Judul Buku: God, Do You Speak English?
Pengarang: Jeff Kristianto, Nina Silvia, Rini Hanifa
Penerbit: Renebook
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: 331
Genre: Nonfiksi
Peresensi: Anisah Busthomi
Bagi setiap penikmat perjalanan (traveler/explorer) akan ada banyak tujuan yang bermacam-macam dalam menikmati perjalanan mereka. Mengelilingi suatu tempat karena semata-mata untuk berpetualang meskipun faktanya dana bagai melilit leher, mengetahui kebudayaan suatu daerah, bersenang-senang menikmati alam yang berbeda; atau bahkan hanya sekedar gengsi untuk meningkatkan hirarki sosial mereka. Yah, apa dikata, jika memang alasan terakhir menjadi idaman bagi para traveler. Akan ada banyak foto dari hasil cekrak-cekrek di depan suatu tempat yang mereka kunjungi di berbagai akun sosial. Tanpa menilik lebih jauh apa makna yang terkandung dalam objek wisata atau tradisi yang berlaku di suatu daerah yang mereka kunjungi. Beda tuai-an beda pula hasil panen yang akan didapatkan.
Lantas, apa yang menarik tentang sebuah perjalanan di buku ini dibanding deskripsi para traveler di atas? Buku yang ditulis oleh tiga orang “Volunteer Indonesia” (Jeff, Nina, dan Rini) ini memberikan respon adrenalin yang berbeda. Petualangan mendampingi masyarakat lokal yang terpinggirkan akan memahami hak-hak mereka sebagai masyarakat miskin yang juga berhak mendapat pengakuan yang setara dalam kehidupan sosial, informasi yang memadai, teknologi mutakhir yang menjadi penyambung mereka lebih berani menghadapi dunia yang lebih luas. Mereka bertiga berasal dari latar belakang yang berbeda. Jeff merupakan pemilik usaha kerajinan di Bali, Nina bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat lingkungan dan kemanusiaan, sedangkan Rini staff lembaga donor internasional. Mereka bertiga bergabung dengan Voluntary Service Organization (VSO) Indonesia. Jeff bekerja membantu para pengrajin di Tajikistan, Negara bekas jajahan Uni Sofyet di Asia. Nina membantu lembaga pendukung suku asli di Bangladesh. Sedangkan Rini ditempatkan di Guyana, Amerika Latin sebagai pembantu LSM lokal di sana. Lebih jauh dari Jeff dan Nina. Lebih tepatnya perjalanan mereka sangat dekat dengan kehidupan warga, erat dengan kebudayaan-kebudayaan mereka, serta harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang, cuaca dan iklim belum tentu bersahabat dengan mereka. Singkatnya, perjalanan mereka tidak sekedar berpetualang dan senang-senang semata.
Dimulai dengan Tajikistan! Penerbangan Bali-Jakarta-Istanbul-Dushanbe, kemudian dua minggu lagi akan memasuki Khujan, kota kecil bagian utara Tajikistan. Perasaan menjadi campur aduk saat Jeff berada di ruang tunggu Istanbul-Dusehanbe. Perjalanan panjang di negeri orang akan benar-benar nyata terjadi. Memasuki Bandara Dushanbe Jeff mengambil kesempatan untuk mengabadikan momen sembari menunggu antrean pengurusan visa. Tak lama setelah flash HP mulai menyala tiba-tiba petugas keamanan bandara berteriak dan merampas HP milik Jeff. Jeff kaget dan sedikit ketakutan. Padahal di lokasi tersebut tidak ada peringatan untuk tidak mengambil gambar di area Dushanbe. Segerombol petugas keamanan yang tidak mengerti bahasa inggris marah dan ingin membanting HP Jeff. Hanya demi sebuah foto yang tidak berbobot, Jeff kehilangan uang USD 50. Para petugas keamanan meminta Jeff menepi dan bersembunyi saat memberikan denda tersebut. Keparat! Mereka memerasku. Tajikistan adalah Negara mayoritas islam yang tidak kelihatan islam. Busana yang mereka kenakan mayoritas tidak keislam-islaman. Semua akses informasi dibungkam. Tidak ada yang berani untuk mengkritik pemerintahan di media sosial. Apalagi hujat-menghujat, caci-mencaci, itu bukan Tajikistan banget, kata Jeff.
Lain keadaan dengan Nina. Nina menjadi buronan intel saat berada di Bangladesh. Status dia sebagai orang asing di Bangladesh menjadi permasalahan yang saat itu sedang bergejolak dan memanas. Belum lagi permasalahan antara suku asli Bangladeh yang terdiskriminasi oleh etnis mayoritas Bengali di Bangladesh bagai puncak gunung es yang siap mengguyur Bangladesh. Harusnya saya sebagai sukarelawan VSO Indonesia mengurus surat izin dan mendapat perlindungan dari para intel Bangladesh, kata Si Nina. Namun sayang, Raja Bangladesh tidak mau repot dengan urusan administrasi, sehingga saya menjadi tahanan yang diselundupkan oleh intel Bangladesh. Benar-benar menguras emosi. Cerita lain dari cacatan hitam seorang Nina di Negara tersebut, Bangladesh menyimpan kekayaan budaya yang tidak bisa diganggu gugat. Para perempuan di Bangladesh hidup dengan bercocok tanam. Jika tidak bercocok tanam mereka akan mati. Tidak ada yang berani menggamggu tanah pertanian mereka. Selain itu, Bangladesh merupakan Negara yang sangat ketat menetapkan kebijakan terhadap masalah lingkungan. Terutama pembuangan sampah sembarangan.
Para Amerindian sudah terbiasa hidup dengan kehidupan kekeluargaan yang cukup pelik dan sulit dimengerti. Bagaimana bisa seseorang dapat hidup; tinggal bersama dalam jangka waktu yang lama tanpa sebuah pernikahan? Itu sudah biasa. Nicholas bercerita kepada Rini tentang kehidupan kakek dan neneknya. Dia adalah laki-laki terkahir dari sekian banyak lelaki yang pernah dekat dengan nenek dan tinggal lama sampai sekarang dengan nenek. Hubungan kekeluargaan yang terjalin antar warga di Moco-Moco, Guyana Amerika Latin menjadi hubungan yang sangat aneh bagi saya. Karena mereka bebas hidup dengan siapapun tanpa sebuah ikatan pernikahan. Ntah! Namun yang pasti ini cerita awal saya di Amerika Latin. Bergelut dengan kebudayaan yang unik yang harus saya pahami.
Kalau dipikir, dungu sekali. Jauh-jauh menyiksa diri di negara orang, bayaran murah belum lagi harus meninggalkan pekerjaan dan keluarga di negeri sendiri. Ya, ini bukan masalah zona nyaman. Tapi pengabdian untuk dunia, proses belajar, cinta kemanusiaan, yang mungkin akhirnya mereka mendapat bonus berpetualang, sesekali bersenang-senang menikmati alam baru. Selamat berjuang, Bro!
sayang ngga ada kota terbit,ke pengurangannya dan penutupnya
BalasHapus