Judul Buku: Saring sebelum Sharing
Penulis: Prof. Nadirsyah Hosen
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: 2019
Genre: Nonfiksi, Islamic Literature
Jumlah halaman: 328
Pereview: Dian nur hidayah
Saat membaca judul buku ini “Saring Sebelum Sharing” saya fikir isinya akan mengungkapkan banyak hal tentang fenomena hoax saat ini yang dikaitkan dengan hadits sebagai rujukan ilmu agar kita berhati-hati dalam menyaring berita. Nyatanya, hoax sedang menjadi makanan sehari-hari yang meresahkan, mudah di share tanpa pertimbangan dan akhirnya kita sulit membedakan mana berita valid atau palsu karena saking lihainya pabrik hoax memproduksi berita yang profokatif bahkan merusak kewarasan masyarakat.
Ternyata saya salah menduga, Prof. Nadirsyah hosen yang merupakan Rois PCINU Australia-new zealand ini menulis jauh melampaui itu. Beliau membuka wawasan kita tentang bagaimana memahami hadits yang saat ini kerap diplintir bahkan dipolitisasi oleh kelompok tertentu untuk membenarkan kelompoknya bahkan menebar benci pada yang berbeda. Beliau mengajak kita untuk menelaah hadits lebih jauh, juga memberi beberapa kisah inspiratif tentang Nabi Muhammad SAW yang akan menambah rindu dan cinta kita pada sosok mulia tersebut.
Saya berkesempatan untuk bisa "tabarrukan" bersama penulisnya, Gus Nadir |
Buku ini terdiri dari beberapa sub judul yang tidak terkait satu sama lain sehingga kita bisa memilah untuk membaca darimana saja. Di awal buku, Prof. Nadir menulis tentang bagaimana memahami sebuah hadits. Apakah sebuah hadits bisa langsung digunakan sebagai dalil? Atau untuk menghukumi suatu hal? apakah boleh hadits dijadikan alat untuk membenarkan atau menyalahkan? Misalnya hadits mengenai bid’ah yang sering disuarakan sebagai “senjata” untuk menyerang kelompok lain yang tak sependapat. Padahal 1 hadits saja harus ditelaah lebih dalam. Bagaimana konteks Nabi SAW saat bersabda, bagaimana konteks perawi yang menceritakan hadits tersebut dan kefleksibelannya dengan zaman sekarang.
Berbicara hadits sendiri, ada 9 kitab hadits utama yang urutan/hierarkinya saja berbeda, tergantung pandangan ulama tertentu. Masing-masing 9 kitab tersebut memiliki kitab penjelas (syarh) yang ditulis ulama-uama berintegritas. Lalu bagaimana kita bisa asal mencomot hadits untuk merasa lebih benar dari yang lain? sedang 1 hadits saja butuh pendalaman yang panjang dan hati-hati. Dibagian ini saya sendiri merinding dengan kecerdasan Prof. Nadir dalam mengulas sebuah masalah yang dikaitkan dengan hadits, berikur nomer-nomer hadits dalam rujukan kitab-kitab ulama, dan ditulis dengan bahasa yang santai dan ringan dibaca. Sehingga, pembaca tidak perlu terlalu pusing dalam membaca wawasan hadits yang begitu kompleksnya. Tidak mengherankan tentunya, karena putra dari pendiri dan rektor pertama IIQ (Institut Ilmu Alquran) ini menempuh 2 studi sekaligus, Ilmu syariah dan ilmu hukum. Pemegang 2 gelar Ph.D ini selain menjadi dosen tetap di Monash University Australia, beliau juga aktif meneliti kajian hukum islam. Pengetahuan keislaman dan dunia “umum” nya menjadi penyeimbang yang baik dalam kecakapan menulis buku
Selain membicarakan tentang hadits dan beberapa masalah yang dikaitkan dengan femonena saat ini, Prof. Nadir juga mengisahkan dengan sangat apik tentang pribadi Nabi Muhammad SAW yang begitu mulia. Saat ini, beberapa orang senang mengaitkan kerasnya Nabi dari suatu hadits untuk memerangi yang berbeda. Padahal merujuk pada syarh dan konteks hadits, keras dan tegasnya Nabi dalam menghukumi sesuatu bukan atas nama Nabi sendiri dan golongannya, melainkan demi kebenaran dan kemaslahatan bersama. Bahkan ada seorang “ustadz” yang mengatakan Nabi sesat sebelum diangkat menjadi Nabi maka itu kita dilarang merayakan maulid. Nyatanya, Nabi adalah rahmat bagi seluruh alam yang suci dan terkait dengan Nabi terdahulu, pembawa agama yang hanif. Allah sendiri dalam Alquran memerintahkan malaikat dan manusia untuk bershalawat, bagaimana mungkin mereka tega mengatakan Nabi sesat dan melarang penghormatan dan cinta kita atas kelahiran manusia yang agung, kekasih Allah.
Perasaan kita akan dicampur aduk, kerinduan pada Nabi semakin menggebu saat membaca pemaparan Prof. Nadir tentang akhlak Nabi dengan rujukan hadits dan kitab yang mengisahkan dengan valid, bagaimana Nabi pun berbuat baik pada non-muslim, cinta Nabi pada sahabat dan umatnya, Nabi senantiasa menjaga ucapan dan tidak mau menyakiti yang lain, Nabi adalah “makarimal akhlak” yang dibenarkan dalam Alqur’an. Lalu bagaimana beberapa kelompok ingin menjadikan islam melebihi agama yang lain tapi mengesampingkan akhlak, menghalalkan cara untuk berkuasa, bahkan menebar benci dan membenarkan hoax atau kebohongan demi sebuah kuasa dan kepentingan? Siapa yang sebenarnya kita contoh?
Buku ini mengajak kita untuk mau terus belajar, memperdalam wawasan beragama agar tidak mudah menyalahkan dan mencari guru yang tepat, bersambung sanadnya sampai Nabi Muhammad SAW agar kita tidak mentah dalam menerima sebuah pengetahuan lalu merasa benar sendiri. Nabi Muhammad sendiri sudah mewanti-wanti agar kita berhati-hati dalam membedakan kecintaan pada agama Allah atau pada dunia.
Kenapa kita fokus pada perbedaan dan gemar menyalahkan padahal tujuan kita sama, beribadah pada Allah dengan sebaik-baiknya, juga mengemis cinta pada Rasulullah yang cintanya tanpa batas pada umat? Indahnya dunia jika cinta menjadi landasan untuk membuktikan bahwa agama Islam adalah rahmatalillalamin.
Nilai 8,5 dari 10 untuk buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar