wanita. Di sinilah mulai tampak kaitan cinta, wanita, dan Tuhan.
Kitab suci Alquran jarang menyebut nama wanita secara khusus dalam Alquran. Kecuali satu yaitu Maryam sebagai ibu perawan Nabi Isa yang dengan kesendiriannya, berjuang melahirakn Isa dengan rasa sakit yang tiada bandingnya, yang, berpegangan erat pada sebuah pohon kurma kering yang seketika itu juga Maryam dihujani kurma manis dari pohon tersebut, Surah Maryam (19): 25. Bagaimana dengan Hawa? Alquran tidak menjelaskan bahwa Hawa adalah penyandang dosa secara biologis bagi Adam dan para generasi wanita selanjutnya. Banyak penafsiran-penafsiran imajinatif yang jelas-jelas tidak ada dalam Alquran bahwa akibat kecerobahan Hawa yang dilakukan di syurga, membuat Allah menhukumnya dengan cara mengurangi kemampuan perempuan dalam bidang agama, dan juga untuk menjadi saksi dan warisan. Penafsiran ini diperkuat dengan perintah Allah dalam Alquran, yang menyatakan bahwa dua orang wanita dibutuhkan menjadi saksi sebagai penggganti satu orang pria (QS. Al-Baqarah [2] : 282) dan anak perempuan menerima warisan lebih sedikit daripada anak laki-laki (QS. A-n-Nisa’ [4]: 11). Parahnya lagi, Allah seakan-seakan tidak memperbolehkan seorang perempuan melayani siapapun, dengan hukuman menstruasi pada perempuan. Bukankah Allah tetap mendengar dzikir dan doa para perempuan menstruasi?. Penafsiran tersebut membuktikan bahwa betapa banyaknya asumsi-asumsi kosong yang tersebar luas di dunia literasi tanpa berdasarkan dari Nash Alquran.
Nafs, yang selalu dikaitkan dengan perempuan. Mengapa demikian? Berbalik pandangan kebelakang . Zulaikha, istri seorang Raja Pothipar, yang mengarahkan segala kemampuannya untuk menggoda dan merayu seorang Nabi Yusuf, selalu menjadi paradigma negatif perempuan dengan nafsu rendahan. Nobody can’t see! Rasa sakit Zulaikha menahan rindu dan cinta yang bertepuk sebelah tangan dari seorang Yusuf. Berpuluh-puluh tahun Zulaikha bersedih dan menangis sampai ia buta, meratapi kadatangan Yusuf yang entah pasti atau tidak seorang Yusuf akan bersatu dengannya. Tidak cukup Nabi Ya’qub yang buta karena menangisi Yusuf, putranya. Sampai pada suatu ketika di tengah per-kelana-annya, Zulaikha tersimpuh di tanah dengan urat-urat yang mulai lemah termakan usia rentanya. Datanglah Yusuf dengan kuda yang ditunggangi di depan Zulaikha, Yusuf terkejut melihat orang yang tua renta yang sangat bodoh tetap mencintainya. Seketika Yusuf memohon kepada Allah unutk mencabut nyawa Zulaikha yang sudah mendatangkan aib pada Nabi Yusuf disaat berusaha menggoda Yusuf. Datanglah malaikat dan berkata: “Kami tidak akan menyingkirkannya, sebab dalam diri wanita itu ada cinta yang sangat besar bagi orang yang Kami cinta, yaitu Nabi Yusuf”. Hanya pikiran tantang Yusuf ynag membuatnya tetap hidup. Zulaikha hanya memikirkan namanya sebagaimana jiwa hanya memikirkan sang Ilahi. Dalam karya Ibu ‘Arabi: Futuhat al-Makkiyah (II 375) “Diceritakan bahwa Zulaikha pernah terluka akibat anak panah ynag menancap pada bagian tubuhnya. Ketika darahnya menetes ke tanah, darah tersebut bertuliskan “Yusuf”, karena nama Yusuf sudah menjadi darah dalam urat nadinya. Sesorang hanya melihat robekan di baju Yusuf, tidak pada penderitaan cinta dan rindu yang mendalam pada Zulaikha yang dideritanya salama bertahun-tahun. Allah mempersatukan mereka, dan menjadikan Zulaikha sebagai perempuan yang benar-benar menyatu dengan Tuhannya. Kisah Yusuf dan Zulaikha merupakan kisah tentang jiwa yang sangat merindukan sumber segala keindahan, merindukan Tuhan. Dan para pencari itu (pria maupun wanita) dianggap identic dengan Zulaikha ( h. 84 dst). Lengkap sudah relasi antara nafs, cinta, wanita, dan Tuhan.
Berawal dari cinta. Akal, agama, dan rasa malu – cinta telah menaklukkan ketiga-tiganya!, Syah ‘Abdul Lathif seorang sufi kuno, India. Kisah Ratu Syeba (Bilqis) yang meninggalkan kekayaan, kecantikan, dan keegoisannya di padang pasir yang luas. Semua demi cinta pada Sulaiman yang akhirnya nafs yang selalu diidentikkan dengan nafsu yang rendah menjadi kesucian cinta pada sang Ilahi. Penyair mistik terbesar islam, Maulana Rumi, menganggap ketiga wanita itu semuanya tampil dengan melambangkan jiwa yang penuh kasih (Maryam, Zulaikha, dan Bilqis). Sohni Mehanwal, Omar Marui, Rabiah al-Adawiyah, dan wanita lainnya ynag ada dalam buku ini menjadi jiwa pembawa cinta yang benar-benar menyatukan diri pada sang Khaliq (h. 227,244,dst). Buku ini dikarang oleh penulis asal Jerman Prof. Dr. Annemarie Schimmel yang barang tentu tak tanggung-tanggung kelimuannya dalam mengisahkan para asketik perempuan yang pantas menajadi teladan dalam Islam tentang kesetaraan wanita, pemikiran Nabi Muhammad, Alquran, dan bahasa feminine tradisi sufistik , sebagai bentuk kritikan pada feminis Barat ynag menghakimi islam tanpa meluangkan waktu untuk memahami budaya, bahasa, dan tradisi Islam yang sudah berkembang. Dilengkapi dengan syair-syair indah Rumi yang menjadi penyelamat bagi para pemikir tentang perempuan yang dipenuhi dengan nafsu rendah dan subtansi buruk ke-perempuan-an yang melekat padanya ( Matsnawi I-IV). Buku ini menarik dan menyimpan banyak makna. Meskipun menurut saya, perlu membaca berulang-ulang untuk memahami maknanya. Selamat memabaca….
20/11/2018
Ada pdf buku ini?
BalasHapusKami tidak tahu Kak, karena buku yang diresensi oleh komunitas kami merupakan buku fisik yang original, kalau pun ada e-book-nya, kami pastikan legal. Terima kasih 😊
Hapus