Judul: Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya (Kisah Sufi dari Madura)
Penulis: Rusdi Mathari
Penerbit: Buku Mojok
Tahun terbit: 2016
Cetakan: Kelima
Halaman: 226
Jenis buku: Cerpen, Fiksi, Tasawuf
Peresensi: Uswah
Buku ini merupakan kumpulan esai dari Cak Rusdi (panggilan akrab dari Rusdi Mathari) yang dimuat di mojok.co selama Ramadhan dua tahun berturut-turut, yakni tahun 2015-2016.
Menceritakan suatu kehidupan di masyarakat desa selama Ramadhan. Jika dalam ilmu nahwu terkenal dengan tokoh fiktif andalannya yakni Zaid, Mbah Zainal dalam situs sarkub.com terkenal dengan tokoh fiktif Mbah Lalar dan Kang Bangkak, Cak Nun terkenal dengan tokoh fiktif Markesot, maka di buku ini, Cak Rusdi menghidupkan tokoh Cak Ndlahom, Cak Ndlahom digambarkan sebagai pribadi yang kurang waras, tidak sholat, tidak puasa dan terkadang telanjang bulat di depan warga, suka tertawa sendiri, omongannya ngelantur, anak-anak kecil pun tak segan meneriaki Cak Ndlahom sebagai orang gila. tidurnya di kandang kambing. Pernah memasukkan anjing ke kandang kambing Pak Lurah sambil bercumbu mesra. Pernah pula berhari-hari menangisi kuburan seorang Janda yang mati karena bunuh diri.
Namun lanturan juga perilaku Cak Ndlahom mengandung selaksa mutiara hikmah. Katakanlah Cak Ndlahom seorang Jadzab, suka bersikap nyeleneh, di luar kebiasaan makhluk normal (khoriqul ‘adah), yang melepaskan diri dari gemerlap indahnya dunia untuk menyatu kepada Tuhan.
Buku ini terdiri dari 2 bagian, Ramadhan pertama dan kedua. Ramadhan pertama terdiri dari 14 mutiara hikmah dari Cak Ndlahom. Ada beberapa tokoh fiktif lain di sini selain Cak Ndlahom; Mat Piti, Romlah (anak Mat Piti), Bunali, Pak Lurah, Pak RT, Gus Mut dan Nody (suami Romlah) yang selalu dijumpai dalam tiap ‘episode’, Saya tertarik pada ilmu tasawwuf yang disampaikan oleh Cak Ndlahom dalam judul “Membaca Syahadat, Menyaksikan Romlah”.
“Yakin, Mat, kamu sudah Islam? Syahadat itu menyaksikan, Mat. Lalu kapan kamu menyaksikan Allah? Kalau aku melihat ciptaan-Nya. Aku melihat Romlah, anakmu, Mat.”
Dialog di atas mengandung hikmah tentang bagaimana sejatinya seorang muslim? Apakah cukup hanya bersyahadat lalu diakui sebagai orang Islam? Padahal syahadat bermakna menyaksikan, kapan kita menyaksikan Tuhan? Lalu Cak Ndlahom menjelaskan bahwa syahadat bisa diaplikasikan dengan menyaksikan ciptaan-Nya, mencintai Tuhan dengan mencintai makhluk-Nya, mensyukuri Tuhan dengan mensyukuri nikmat-Nya. Bahwa, betapa orang yang dianggap gila pun kita tidak pernah tahu ternyata melalui washilahnya, Tuhan menyampaikan pesan-pesan-Nya yang tersembunyi, mengingatkan kita pada pepatah Arab “Renungkanlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan”
Ramadhan kedua terdiri dari 16 mutiara hikmah. Yang menarik pada Ramadhan kedua kisah Cak Ndlahom adalah “Batu pun Enggan Jadi Manusia”. Pada kisah kali ini diceritakan bahwa Cak Ndlahom pergi melewati sungai dan ketinggalan rombongan, diketahui ternyata Cak Ndlahom ‘kecantol’ batu, Cak Ndlahom bercakap-cakap dengan batu, kata batu
“Maafkan aku manusia, aku tak mampu jadi manusia. Aku tak sanggup. Aku memang batu, tapi aku kalah keras dibanding hatimu”. Lalu Cak Ndlahom terisak.
Di realita kehidupan, banyak ditemui orang-orang yang digambarkan dalam buku ini; Mat Piti yang ‘ngrumat’, Romlah gadis desa yang bersahaja, Pak lurah yang kaya raya bolak-balik berangkat haji dan umroh sedangkan pembantunya mati bunuh diri karena terjerat banyak hutang untuk menafkahi anaknya semenjak jadi janda, ada juga yang penampilan serta pembicaraannya begitu agamis tetapi tidak peka dengan adanya anak yatim yang putus sekolah. Dan tentunya tokoh utamanya, Cak Ndlahom yang secara dzahirnya tidak waras padahal ia sedang jadzab. Namun kita harus waspada karena saat ini banyak kita temui orang yang menyamar jadi orang ‘gila’ biar dibilang jadzab atau Wali. Kisah Cak Ndlahom banyak terinspirasi dari cerita yang disampaikan oleh Syeikh Maulana Hizboel Wathany Ibrahim, Cak Nun dan beberapa kisah kesufian lainnya.
Buku ini bersub judul Kisah Sufi dari Madura, namun tidak sesuai dengan ekspektasi saya, saya belum menemukan hal-hal yang berbau khas Madura, seperti latar tempat, budaya atau dialog bahasa yang dipakai (justru banyak bahasa Jawanya). Hanya menemukan suatu nama yang khas nama orang Madura; Mat Piti. Rupanya penulis fokus kepada kisah dan hikmah dari tingkah laku para sufi.
Membaca buku ini bagi saya sama halnya dengan menziarahi kesufian Cak Rusdi. Ruh dari Cak Ndlahom dalam buku ini. Sekarang lagi ngopi di surga ya, Cak? Tak traktir fatihah buatmu. Tetaplah merasa pintar bodoh saja tak punya.
Saha Pengarang???
BalasHapus