Meredam Benturan Peradaban
(Aftertaste setelah menikmati Peradaban Sarung)
Penulis: Ach. Dhofir Zuhry
Penerbit: Elex Media Komputindo
Genre: Nonfiksi
Cetakan: Pertama 2018
Tebal: xvi + 255 halaman
Peresensi: Aida Mudjib
“NIKMATI SELAGI BISA, SUDAHI SEBELUM TERBIASA.” (Kutipan Peradaban Sarung hal. 55)
Pada rangkaian perang dingin antara USA – USSR, tersebutlah Lyndon B Johnson yang berkuasa di AS sedang asyik bermain hegemoni di perang Vietnam. Karena bernafsu banget untuk menang, bom napalm, gas berbahaya dan racun digunakan. Setelah 5 juta wanita dan anak-anak jadi korban –disamping pejuang vietkong dan prajurit AS juga tentunya- ternyata AS masih saja kalah. Saat itu satu national security advisor LBJ adalah Samuel Huntington. Nasihat-nasihat terbaiknya –yang mahal dan khusus diberikan untuk memenangkan perang vietnam dan menaikkan daya tawar AS di depan Soviet – dan gagal total, membuat Huntington berpikir keras dimana letak kesalahannya.
Belum lama Soviet bubar dan dunia menata ulang carut-marut masalah HAM dan terutama ekonomi, Sam Huntington membuat ulah lagi dengan menelurkan Clash of Civilization; Benturan antar Peradaban. Menurutnya Konflik-konflik di benua itu adalah yang paling sering terjadi dan paling keras di antara berbagai kelompok dengan latar belakang peradaban berbeda. Hal ini terutama benar di sepanjang perbatasan blok bangsa-bangsa Islam yang membentuk bulat sabit dari ujung Afrika ke Asia Tengah. Kekerasan juga berlangsung di antara kaum Muslim, di satu pihak dan umat-umat agama lain di berbagai belahan dunia. “ Islam dikelilingi oleh perbatasan yang penuh darah” karena itu dianggap menjadi ancaman bagi Barat dan tidak mungkin tidak terjadi clash.
Seperti pepatah ‘jam rusak-pun akan menunjukkan waktu yang benar dua kali sehari’, pendapat Huntington yang dikritik banyak sekali ilmuwan dari ilmu sosial hingga matematikawan, didukung pula oleh banyak pihak termasuk muslim puritan. Teori huntington tentang tidak mungkin akurnya barat dan Islam di dunia, mengaminkan pandangan ekstremis islam “barat yang penuh dosa dan kita tidak ditakdirkan hidup bersama.”
Hatta, merembetlah semua kekacauan itu pula ke Indonesia. Kaum wahabi-salafi yang menemukan jalan lempang sesudah tumbangnya orba dan hebohnya politik negara, melihat banyak sekali ketidak-beradaban di masyarakat. Mereka sekian lama terkurung sebagai gerakan tarbiyah underground tidak lagi mau eksistensinya diabaikan. Bangsa harus diselamatkan. Dan yang menjadi sasaran utama di Indonesia adalah kaum sarungan.
Pemilik peradaban sarung.
Jika mendengar kata sarung, apa yang muncul di benak adalah sepotong kain panjang kotak-kotak yang dijahit setik-balik dan digunakan untuk menutupi tubuh sebagai baju bawahan? Anda bisa jadi juga langsung terbayang santri – orang dewasa dan anak-anak yang hidup di pondok – dalam banyak batasan kesederhanaan. bangun pagi buta, harus beribadah dan mengaji hingga waktu sekolah tiba. Sore hari mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan lalu mengaji lagi dan belajar di malam hari. Waktu tidur relatif singkat, menu makanan terbatas, dan tinggal dalam ruangan besar berisi belasan santri. Sarung adalah dress code harian umum para santri dan santriwati.
Yup.
Berbicara mengenai buku Peradaban Sarung, berarti berbicara mengenai peradaban salah satu sub-masyarakat pengguna sarung terbanyak di dunia, yakni para santri. Seperti Uncle Sam Huntington yang bersuudhon dan menutup mata terhadap banyak fakta seputar korelasi antara negara sebelum nggebyah uyah menjatuhi Islam talak tiga, penganut islam puritan juga banyak menuduh muslim indonesia –terutama para santri, dengan berbagai macam tuduhan. Dari amalan harian, kopyah, sungkem tangan hingga main rebana dan hadrahan tetiba menjadi tidakan yang dianggap tidak memiliki aturan tertulis di Hadits dan Alquran. Semua yang tidak ada aturannya berarti pelanggaran. Semua pelanggaran berarti hukuman ketika tak bisa diingatkan. Sialnya tak ada hukuman yang dianggap lebih sengsara dari kavling neraka. Tetiba santri pengikut Kiai panutan umat menjadi senista pengikut azazil terlaknat.Ah wait a minute, jangan buru-buru Bro. Jika Pondok pesantren dengan kibaran jemuran sarungnya yang berderet dan bervariasi corak, motif dan warnanya rumah besar yang tak mungkin bisa digambarkan bagaimana asam-manis hidup di dalamnya hanya dengan kata, buku Peradaban Sarung ini adalah pamflet, buletin dan banner iklan dimana anda bisa sekilas melihat bagaimana indah ruang didalamnya. Bagaimana corak peradaban ini berawal mula dan terus ada di Indonesia.
Prof Dr. Koentjaraningrat menyatakan bahwa peradaban adalah bagian yang halus dan indah seperti seni masyarakat yang sudah maju didalam kebudayaan tertentu artinya mempunyai peradaban yang tinggi. Istilah peradaban biasanya digunakan untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan yang mana ketika waktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya berbentuk unsur-unsur budaya yang sifatnya halus, indah, tinggi, sopan, luhur dan sebagainya maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan sudah mempunyai peradaban yang tinggi.
Ach Dhofir Zuhri lewat buku ini menunjukkan kepada pembacanya tentang tingginya tingkat budaya pondok pesaantren. Dibagi dalam empat bagian: Bagian pertama buku fokus mengelaborasi makna filosofis dari santri. Apa sih santri itu? Bagaimana mereka dididik sewaktu di pesantren? bagaimana hasil yang diinginkan nanti ketika terjun ke umum?
Bagian kedua mengupas tentang Kiai serta perannya dalam membangun dan menjaga tatanan kehidupan yang baik di masyarakat, terutama di dalam lingkungan pesantren itu sendiri, barokah Kiai dan tentang Kiai yang berpolitik praktis. Bagian ketiga buku menjelaskan ilmu-ilmu hikmah yang banyak diwariskan dan diajarkan kepada santri di pesantren, seperti: toleransi, kesabaran, keikhlasan, kesolehan, tawaddu’, kesederhanaan, kepedulian, dll.
Pada bagian yang keempat dan terakhir, membahas mengenai jiwa patriotisme dan semangat membangun yang ditumbuhkan ke dalam jiwa para santri oleh para Kiai di pesantren. Pada bagian ini juga penulis mengelaborasi corak keislaman Indonesia yang dikembangkan melalui pondok pesantren dan sumbangan pesantren bagi peradaban dunia.
Buku ini jika diibaratkan minuman di terik siang, adalah jus alpukat, manis dan kaya rasa, segar serta mengenyangkan. Banyak pembahasan yang bertema berat disajikan dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti.
Seperti sarung yang memiliki banyak fungsi, selain sebagai bawahan baju, selimut saat dingin dan topeng maling, buku ini juga multifungsi. Bagi muslim pemula ataupun mereka yang ingin mengenal dunia pesantren buku ini harus baca. Bagi santri banyak bagian buku ini yang puitis dan quotable akan mengingatkan akan niat awal nyantri, tentang barokah dan nilai-nilai pesantren lainnya yang mungkin terlupa dan perlu diisi ulang dayanya.
Bagi kaum puritan dan pendukung benturan peradaban, buku ini adalah senyum ramah dan airbag peredam benturan. Buku ini bisa menjadi jembatan bagi ketegangan perspektif yang sering meruncing serta membukakan pintu dialog yang lebih lebar demi memperjuangan Islam yang rahmatan lil alamin.
Aida, Jombang, 31 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar