Pengarang: Yusri Fajar
Penerbit: Aditya Media Publishing
Tahun terbit: Februari 2012
Jumlah halaman: xxiv + 162 halaman
Genre: Fiksi
Pereview: Ihdina Sabili
Merantau adalah suatu hal menarik, menantang, dan sangat mengesankan. Ada beberapa fase kehidupan yang menuntut manusia untuk bergerak, tinggal di tempat yang jauh dari tanah kelahiran, dan juga berpisah sementara dengan orang-orang terkasih. Bukankah jarak adalah keniscayaan dalam kehidupan.
Membaca Surat dari Praha adalah impianku sejak mengenal Angga Dwimas Sasongko, kekagumanku pada film-film racikannya mengantarku pada buah karya Yusri Fajar ini. Dari Angga aku belajar memaknai seni lebih luas, tidak sekadar puisi dan prosa, tidak harus berkarya dalam literasi demi menyuarakan kebenaran melalui jurnalistik saja. Karena sesungguhnya semua karya seni memiliki keterkaitan.
Bukankah antara fotografi, sinematografi, dan literasi merupakan poin-poin yang tak terpisahkan. Dan seni merupakan aspek yang tidak akan terhenti pada satu masa. Dia akan terus bergerak, dinamis, dan berkembang sesuai perputaran manusia dan zaman. Dengan membaca Surat Dari Praha ini, serasa membaca pergerakan hidup Yusri sekaligus inspirasi-inspirasi yang begitu liar berlarian di kepalanya. Perjalanan dari kota ke kota, dari negara ke negara, dari benua ke benua. Semua terhimpun dengan apik di tiap-tiap judulnya.
Di dalam kumpulan cerita pendek berhalaman 162 ini berisikan 14 judul ini dengan sempurna menggambarkan kehidupan sosial para perantau tentang suka duka jauh dari tanah air. Dari judul Bunga Tulip kita akan menyusuri kisah romansa dengan paradoks latar belakang sejarah yang mengendap kuat di hati si tokoh utama. Lain halnya pada judul Seaboma dan Patrick, pada cerita ini akan kita temukan sebuah hubungan sosial antar benua dapat terjalin kuat dalam ikatan persahabatan. Saling membutuhkan dan menolong menjadikan manusia tidak bisa lepas satu sama lain, baik di negeri sendiri, terlebih di negeri rantau.
Tibalah fokus pada judul inti, yakni Surat Dari Praha, mengingatkan kondisi berada di tengah-tengah masyarakat Indonesia di sebuah masa, di tahun-tahun penuh gejolak politik dan kenegaraan. Gejolak perlawanan rakyat jelata pada rezim militer dan oknum pemerintahan. Yusri dengan cantik meramu kisah fiksi dalam kondisi psikologis masyarakat Indonesia di kala itu, disisipkan rasa kegamangan dan kegundahan pada tokoh Marwo begitu dalam, menggetarkan para pembaca dan membayangkan jika kondisi seperti itu terjadi saat ini.
Pantas saja Angga terpincut dengan kisah fiksi pendek ini, berbagai aspek kehidupan lengkap teramu di dalamnya, juga aspek romansa yang kerap diminati oleh pemirsa sinema Indonesia era kini. Selain 3 judul yang tersebut di atas, semua kisah-kisah lainnya seluruhnya mengambil latar tempat dan suasana di negeri-negeri Eropa. London, Munchen, Bayern, Leeds, hingga Praha. Suasananya begitu lengkap tergambar dari deskripsi-deskripsi indah penulis yang kini menjadi salah satu pengajar di Universitas Brawijaya Malang ini.
Satu lagi yang sangat menarik dari peramuan kisah-kisah Yusri ini adalah bagaimana dia membungkus endingnya. Cerdas, menarik, dan menggelitik. Hampir keseluruhan ending cerpen bersampul putih semu biru ini menimbulkan pertanyaan yang menggantung di benak pembaca. Juga mengundang ketertarikan pembaca pada indahnya negeri-negeri di bumi bermusim empat itu. Akhir kata, satu kata untuk Yusri Fajar dalam Surat Dari Praha : Cadas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar