Judul: After The Prophet
Penulis: Lesley Hazelton
Penerbit: Ircisod
Tahun terbit: 2018
Genre: Sejarah (Wacana)
Peresensi: Nur Hayati Aida
Ngeri. Itu hal pertama yang ada di pikiran setelah menghabiskan lebih dari tujuh puluh lima persen halaman buku ini. Bagaimana tidak. Lesley Hazleton menggambarkan dengan gamblang bagaimana proses suksesi paska nabi wafat dan keempat khalifah sesudahnya lengkap dengan kepentingan dan intrik.
Lesley, dengan gaya menulis yang asyik, menceritakan bagaimana konflik Sunni-Syiah muncul. Berbicara Sunni-Syiah tentu saja akan berbicara tentang bagaimana suksesi paska Nabi Muhammad wafat. Bahkan kontestasi suksesi bisa jadi terjadi jauh sebelum nabi wafat. Itu artinya harus bercerita tentang siapa saja lingkaran terdekat dan para penerusnya. Khalifah empat pertama, yang dalam tradisi Sunni disebut dengan Khulafa’ ar-Rasyidin.
Paska nabi wafat, bahkan sebelum jasadnya dikebumikan, orang-orang, baik dari kelompok Anshar atau Muhajirin, berdebat tentang siapa yang paling pantas menjadi pengganti nabi selama lebih dari dua puluh empat jam di satu tempat bernama Saqifah Bani Saidah. Hanya Ali, menantu dan keponakan nabi, dan keluarga yang tak hadir di sana. Pada akhirnya, Abu Bakar menjadi khalifah, dan Ali, dengan desakan Umar dan Abu Bakar, menerima kepemimpina Abu Bakar.
Paska Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, Ia mengutus Umar untuk menuju rumah Ali. Penunjukkan Umar barangkali bukanlah keputusan yang tepat, karena ini adalah sebentuk negosiasi dan bukan perang. Kita semua tahu bahwa Umar memiliki karakter yang kuat sebagai panglima perang. Umar datang ke kediaman Ali lengkap dengan bala tentara. Siap mengepung rumah Ali. Setelah beberapa kali mengelurakan semacam ancaman, Umar kemudian mendobrak pintu rumah Ali, dan tanpa di nyana, di balik pintu ada Fatimah. Fatimah terjatuh dan tangannya terluka --ada yang bilang tanggannya retak. Dan ada pula yang meriwayatkan bahwa kejadian pintu inilah yang membuat Fatimah keguguran, karena saat itu ia sedang mengandung. Atas peristiwa ini Fatimah berwasiat pada Ali, jika pada saatnya ia meninggal, tak perlu mengabarkannya pada Umar dan Abu Bakar. Ia ingin dimakamkan dengan sederhana dan diam-diam sebagaimana ayahnya dimakamkan.
Keluarga mengubur jasad nabi (tampak) tergesa-gesa. Ali yang menggali makamnya, persis di bawah dipan kamar Aisyah. Saking tergesa-gesa dan tertutupnya pemakaman nabi, Aisyah yang tidur di bilik sebelah tak mengetahui. Aisyah mendengar ada bunyi gesekan tanah dan cangkul, tapi ia tak mengira kalau itu bagian dari prosesi pemakaman.
Terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah bukan tanpa dasar politis. Abu Bakar dan Umar, dalam catatan Leslesy, sebetulnya tak diundang dalam pertemuan di Saqifah Bani Saidah. Mereka berdua datang tanpa diundang untuk ikut menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah pengganti nabi. Forum ‘syuro’ itu berlangsung lebih dari dua puluh empat jam dan berisi pidato ke pidato yang lain, dan dari satu orasi ke orang yang lain untuk meneguhkan dan menyanggah masing-masing calon. Hingga pada akhirnya, Umar mendeklarasikan Abu Bakar dan kemudian disepakati oleh mereka yang hadir. Bagi kelompok Syi’ah, posisi khalifah yang ditempati oleh Abu Bakar saat itu seharusnya adalah milik Ali –tentu dengan berbagai pertimbangan yang salah satunya adalah peristiwa di Ghadir Khum – di mana Nabi Muhammad menyebut Ali sebagai penggantinya. Selain itu, tentu Ali adalah ahlul bait atau keluarga Nabi (keponakan dan menantu nabi).
Terpilihnya Abu Bakar, menurut Lesley, tentu saja ada motif politik di belakangnya. Di antaranya adalah tersebab kasus ifk yang menimpa Aisyah. Peristiwa itu membuat hati Nabi Muhammad bimbang, nabi akhirnya meminta nasihat dari Ali. Ali pada saat itu menyarankan nabi untuk menceraikan Aisyah. Namun, nabi masih bimbang dengan nasihat itu. Kemudian beliau mendatangi Aisyah yang berada di rumah Abu Bakar. Maka, saat itulah turun ayat yang mengabarkan bahwa Aisyah tak bersalah. Surat an-Nur ayat 11-17 adalah kemenangan bagi Aisyah atas tuduhan-tuduhan yang tak pantas yang dialamatkan pada dirinya. Ayat tersebut menjawab keraguan Nabi Muhammad dan kecurigaan masyarakat waktu itu. Dengan ayat itu pula, apabila ada tuduhan perselingkuhan, maka si penuduh harus bisa menghadirkan 4 orang saksi. Sayangnya, spirit ini dikemudian hari dijadikan senjata oleh kelompok konservatif untuk menyalahkan korban pemerkosaan, yang apabila si korban tak bisa menghadirkan saksi atas pemerkosaannya, maka dia dianggap berzina dan memfitnah. Dan tentu, korban pemerkosaan harus dihukum. Sayangnya, ujar Lesley, Aisyah tidak tahu apa yang terjadi ratusan tahun setelah ayat yang telah menyelamatkannya itu justru digunakan untuk mendiskriminasi perempuan.
Peristiwa ifk dan nasihat Ali pada Nabi Muhammad tentu saja tidak hanya melukai Aisyah, tetapi juga Abu Bakar sebagai ayah dari Aisyah. Maka, kekhawatiran ketika Ali yang akan menjadi khalifah paska nabi wafat menjadi muncul pada Abu Bakar. Apa yang akan terjadi pada dirinya dan putrinya nanti?
Fatimah, sesaat setelah Abu Bakar menerima jabatannya, meminta pada Abu Bakar atas kebun kurma nabi. Namun, dengan penuh ketegasan Abu Bakar menolak permintaan tersebut dengan alasan bahwa kebun itu adalah milik (umat) Islam dan bukan milik pribadi nabi sehingga tak bisa diwariskan.
Abu Bakar adalah satu-satunya khalifah yang meninggal secara wajar. Penerusnya, yang ia tunjuk sendiri sebelum wafat, Umar meningal karena dibunuh oleh seorang budak Persia yang beragama Nasrani karena ketidaksetujuan atas ketetapan Umar. Paska Umar, Usman bangsawan dan aristokrat Quraish dari suku Umayyah ini, adalah, dalam catatan Lesley, satu-satunya sahabat yang tak pernah ikut berperang. Ia berusia tujuh puluh tahun saat mengemban amanah sebagai khalifah. Sebagaimana Umar, Usman meninggal karena dibunuh. Naasnya, Usman dibunuh oleh orang Muslim.
Cerita bagaimana Usman tak berdaya atas apa yang dilakukan oleh saudara-saudaranya yang memegang jabatan strategis pada masa kepemimpinnya membuat sebagain orang atau kelompok menginginkan Usman untuk mundur dari jabatan. Selain itu, Usman tak menghukum saudara Walid yang mabuk dan muntah di sisi mimbar masjid di Kufah. Atas peristiwa itu, saat Usman sedang berkhutbah di Madinah, ia dilempari batu oleh jamaah. Seorang khalifah dilempari batu saat sedang berkhotbah sampai tersungkur. Atas peristiwa itu, Usman harus dirawat.
Tentu, Aisyah dan Ali juga menentang apa yang dilakukan oleh Usman dan keluarganya yang hidup dalam kemewahan. Aisyah bahkan dengan mengangkat sendalnya menyerukan untuk meminta pertanggungjawaban Usman dan menuntutnya mundur.
Di satu malam, saat Usman sedang mendaras al-Qur’an ditemani oleh istri kesayangannya, Naila. Rumah Usman dikepung oleh sekelompok orang. Orang pertama, menurut Lesley, yang mendorong Usman adalah Muhammad bin Abu Bakar, anak dari Abu Bakar dan adik tiri Aisyah. Namun, setelah itu sudah tak jelas siapa yang menusuknya. Melihat suaminya dihujami belati, Naila mencoba melindungi, sayangnya tangan Naila ikut tertebas dan jarinya putus.
Peristiwa ini tentu mengguncang masyarakat Islam. Seorang khalifah dibunuh oleh rakyatnya sendiri. Seorang Muslim. Sungguh tragedi. Baju yang koyak dan berlumuran darah, serta potongan jari Naila, entah oleh siapa, dibawa ke Damaskus. Di sana kemudian dijadikan semacam monumen mengenang Usman dan kisah tragisnya.
Saat peristiwa itu berlangsung, Aisyah sedang berada Makkah untuk umrah. Keesokan hari paska tragedi pilu itu, Ali diangkat sebagai khalifah. Khalifah keempat dalam Sunni, dan Imam pertama (dalam konteks politik dan agama) dari kalangan Syi’i.
Lagi-lagi, sebagaimana Umar dan Usman, Ali meninggal karena dibunuh. Ali harus kehilangan nyawa di tangan mantan pendukung setianya yang berubah haluan menjadi Khawarij. Bagi Khawarij, darah Ali halal karena telah menggunakan hukum selain hukum Tuhan, yaitu saat menerima tahkim dalam Perang Shiffin dengan Muawiyah.
Ali harus menunggu setidaknya dua puluh lima tahun untuk menduduki posisi khalifah. Namun sayang, dalam penantian yang panjang itu ia hanya mampu memimpin sekitar lima tahun saja. Itu pun dengan konflik dan perang saudara yang berdarah-darah.
Pada kepemimpinannya, Ali harus berhadapan-hadapan dengan ibu mertuanya, Aisyah, dalam medan pertempuran yang dikenal dengan Perang Jamal. Asal mula pertempuran itu dilatarbelakangi oleh tak diusut dengan tuntasnya kematian Usman. Aisyah mendapatkan kabar yang sama sekali berbeda dengan kenyataannya. Menurut Lesley, Aisyah mendapatkan kabar kematian Usman bahwa Usman dibunuh di kediaman Ali dan ia sama sekali tak mengetahui keterlibatan adik tirinya (Muhammad bin Abu Bakar) dalam terbunuhnya Usman. Selain itu, perang berkobar karena ambisi Talhah dan Zubair dalam kekuasaan. Perang Jamal adalah perang saudara pertama antara Muslim dengan Muslim dan menewaskan ribuan orang. Aisyah kalah di pertempuran itu.
Tak lama setelah itu, Ali kembali terlibat perang dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Alasan pertempuran ini jelas. Muawiyah berkeinginan menduduki jabatan khalifah. Dalam perang yang disebut dengan Perang Shiffin ini, Ali sebetulnya nyaris menang atas Muawiyah. Namun, dengan kecerdikan (kelicikan?) Muawiyah dengan memperalat teks agama (al-Quran) ia merebut apa yang seharusnya ada di tangan Ali. Muawiyah memerintahkan pasukannya yang nyaris kalah itu berkeliling pasukan Ali dengan membawa tombak yang ujungnya berisi perkamen Al-Qur’an seraya berkata: Biarlah Kitab Allah ini yang menjadi hakim di antara kita.
Beberapa orang dari prajurit Ali itu menyetujui apa yang diserukan oleh prajurit Muawiyah dengan alasan bahwa tak boleh meninggalkan seruan Tuhan yang ada dalam al-Qur’an. Perang yang berlangsung selama tiga hari itu tak berakhir begitu saja. Kelompok yang menyetujui permintaan Muawiyah itu kemudian menjadikan Ali sebagai kambing hitam. Kelompok ini dikemudian hari dikenal dengan kelompok Khawarij. Nama pemimpin Khawarij ini adalah Abdullah bin Wahab. Nama ini tentu mengingatkan kita pada pendiri Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab.
Buku ini, bagi saya yang pengetahuan sejarahnya miskin, adalah semacam jendela untuk melongok ke masa-masa yang telah lampau. Saya pastikan Anda tidak akan bosan membaca buku ini, Lesley dengan sangat canggih mengemas fakta sejarah dalam balutan cerita. Selain itu, setidaknya saya menemukan pohon sejarah tentang bagaimana berkelindannya keluarga dan sahabat nabi.
Bayangkan! Nabi Muhammad menikahi Aisyah, anak sahabatnya sendiri yang pada kemudian hari menjadi khalifah pertama paska wafatnya nabi, Abu Bakar. Abuk Bakar adalah mertua nabi. Nabi juga menikah dengan Hafsah, anak sahabatnya sendiri yang bernama Umar, khalifah kedua setelah Abu Bakar wafat. Umar adalah mertua nabi. Nabi menikahkan dua putrinya, Ruqayyah dan Ummi Kalsum pada Usman. Ummi Kalsum dinikahkan pada Usman setelah Ruqayyah meninggal dunia. Usman adalah mertua nabi. Anak perempuan Nabi, Fatimah menikah dengan Ali. Ali adalah keponakan dan juga menantu Nabi. Setelah Abu Bakar wafat, sebagai bentuk rekonsiliasi antara Ali dan Abu Bakar, Ali menikahi janda Abu Bakar, Asma. Ali adalah menantu nabi, dan juga ayah tiri dari ibu tiri Aisyah. Dan sebagai bentuk rekonsiliasi, Ali menikahkan putrinya, Ummu Kalsum, dengan Umar. Umar bukan hanya mertua nabi, tetapi juga cucu manantu nabi. Tali temali kekerabatan ini tidak begitu saja terjadi, ada berbagai sebab yang melatarinya.
Nama perempuan yang mendapatkan sorotan yang cukup banyak dan signifikan oleh Lesley adalah Aisyah. Aisyah adalah satu-satunya perempuan yang bukan janda yang dinikahi nabi. Aisyah dalam beberapa riwayat dinikahi nabi dalam usia yang sangat belia (meski tentu ini harus dikaji dengan serius). Aisyah adalah perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadis karena kedekatannya dengan nabi. Dan boleh jadi adalah sedikit dari perempuan yang pernah memimpin perang di medan pertempuran. Selain tentu saja kita dengar Hindun, ibu dari Muawiyah, yang dengan suara lantangnya menyemangati prajuritnya saat berperang. Hindun pernah dengan garang membedah dada Hamzah --(paman nabi) yang telah membunuh ayahnya—dan mengeluarkan isinya kemudian memakannya sebagai bentuk balas dendam atas kematian ayahnya. Selain itu ada ada Ummu Simla yang memimpin sukunya dalam Perang Riddah.
Membaca buku ini membuat saya berfikir bahwa dalam perjalanan tumbuh dan tersebarnya Islam, ada tragedi dan darah. Meski memang cara pandang ini tak bisa dijadikan satu-satunya cara untuk melihat bagaimana Islam berkembang di seluruh dunia. Sebagai sebuah fakta, saya (kita?) harus menerima kenyataan bahwa memang seperti inilah adanya sejarah Islam berdiri atau begitulah adanya mengapa muncul Sunni-Syiah. Tidak lepas dari kepentingan pribadi. Betapapun mengerikannya sejarah kelam masa lalu itu. Tapi tenang saja, bila Anda membaca kisah-kisah teladan dan adab, tak kurang banyak Islam memberikan contohnya. Mulai dari nabi sendiri, sahabat, dan generasi-generasi berikutnya.
Dan tahukah? Setelah lima belas tahun paska meninggalnya Ali, Husein meregang nyawa di tangan pasukan Yazid bin Muawiyah di padang Karbala. Tepat di bulan Muharram ini. Bulan penuh duka.
Tentu catatan ini takkan bisa merangkum semua hal yang ada di buku. Saran saya, Anda harus mambacanya sendiri.
Lesley, dengan gaya menulis yang asyik, menceritakan bagaimana konflik Sunni-Syiah muncul. Berbicara Sunni-Syiah tentu saja akan berbicara tentang bagaimana suksesi paska Nabi Muhammad wafat. Bahkan kontestasi suksesi bisa jadi terjadi jauh sebelum nabi wafat. Itu artinya harus bercerita tentang siapa saja lingkaran terdekat dan para penerusnya. Khalifah empat pertama, yang dalam tradisi Sunni disebut dengan Khulafa’ ar-Rasyidin.
Paska nabi wafat, bahkan sebelum jasadnya dikebumikan, orang-orang, baik dari kelompok Anshar atau Muhajirin, berdebat tentang siapa yang paling pantas menjadi pengganti nabi selama lebih dari dua puluh empat jam di satu tempat bernama Saqifah Bani Saidah. Hanya Ali, menantu dan keponakan nabi, dan keluarga yang tak hadir di sana. Pada akhirnya, Abu Bakar menjadi khalifah, dan Ali, dengan desakan Umar dan Abu Bakar, menerima kepemimpina Abu Bakar.
Paska Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, Ia mengutus Umar untuk menuju rumah Ali. Penunjukkan Umar barangkali bukanlah keputusan yang tepat, karena ini adalah sebentuk negosiasi dan bukan perang. Kita semua tahu bahwa Umar memiliki karakter yang kuat sebagai panglima perang. Umar datang ke kediaman Ali lengkap dengan bala tentara. Siap mengepung rumah Ali. Setelah beberapa kali mengelurakan semacam ancaman, Umar kemudian mendobrak pintu rumah Ali, dan tanpa di nyana, di balik pintu ada Fatimah. Fatimah terjatuh dan tangannya terluka --ada yang bilang tanggannya retak. Dan ada pula yang meriwayatkan bahwa kejadian pintu inilah yang membuat Fatimah keguguran, karena saat itu ia sedang mengandung. Atas peristiwa ini Fatimah berwasiat pada Ali, jika pada saatnya ia meninggal, tak perlu mengabarkannya pada Umar dan Abu Bakar. Ia ingin dimakamkan dengan sederhana dan diam-diam sebagaimana ayahnya dimakamkan.
Keluarga mengubur jasad nabi (tampak) tergesa-gesa. Ali yang menggali makamnya, persis di bawah dipan kamar Aisyah. Saking tergesa-gesa dan tertutupnya pemakaman nabi, Aisyah yang tidur di bilik sebelah tak mengetahui. Aisyah mendengar ada bunyi gesekan tanah dan cangkul, tapi ia tak mengira kalau itu bagian dari prosesi pemakaman.
Terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah bukan tanpa dasar politis. Abu Bakar dan Umar, dalam catatan Leslesy, sebetulnya tak diundang dalam pertemuan di Saqifah Bani Saidah. Mereka berdua datang tanpa diundang untuk ikut menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah pengganti nabi. Forum ‘syuro’ itu berlangsung lebih dari dua puluh empat jam dan berisi pidato ke pidato yang lain, dan dari satu orasi ke orang yang lain untuk meneguhkan dan menyanggah masing-masing calon. Hingga pada akhirnya, Umar mendeklarasikan Abu Bakar dan kemudian disepakati oleh mereka yang hadir. Bagi kelompok Syi’ah, posisi khalifah yang ditempati oleh Abu Bakar saat itu seharusnya adalah milik Ali –tentu dengan berbagai pertimbangan yang salah satunya adalah peristiwa di Ghadir Khum – di mana Nabi Muhammad menyebut Ali sebagai penggantinya. Selain itu, tentu Ali adalah ahlul bait atau keluarga Nabi (keponakan dan menantu nabi).
Terpilihnya Abu Bakar, menurut Lesley, tentu saja ada motif politik di belakangnya. Di antaranya adalah tersebab kasus ifk yang menimpa Aisyah. Peristiwa itu membuat hati Nabi Muhammad bimbang, nabi akhirnya meminta nasihat dari Ali. Ali pada saat itu menyarankan nabi untuk menceraikan Aisyah. Namun, nabi masih bimbang dengan nasihat itu. Kemudian beliau mendatangi Aisyah yang berada di rumah Abu Bakar. Maka, saat itulah turun ayat yang mengabarkan bahwa Aisyah tak bersalah. Surat an-Nur ayat 11-17 adalah kemenangan bagi Aisyah atas tuduhan-tuduhan yang tak pantas yang dialamatkan pada dirinya. Ayat tersebut menjawab keraguan Nabi Muhammad dan kecurigaan masyarakat waktu itu. Dengan ayat itu pula, apabila ada tuduhan perselingkuhan, maka si penuduh harus bisa menghadirkan 4 orang saksi. Sayangnya, spirit ini dikemudian hari dijadikan senjata oleh kelompok konservatif untuk menyalahkan korban pemerkosaan, yang apabila si korban tak bisa menghadirkan saksi atas pemerkosaannya, maka dia dianggap berzina dan memfitnah. Dan tentu, korban pemerkosaan harus dihukum. Sayangnya, ujar Lesley, Aisyah tidak tahu apa yang terjadi ratusan tahun setelah ayat yang telah menyelamatkannya itu justru digunakan untuk mendiskriminasi perempuan.
Peristiwa ifk dan nasihat Ali pada Nabi Muhammad tentu saja tidak hanya melukai Aisyah, tetapi juga Abu Bakar sebagai ayah dari Aisyah. Maka, kekhawatiran ketika Ali yang akan menjadi khalifah paska nabi wafat menjadi muncul pada Abu Bakar. Apa yang akan terjadi pada dirinya dan putrinya nanti?
Fatimah, sesaat setelah Abu Bakar menerima jabatannya, meminta pada Abu Bakar atas kebun kurma nabi. Namun, dengan penuh ketegasan Abu Bakar menolak permintaan tersebut dengan alasan bahwa kebun itu adalah milik (umat) Islam dan bukan milik pribadi nabi sehingga tak bisa diwariskan.
Abu Bakar adalah satu-satunya khalifah yang meninggal secara wajar. Penerusnya, yang ia tunjuk sendiri sebelum wafat, Umar meningal karena dibunuh oleh seorang budak Persia yang beragama Nasrani karena ketidaksetujuan atas ketetapan Umar. Paska Umar, Usman bangsawan dan aristokrat Quraish dari suku Umayyah ini, adalah, dalam catatan Lesley, satu-satunya sahabat yang tak pernah ikut berperang. Ia berusia tujuh puluh tahun saat mengemban amanah sebagai khalifah. Sebagaimana Umar, Usman meninggal karena dibunuh. Naasnya, Usman dibunuh oleh orang Muslim.
Cerita bagaimana Usman tak berdaya atas apa yang dilakukan oleh saudara-saudaranya yang memegang jabatan strategis pada masa kepemimpinnya membuat sebagain orang atau kelompok menginginkan Usman untuk mundur dari jabatan. Selain itu, Usman tak menghukum saudara Walid yang mabuk dan muntah di sisi mimbar masjid di Kufah. Atas peristiwa itu, saat Usman sedang berkhutbah di Madinah, ia dilempari batu oleh jamaah. Seorang khalifah dilempari batu saat sedang berkhotbah sampai tersungkur. Atas peristiwa itu, Usman harus dirawat.
Tentu, Aisyah dan Ali juga menentang apa yang dilakukan oleh Usman dan keluarganya yang hidup dalam kemewahan. Aisyah bahkan dengan mengangkat sendalnya menyerukan untuk meminta pertanggungjawaban Usman dan menuntutnya mundur.
Di satu malam, saat Usman sedang mendaras al-Qur’an ditemani oleh istri kesayangannya, Naila. Rumah Usman dikepung oleh sekelompok orang. Orang pertama, menurut Lesley, yang mendorong Usman adalah Muhammad bin Abu Bakar, anak dari Abu Bakar dan adik tiri Aisyah. Namun, setelah itu sudah tak jelas siapa yang menusuknya. Melihat suaminya dihujami belati, Naila mencoba melindungi, sayangnya tangan Naila ikut tertebas dan jarinya putus.
Peristiwa ini tentu mengguncang masyarakat Islam. Seorang khalifah dibunuh oleh rakyatnya sendiri. Seorang Muslim. Sungguh tragedi. Baju yang koyak dan berlumuran darah, serta potongan jari Naila, entah oleh siapa, dibawa ke Damaskus. Di sana kemudian dijadikan semacam monumen mengenang Usman dan kisah tragisnya.
Saat peristiwa itu berlangsung, Aisyah sedang berada Makkah untuk umrah. Keesokan hari paska tragedi pilu itu, Ali diangkat sebagai khalifah. Khalifah keempat dalam Sunni, dan Imam pertama (dalam konteks politik dan agama) dari kalangan Syi’i.
Lagi-lagi, sebagaimana Umar dan Usman, Ali meninggal karena dibunuh. Ali harus kehilangan nyawa di tangan mantan pendukung setianya yang berubah haluan menjadi Khawarij. Bagi Khawarij, darah Ali halal karena telah menggunakan hukum selain hukum Tuhan, yaitu saat menerima tahkim dalam Perang Shiffin dengan Muawiyah.
Ali harus menunggu setidaknya dua puluh lima tahun untuk menduduki posisi khalifah. Namun sayang, dalam penantian yang panjang itu ia hanya mampu memimpin sekitar lima tahun saja. Itu pun dengan konflik dan perang saudara yang berdarah-darah.
Pada kepemimpinannya, Ali harus berhadapan-hadapan dengan ibu mertuanya, Aisyah, dalam medan pertempuran yang dikenal dengan Perang Jamal. Asal mula pertempuran itu dilatarbelakangi oleh tak diusut dengan tuntasnya kematian Usman. Aisyah mendapatkan kabar yang sama sekali berbeda dengan kenyataannya. Menurut Lesley, Aisyah mendapatkan kabar kematian Usman bahwa Usman dibunuh di kediaman Ali dan ia sama sekali tak mengetahui keterlibatan adik tirinya (Muhammad bin Abu Bakar) dalam terbunuhnya Usman. Selain itu, perang berkobar karena ambisi Talhah dan Zubair dalam kekuasaan. Perang Jamal adalah perang saudara pertama antara Muslim dengan Muslim dan menewaskan ribuan orang. Aisyah kalah di pertempuran itu.
Tak lama setelah itu, Ali kembali terlibat perang dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Alasan pertempuran ini jelas. Muawiyah berkeinginan menduduki jabatan khalifah. Dalam perang yang disebut dengan Perang Shiffin ini, Ali sebetulnya nyaris menang atas Muawiyah. Namun, dengan kecerdikan (kelicikan?) Muawiyah dengan memperalat teks agama (al-Quran) ia merebut apa yang seharusnya ada di tangan Ali. Muawiyah memerintahkan pasukannya yang nyaris kalah itu berkeliling pasukan Ali dengan membawa tombak yang ujungnya berisi perkamen Al-Qur’an seraya berkata: Biarlah Kitab Allah ini yang menjadi hakim di antara kita.
Beberapa orang dari prajurit Ali itu menyetujui apa yang diserukan oleh prajurit Muawiyah dengan alasan bahwa tak boleh meninggalkan seruan Tuhan yang ada dalam al-Qur’an. Perang yang berlangsung selama tiga hari itu tak berakhir begitu saja. Kelompok yang menyetujui permintaan Muawiyah itu kemudian menjadikan Ali sebagai kambing hitam. Kelompok ini dikemudian hari dikenal dengan kelompok Khawarij. Nama pemimpin Khawarij ini adalah Abdullah bin Wahab. Nama ini tentu mengingatkan kita pada pendiri Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab.
Buku ini, bagi saya yang pengetahuan sejarahnya miskin, adalah semacam jendela untuk melongok ke masa-masa yang telah lampau. Saya pastikan Anda tidak akan bosan membaca buku ini, Lesley dengan sangat canggih mengemas fakta sejarah dalam balutan cerita. Selain itu, setidaknya saya menemukan pohon sejarah tentang bagaimana berkelindannya keluarga dan sahabat nabi.
Bayangkan! Nabi Muhammad menikahi Aisyah, anak sahabatnya sendiri yang pada kemudian hari menjadi khalifah pertama paska wafatnya nabi, Abu Bakar. Abuk Bakar adalah mertua nabi. Nabi juga menikah dengan Hafsah, anak sahabatnya sendiri yang bernama Umar, khalifah kedua setelah Abu Bakar wafat. Umar adalah mertua nabi. Nabi menikahkan dua putrinya, Ruqayyah dan Ummi Kalsum pada Usman. Ummi Kalsum dinikahkan pada Usman setelah Ruqayyah meninggal dunia. Usman adalah mertua nabi. Anak perempuan Nabi, Fatimah menikah dengan Ali. Ali adalah keponakan dan juga menantu Nabi. Setelah Abu Bakar wafat, sebagai bentuk rekonsiliasi antara Ali dan Abu Bakar, Ali menikahi janda Abu Bakar, Asma. Ali adalah menantu nabi, dan juga ayah tiri dari ibu tiri Aisyah. Dan sebagai bentuk rekonsiliasi, Ali menikahkan putrinya, Ummu Kalsum, dengan Umar. Umar bukan hanya mertua nabi, tetapi juga cucu manantu nabi. Tali temali kekerabatan ini tidak begitu saja terjadi, ada berbagai sebab yang melatarinya.
Nama perempuan yang mendapatkan sorotan yang cukup banyak dan signifikan oleh Lesley adalah Aisyah. Aisyah adalah satu-satunya perempuan yang bukan janda yang dinikahi nabi. Aisyah dalam beberapa riwayat dinikahi nabi dalam usia yang sangat belia (meski tentu ini harus dikaji dengan serius). Aisyah adalah perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadis karena kedekatannya dengan nabi. Dan boleh jadi adalah sedikit dari perempuan yang pernah memimpin perang di medan pertempuran. Selain tentu saja kita dengar Hindun, ibu dari Muawiyah, yang dengan suara lantangnya menyemangati prajuritnya saat berperang. Hindun pernah dengan garang membedah dada Hamzah --(paman nabi) yang telah membunuh ayahnya—dan mengeluarkan isinya kemudian memakannya sebagai bentuk balas dendam atas kematian ayahnya. Selain itu ada ada Ummu Simla yang memimpin sukunya dalam Perang Riddah.
Membaca buku ini membuat saya berfikir bahwa dalam perjalanan tumbuh dan tersebarnya Islam, ada tragedi dan darah. Meski memang cara pandang ini tak bisa dijadikan satu-satunya cara untuk melihat bagaimana Islam berkembang di seluruh dunia. Sebagai sebuah fakta, saya (kita?) harus menerima kenyataan bahwa memang seperti inilah adanya sejarah Islam berdiri atau begitulah adanya mengapa muncul Sunni-Syiah. Tidak lepas dari kepentingan pribadi. Betapapun mengerikannya sejarah kelam masa lalu itu. Tapi tenang saja, bila Anda membaca kisah-kisah teladan dan adab, tak kurang banyak Islam memberikan contohnya. Mulai dari nabi sendiri, sahabat, dan generasi-generasi berikutnya.
Dan tahukah? Setelah lima belas tahun paska meninggalnya Ali, Husein meregang nyawa di tangan pasukan Yazid bin Muawiyah di padang Karbala. Tepat di bulan Muharram ini. Bulan penuh duka.
Tentu catatan ini takkan bisa merangkum semua hal yang ada di buku. Saran saya, Anda harus mambacanya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar