Pengarang: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: 2016
Jumlah Halaman: 270
Genre: Fiksi
Pe-review: Iffah Hannah
"Tumbuh dewasa rasanya seperti itu. Waktu masih kecil, semua orang perhatian. Tapi, begitu dewasa, sedikit demi sedikit, kamu hilang dari pandangan. Makanya, orang dewasa pakai makeup, berdandan rapi, pakai baju bagus... Karena kalau nggak, nggak akan ada yang melihat mereka. Penampilan, bagi orang dewasa, itu seperti baju untuk manusia transparan-membuat orang sadar kalau mereka ada. Karena biasanya, di dunia orang dewasa, orang-orang nggak cukup punya perhatian untuk menunggu kamu bicara dan bilang kalau kamu ada." (hal 40-41)
Emina, gadis 25 tahun yang bekerja sebagai salah seorang sekretaris di suatu kantor mendapatkan kiriman mawar, hyacinth biru, melati yang dibawa oleh balon perak terbang hampir setiap hari di balkon apartemennya. Keingintahuannya terhadap stalker pengirim bunga itu membuat rekan sekantornya, Nissa, ngomel-ngomel. Menurut Nissa, stalker itu bisa berbahaya dan bukannya mencari tahu identitas si stalker, Emina harusnya lapor polisi saja.
Tapi, rasa penasaran Emina dan keinginan untuk membuka misteri itu mengantarkan Emina pada perkenalannya dengan bocah SD misterius nan aneh bernama Suki yang ternyata berkomplot dengan si stalker untuk mengirimi Emina bunga. Dari situlah Emina bertemu identitas stalkernya, seorang lelaki pengidap fobia suara dan sentuhan: seorang korban perang Aljazair yang kehilangan orang tuanya.
Persahabatan antara Emina dan si stalker, dan surat-surat aneh yang ditemukan si stalker dari koleksi buku kakeknya membuat mereka menjadi akrab dan mengarungi tempat-tempat kuno Jakarta (yang disebut dalam surat-surat yang mereka) setiap lewat tengah malam sampai sebelum pagi. Dan berkat Suki, mereka akhirnya berhasil menemukan jawaban siapa penulis dan penerima surat-surat itu, kisah tragis percintaan di masa lalu, dan rahasia-rahasia yang selama ini terkurung dalam sebuah kamar terkunci di rumah kakek si stalker.
"Kadang-kadang, orang membaca buku supaya dikira pintar. Lalu mereka membaca buku sastra terkenal, buku yang mendapat penghargaan. Dan, meskipun mereka nggak menyukainya, mereka bilang sebaliknya karena ingin dianggap bisa memahami pemikiran sastrawan kelas atas. Ini adalah hal bodoh. Jangan pernah membaca karena ingin dianggap pintar; bacalah karena kamu mau membaca, dan dengan sendirinya kamu akan jadi pintar." (hal 72)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar