sumber: google |
Peresensi: Shofie Elfach
Judul: A Thousand Splendid Suns
Penulis: Khaled Hosseini
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penyunting: Andhy Romdani
Proofreader: M. Eka Mustamar
Tahun Terbit: 2011 (cetakan kedua)
Tebal: 512 Halaman
Penerbit: Qanita
Genre:
Tentang Penulis
Khaled Hosseini seorang novelis asal negara Afghanistan, yang debutnya dimulai dengan karya yang berjudul “The Kite Runner” dan rilis tahun 2003, sekaligus best seller sepanjang tahun 2005 yang kemudian diterjemahkan ke dalam 42 bahasa di dunia. Berkat prestasinya tersebut UNHCR menganugerahinya Humanitarian Award di tahun 2006. Penulis yang pernah menjadi dokter kini menjadi duta UNHCR (UN Refugee Agency) dan juga pendiri The Khaled Hosseini Foundation, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang kemanusiaan. Pada tahun 1980, Kholed Hosseini mengungsi ke Amerika karena saat itu invasi Uni Soviet ke Aghanistan. Pada usia 15 tahun saat itu, bersama keluarganya ia mencari penghidupan yang baru berharap negara Amerika memberikan suaka. Segala harta benda ditinggalkan di negara kelahirannya yakni Afghanistan. Pada saat awal di Amerika, keluarganya pernah mengalami kesulitan sehingga menggantungkan bantuan dari pemerintah, namun hal itu tidaklah terlalu menyedihkan dibandingkan dengan ujian yang dihadapi oleh para pengungsi yang ia bantu sekarang dalam kapasitasnya sebagai duta UNHCR. Sejatinya, dia bukanlah orang yang dianggap istimewa saat duduk di bangku sekolah, namun berkat ketelatenannya ia berhasil menjadi dokter dan kemudian ia tinggalkan profesi tersebut demi menulis novel indah yang sekarang bisa dinikmati oleh pembaca di seluruh dunia, diantaranya; The Kite Runner (2003), A Thousand Slpendid Suns (2007), And The Mountains Echoed (2013), dan yang terbaru Sea Prayers (2018). Dan kali ini peresensi sangat antusias sekali menggali tentang A Thousand Splendid Suns.
“Siapapun takkan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atap, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dinding.” __ Puisi dari Saib –e- Tabrizi
Isi Buku
Novel ini diawali oleh sebuah kisah pilu di sebuah desa yang jauh dari kota Kabul. Hidup seorang harami kecil yang bernama Mariam bersama ibunya, Nana. Nana seorang perempuan lugu dan berperawakan buruk, menanggung sebuah beban moril. Akibat hubungan terlarang antara majikan dan pembantu, lahirlah Mariam. Jalil, seorang laki-laki yang telah menanam benih itu selalu menemui anak gadis biologisnya di desa yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Setiap datang, Nana selalu melontarkan kata-kata yang tidak mengenakkan, bentuk dari kekesalannya terhadap Jalil. Nana tidak terlalu suka terhadap kepedulian Jalil dan iming-iming semunya kepada Mariam, itu jelas hanya kepura-puraan belaka. Hingga akhirnya suatu ketika, diumurnya kelima belas, Mariam ingin sekali mengunjungi bioskop milik Jalil di Kota Herat, dan Jalil, ayah biologis Mariam berjanji akan menjemputnya. Namun sayangnya hal itu hanya wacana saja. Jalil tidak menepati janjinya. Begitu saking penasarannya Mariam ia harus membayar mahal atas kebulatan tekadnya menemui ayah biologisnya ke Kota Herat. Sepulang dari Herat, ia harus menjalani awal kepedihan hidupnya yakni menemukan jasad ibunya, Nana gantung diri. Kini Mariam hanya seorang diri di dunia. Terpaksalah ia ikut Jalil bersama ketiga istri sahnya dan tinggal bersama anak-anak Jalil yang sah. Bagi Mariam, tinggal bersama mereka adalah sebuah keterasingan yang tak berujung. Begitu pula yang dirasakan oleh para istri Jalil, tinggal bersama Mariam adalah sebuah aib keluarga besar Jalil. Sehingga cepat-cepat mereka menikahkan Mariam dengan Rasheed, seorang duda tua dan pengusaha sepatu. Hal ini adalah upaya keluarga besar Jalil membuang jejak skandal Jalil dengan Nana.
Lepas dari mulut harimau masuk ke dalam mulut buaya. Begitulah perumpamaan nasib hidup seorang Mariam. Pernikahan yang ia dambakan menjadi penyelamat nasib hanyalah sebuah impian belaka. Awal menikah memang bagaikan mimi lan mintuno, seiring berjalannya waktu, Rasheed yang mengharapkan keturunan dari Mariam pupus harapan karena ia berkali-kali mengalami keguguran. Hal ini yang membuat Rasheed terlalu protektif sebab ia pernah kehilangan anak laki-laki dari pernikahannya terdahulu. Semenjak itulah Rasheed sering berbuat kasar, murung, cepat marah dan tidak lagi menghargai Mariam sebagai isterinya. Sikap lemah dan ketidakberdayaan perempuan di atas dominasi laki-laki benar-benar muncul di dalam babak ini. Kehidupan pernikahan mereka jauh dari kata harmonis. Kesalahan terkecil yang diperbuat Mariam, menumbuhkan benih kekesalan yang tiada ampun dan berujung pada tamparan, pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh Rasheed.
Babak barupun dimulai kembali, munculnya tokoh bernama Laila, gadis dari keluarga baik-baik yang bercita-cita memiliki pendidikan tinggi. Ia tinggal bersama ayah dan ibunya. Dua kakak laki-laki Laila terbunuh saat bergabung dengan para mujahidin melawan Uni Soviet. Ibu Laila hampir terkena depresi saat mengetahui bahwa kedua anak laki-lakinya tewas. Saat itulah, Laila juga sedang berkecamuk mempertahankan rasa cintanya dengan seorang laki-laki yang bernama Tariq. Tiba-tiba tragedi terjadi di tengah perang berkobar, Laila terpisah dari keluarganya dan kini ia hidup sebatangkara. Oleh Rasheed ia diasuh dan dinikahi tanpa meminta izin dan memikirkan perasaan Mariam, perempuan yang terlebih dahulu tinggal di kediaman Rasheed. Lailapun sebenarnya tidak suka atas otoritas yang semena-mena Rasheed lakukan terhadap dirinya. Awalnya Mariam sangat membenci kehadiran Laila, sebab Rasheed meminta dirinya untuk melayani smua kebutuhan Laila dengan cara merendahkan dirinya dihadapan gadis yang akan berbagi suami dengannya.
Namun sedikit-sedikit rasa benci itu hilang ketika Mariam melihat kekasaran Rasheed tidak hanya berlaku untuk dirinya, tapi juga marunya, yakni Laila. Timbul perasaan kasihan dan saling melindungi diantara kedua perempuan itu. Kekerasan dalam rumah tangga terjadi setiap hari dan menimpa mereka berdua. Mereka harus berjuang di dalam rumah, bertahan atas sikap otoriter Rasheed dan juga berjuang menghadapi kemelut peperangan di luar. Di tengah ancaman keamanan, mereka saling menguatkan dan berusaha keluar dari kungkungan rumah tangga tiran tersebut.
Kisah ini merupakan novel bernuansa melodramatis yang diangkat oleh pelaku atau pengungsi yang mengalami peristiwa pahit sendiri di tengah keterpurukan politik, sosial dan rezim tiran. Andai saja Kholed Hosseini tidak menuliskan dengan detil tahun dan deskripsi atmosfer Afghanistan saat itu, bisa dipastikan novel ini hanya tulisan epic yang mengulas kesedihan saja. Namun tidak bagi novel yang syarat akan kentalnya budaya Afghan ini. Emosi dan kekuatan narasi serta bahasa Afghanistan yang dibiarkan tanpa diterjemahkan oleh penulis sendiri adalah cara mempertahankan kekhasan dari ATSS. Dan yang lebih gregetnya, Khaled menuliskan semua detil tahun dan pihak-pihak yang bertikai pada saat itu. Sehingga pembaca diajak merekam kronologis dari tahun ke tahun sejarah porak-porandanya negara Afghanistan. Pembaca juga diajak menelusuri berbagai macam kepedihan yang dialami oleh rakyat sipil, roket yang meluluh lantakkan pemukiman warga, terburainya jasad-jasad tak berdosa, anak –anak dengan mudah terpisah dari keluarga, perempuan tertindas, semakin dibatasi geraknya, tidak diperbolehkan sekolah dan berpendidikan, hanya boleh berdiam diri di rumahnya masing-masing, sedangkan lelaki dianjurkan memelihara rambut janggutnya dan memakai sorban.
Suasana mencekam turut membangun penokohan Maryam dan Laila yang berhasil membuat para pembaca berderai air matanya. Potret yang dihadirkan dalam tulisan Khaled Hosseini merupakan gambaran utuh masyarakat Afghanistan saat itu. Tema yang diangkat penulis sangat lekat dengan budaya patriarki yang banyak dialami oleh perempuan Indonesia yakni poligami dan kekerasan dalam rumah tangga. Maka dari itu tak heran pula bahwa nama Khaled Hosseini masih menjadi idola para pemburu novel dan untuk novel ATSS masih tetap menjadi bintang best seller versi Newyork Times walaupun tidak se-keren The Kite Runner yang sudah berhasil dibesut dalam satu garapan film. Untuk novel ini, peresensi memberi rentang nilai antara 8 sampai 10.
Komentar
Karakter yang dibentuk oleh penulis tentang dua tokoh utama Mariam dan Laila patut diacungi jempol. Semua bisa bersatu dalam dua karakter yang bertolak belakang. Kuat, tegar dan bijaksana dalam mengarungi sebuah ujian diri membuat dua orang tersebut bersahabat dalam melawan tiran patriarki lelaki.
Khaled Hosseini pun berhasil membuat jengkel para pembaca yang berusaha mengeja karakter Rasheed yang tidak karuan dan penuh kemarahan. Hal ini menunjukkan bahwa lelaki sebenarnya memikili sifat emosional yang lebih tinggi dan tak terkendali dibanding perempuan yang mudah meledak.
Dan kabar gembiranya lagi, penerjemah sepertinya melakukan keputusan yang bagus dalam menerjemahkan novel yang kaya akan nuansa sosio-kultur Afghanistan ini. Ia mampu mempertahankan puluhan kosa kata Afghanistan hanya untuk mendapatkan “cita-rasa” dan “kekhasan” yang dimiliki oleh tulisan Khaled. Begitupun penjabaran dari kosa kata tersebut dibuat begitu sangat mengalir sesuai porsi teks sumbernya. Alami, natural tanpa polesan. Khaled benar benar berhasil menghadirkan secara utuh kisah yang dibawa dari Afghanistan untuk pembaca di seluruh dunia sebagaimana The Kite Runner yang berhasil diterjemahkan ke 42 bahasa di dunia.
“Emosi terpendam, kekuatan cinta, keindahan, keterlarangan, dan kesabaran tanpa batas semua ditampilkan Khaled Hosseini di A Thousand Splendid Suns.” __ the Oprah Magazine
Jepara, 02 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar