Penulis: Asma Afsaruddin
Penerbit: Mizan
Tahun terbit: Oktober 2018
Genre: Nonfiksi
Pereview: Nur Hayati Aidah
Salah satu buku yang menurut saya wajib dibaca saat ini adalah buku yang dianggit oleh profesor studi Islam dan bahasa Arab dari Norte Dame, Asma Asfaruddin. Bukan karena saya bekerja di penerbit di mana buku ini diterbitkan, kemudian merekomendasikannya. Bukan. Saya merekomendasikan buku ini secara pribadi, lepas dari status saya sebagi pekerja di penerbit tersebut.
Asma dalam buku ini telah bekerja dengan sangat tekun dan teliti untuk menelusuri evolusi makna jihad dan syahid. Jihad, kata asma, saat ini cenderung dimaknai hanya sebagai peperangan atau kegiatan kombotan. Padahal, jihad yang terderivasi dari kata j-h-d memiliki makna asal bersungguh-sungguh. Namun, makna jihad belakangan ini tereduksi sebagai sesuatu yang menakutkan, menyeramkan dan identik dengan pertumpahan darah. Ini tentu tidak lepas dari berbagai kekerasan atas nama agama dan kemudian diklaim sebagai bentuk jihad. Kita lihat di semanjung Arabia dan negara-negara padang pasir yang porak-poranda karena seruan jihad (yang bisa jadi) salah makna.
Pergeseran makna jihad itu, menurut Asma, tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial dan politik yang terjadi pada setiap masa. Pergeseran makna jihad bermula tentu saja setelah wafatnya Nabi dan keempat sahabat penerusnya. Mufasir, perawi, cendikia, dan tentu saja penguasa adalah orang-orang yang mempunyai peranan penting dalam evolusi makna jihad tersebut. Karena di tangan mereka, kata jihad dalam teks-teks agama kemudian ditafsiri sesuai dengan 'kebutuhan'. Asma menyebut bahwa evolusi makna jihad malah sudah ada pertama kali saat peristiwa Karbala, saat itu Muawiyah menggunakan teks-teks agama (hadis) untuk menggelorakan perang terhadap Sayidina Husein. Dan yang terjadi kemudian adalah belasan rombongan Sayidina Husein diserang dengan brutal oleh Muawiyah dan pasukannya.
Peran cendikia terutama mufasir dan perawi yang pro dengan kekhalifahan Umayyah kemudian menafsiri teks-teks agama sesuai dengan kebutuhan mereka melakukan ekspansi wilayah dan melegitimasi kegiatan perang tersebut. Di antara cendekia yang terkenal condong pada peperangan pada masa Bani Umayyah adalah Makhul al-Dimasyqi (w. antara 112 H/730 M dan 119 H/737 M, seorang ahli fikih berkebangsaan Suriah. Sejumlah riwayat yang disandarkan kepada dalam kitab Mushnnaf menganjurkan kegiatan militer yang jeras sebagai jihad wajib. Adalah ‘Abdul Razzaq yang menentang keras tentang jihad kombatif tersebut dan menganggapnya sebagai glorifikasi jihad militer secara berlebihan.
Peperangan (qital) memang satu di antara makna jihad, namun makna itu bukanlah satu-satunya makna yang bisa dipakai dan dilaksanakan. Pada beberapa riwayat, terlihat jelas bahwa Nabi tidak hanya memaknai jihad bukan sebatas perang belaka dan melulu pertumpahan darah. Haji, umrah, menafkahi keluarga dan merawat orang tua adalah juga bagian dari jihad. Dan itu terekam jelas pada dalam sebuah hadis, yang diriwayatkan 'Abdullah bin "Umar, Nabi menasihati seorang pria yang ingin pergi berperang daripada merawat orangtuanya, bahwa "perjuangan (jihad) itu ada pada kedua orantuanya" (fa fihima jihad). Pada versi lain yang diriwayatkan oleh generasi Tabi'in dari Basrah, Muslim bin Yasar, Nabi Muhammad Saw. menasihati seorang pemuda agar kembali kepada keluarganya dan merawat anak-anaknya yang masih kecil karena itu termasuk jihad yang baik untuk mereka ( fa inna fihim mujahid hasan).
Juga sebuah riwayat yang datang dari 'Abdul Razzaq dari Ma'mar dari 'Abdul-Karim [bin Malik] al-Jazari menuturkan bahwa seseorang mendatangi Nabi dan berkata kepada beliau, "Aku adalah orang yang penakut; aku tak [terbayang] bisa menghadapi musuh." Nabi menjawab, "Maukah kutunjukkan kepadamu jihad yang tidak melibatkan peperangan?" Orang itu nampak ingin tahu, lalu Nabi bersabda "Haji dan umrah diwajibkan atasmu."
Bahkan, melakukan pekerjaan harian untuk menafkahi keluarga atau diri sendiri adalah adalah jihad. Sebagaimana cerita bahwa Nabi ditanya, "Apakah hanya yang terbunuh saja [yakni di medan perang] yang berjuang di jalan Allah?" Nabi menjawab, "Barang siapa berikhtiar di dunia dengan pekerjaan yang halal untuk menafkasi keluarganya, maka dia di jalan Allah; barang siapa yang berikhtiar di dunia dengan pekerjaan halal untuk menghidupi dirinya, maka dia di jalan Allah. Barang siapa mencari kekayaan duniawi (al-takatsur) maka dia telah tergelincir ke jalan setan (fa-huwa fi sabil al-syaithan).
Sudah saatnya kita kembali pada makna jihad yang tak melulu pertumpahan darah. Pedagang asongan yang menjajakkan dagangannya di tengah teriknya matahari adalah mujahid. Karena dengan hasil dagangannya itulah ia mampu menafkahi keluarga dan menyekokahkan anak-anaknya. Ia sedang berjalan di jalan Allah.
Seorang pelajar yang belajar dengan tekun. Karena dengan itu ia bisa 'memerangi' kebodohan dan mengajarkan cinta kasih pada sesama. Ia adalah mujahid di jalan Allah. Seorang ibu membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang. Supaya anak-anaknya kelak bisa tumbuh menjadi anak yang saleh dan salehah dan menebarkan kebaikan. Ia adalah mujahidah yang berjalan di jalan Allah.Seorang dokter mengobati pasiennya dengan sepenuh hati dan sungguh-sungguh. Ia adalah mujahid yang berjalan di jalan Allah karena menolong sesama.
Setiap kita bisa berjalan di jalan Allah apapun profesi yang dilakoni dengan niat yang baik.
Berjalan di jalan Allah tak melulu perkara berperang di medan perang dan tak hanya dengan perkara-perkara (yang terlihat) ukhrawi. Pekerjaan dunia yang diserahkan dan niatkan pada kebaikan adalah jalan menuju Allah.
20/11/18
20/11/18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar