Judul Buku: Mahabbah Rindu
Penulis: Abidah El Khalieqy
Penerbit: Divapress
Cetakan: Kedua, Februari 2008
Tebal: iv + 404
Genre: Fiksi
Peresensi : Ihdina Sabili
“Kalau bukan aku sendiri, siapa yang bakal mengubah nasibku! Kalau tak belajar sendiri, siapa yang bakal mengasah otakku! Kalau bukan ilmu, siapa yang bakal mengangkat derajatku!”
Kalimat tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak kutipan kalimat motivasi dalam novel ini yang mampu melecutkan semangat para pembaca. Baik semangat dalam menjalani kehidupan, menjemput dan memperjuangan cinta hingga semangat dalam meraih cinta sejati kepada Tuhan. Buku ini layak disebut sebagai buku spiritual, yakni memaknai hakikat cinta sejatinya bermuara pada cinta Tuhan. Meski pada luarannya buku setebal 404 halaman ini merupakan sebuah novel bergenre romance yang cukup membuat kasmaran siapapun yang membacanya.
Mbak Abidah selaku penulis dengan latar belakang spiritual yang cukup kuat seakan menjamin isi dari buku ini begitu bernas. Dari awal dimulainya cerita, buku ini seakan menggiring pembaca untuk memahami hakikat dari cinta. Apa itu cinta apa itu rindu, bagaimana cara mencintai yang sesungguhnya, bagaimana cara merindu yang lugu namun syahdu. Penokohan Den Mundu dan Soraya sebagai tokoh utama pasangan kekasih dalam cerita seakan sengaja dihadirkan penulis untuk memaknai lebih riil bagaimana cinta antara sepasang anak manusia hadir, tumbuh, berkembang dan seharusnya disemai.
Isi dari novel ini lebih didominasi dengan perenungan atau mimpi para tokohnya. Mulai dari penggambaran munculnya sosok yang menyerupai maha guru bagi Den Mundu hingga kehadiran Sunan Kalijaga dalam rangka memberikan bimbingan atau teguran dalam memutuskan berbagai hal. Begitu halnya yang dialami Soraya, mimpi keadaan di Padang Mahsyar dan Surga hadir bersamaan di saat hatinya begitu gundah akan kejelasan hubungan asmaranya dengan Den Mundu. Jika ditilik dari segi alur, memang cerita dalam novel ini tidak begitu mementingkan bagaimana alur cerita ini mengalir. Di sisi lain, untaian diksi dalam kalimat demi kalimatnya menjadi sebuah daya tarik tersendiri.
Meski buku ini bukanlah buku baru, namun topik yang diangkat tidak akan habis tergerus zaman. Percintaan sebagai ruh utama, diberi bumbu cerita kesenjangan sosial, dan sejatinya yang ingin diangkat adalah nilai mahabbah sejati. Cerita-cerita spirit proses kesadaran diri juga disisipkan dalam novel ini, terbukti dari apa yang dialami sang tokoh utama, berikut rekan-rekannya. Selain itu, Abidah juga selipkan beberapa kisah teladan Rasulullah dan para sahabat yang cukup relevan dengan kejadian di dalam cerita, dan umumnya relevan dengan kehidupan nyata juga. Latar tempat yang dipakai begitu menjiwai, khususnya dalam menggambarkan berbagai sudut dari kota Yogyakarta. Hal ini semakin menjadikan novel begitu dekat dengan para pembaca didukung deskripsi suasana yang begitu detail.
Dari rangkaian adegan per adegan dalam tiap babnya, tergambarkan bahwa imajinasi pembaca begitu dipermainkan dengan berdegup-degup. Ada masa-masa ketika seakan cerita akan mengalami konflik yang cukup kontras dan dalam, namun ternyata tidak. Mulai dari awal mula Den Mundu dan Soraya bertemu, Den Mundu berguru pada Fahmi, Den Mundu mengganti namanya hingga prosesnya melamar Soraya yang sempat terkendala restu akibat sudut pandang orangtua Soraya. Ada berbagai dugaan bahwa cerita ini akan berakhir begini begitu, dan lagi-lagi ternyata tidak sedramatisir itu. Begitulah yang terjadi di tiap perpindahan adegan di tiap babaknya. Ditambah dengan tidak begitu dijelaskan perbedaan manakah kalimat langsung dan manakah kalimat tak langsung, manakah perkataan siapa dan si tokoh ini mengatakan apa.
Pelajaran penting dalam novel inspiratif bertajuk cinta sejati ini adalah bagaimana seharusnya kita sebagai manusia; hamba Allah mampu memaknai hidup sebagai karunia terindah. Bagaimana menyalurkan cinta yang sesungguhtepatnya, dan bagaimana menyaring intisari dari cinta yang telah hadir tersebut. Meski ending dari cerita ini tidak secara gamblang dijelaskan, namun memang bukan di situ tujuan dituliskan cerita ini. Biarkan akhir cerita dapat dirumuskan oleh masing-masing pembaca dengan sekian imajinasi mereka seliar mungkin. Yang terpenting pesan utama telah tersampaikan melalui serangkaian keutuhan cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar