Judul: Fatimah
Penulis: Ali Syariati
Penerbit: Risalah Bandung
Tahun Terbit: --
Peresensi: Nur Hayati Aida
Siapakah Fatimah? Ia adalah putri Rasullah. Namun, jawaban itu tidak cukup untuk menggambarkan siapa sesungguhnya Fatimah. Siapakah Fatimah? Ia adalah ibu dari Hasan dan Husain. Sekali lagi, jawaban itu tidak cukup mampu untuk menyatakan siapa Fatimah. Lalu, siapakah Fatimah? Ia adalah istri dari Ali bin Abi Thalib. Dan lagi-lagi, jawaban itu tak cukup luas untuk menerjemahkan siapa Fatimah. Dan siapakah Fatimah? Fatimah adalah Fatimah. Dirinya sendiri. Begitu kira-kira Ali Syariati, pemikir Muslim dari Iran, menggambarkan Sayidatina Fatimah.
Ummu abiya, begitu kunyah Fatimah. Bukan tanpa alasan ia disebut sebagai ibu dari ayahnya. Karena memang sedari kecil, Fatimah telah menemani ayahnya dalam masa-masa sulit. Satu riwayat menggambarkan kaki-kaki kecil Fatimah segera berlari menuju ayahnya, Nabi Muhammad, saat orang-orang yang tak percaya pada risalah yang dibawa ayahnya melempari kotoran. Fatimah menghambur pada ayahnya dan mendekapnya. Tangan-tangan kecil itu yang membersihkan kotoran yang menempel pada baju dan tubuh ayahnya. Tangan kecil itu pula yang melawan ledakan kebodohan kemarahan dan kebencian, dan yang merawat ayahnya pada masa-masa sulit sepeninggal ibunya, Sayidatina Khadijah.
Fatimah, sebagaimana yang disabdakan Nabi, adalah salah satu dari empat perempuan terbaik di dunia. Fatimah, sedari kecil, telah terbiasanya dengan keserhanaan, penderitaan, dan kesukaran. Masa-masa tersulit keluarganya ada saat ayahnya menerima risalah kenabian. Masyarakat Quraiys memboikot jalur ekonomi pada keluarga Abu Manaf dan Abu Muthalib, terutama pada keluarga Muhammad. Harta ibunya yang berlimpah lambat laun habis untuk menyokong misi dakwah. Tak mudah menghadapi masa-masa kenabian itu.
Sayidatina Fatimah menepati perkataannya. Ia baru menikah dengan sayidina Ali setahun pasca Nabi Muhammad mempersunting Sayidatina Aisyah dan membawanya pulang ke rumah. Sebelumnya, putra Abu Bakar, Umar bin Abu Bakar, pernah menyampaikan keinginannya untuk meminang dirinya, tetapi tentu saja ia menolaknya dengan halus. Ia berjodoh dengan sepupunya sendiri, Ali bin Abi Thalib. Ali sendiri telah tinggal bersama Nabi Muhammad sedari kecil. Pengasuhan Ali berada di bawah Nabi Muhammad dan ia adalah golongan pertama dari anak kecil yang mengimani Allah dan rasul-Nya.
Cerita keislaman Ali bermula saat ia memergoki paman dan tantenya melakukan gerakan aneh saat tengah malam. Sekira ia berumur Sembilan tahun saat itu, tetapi ia adalah manusia dengan kecerdasan bernalar yang tinggi. Ia pun bertanya perihal apa yang dilakukan pamannya. Tak tak serta merta mengimani. Ia kembali ke kamar dan memikirkan, mempertimbangkan, dan mendiskusikan dengan dirinya sendiri.
Saat perkawinan Sayidina Ali dan Sayidatina Fatimah berlangsung, Ali tak memiliki apa-apa sebagai mahar kecuali pedang. Ia menjualnya dan menjadikannya mas kawin. Dan harta yang tercatat milik Fatimah hanyalah rajutan tangan, mangkuk kayu, dan satu permadani dari katun.
Rumah Sayidatina Fatimah dan Sayidina Ali berada persis di samping rumah Nabi Muhammad. Sehingga setiap pagi atau selepas bepergian, Nabi bisa dengan mudah menemukan wajah putrinya tersayang itu.
Pasca menikah, Sayidatina Fatimah dan Sayidina Ali tetap berada dalam kesederhanaan dan keterbatasannya. Fatimah menggiling gandum dan menjadikannya roti dengan tangannya sendiri. Yang ia miliki hanya dua lembar baju. Satu adalah kain yang menempel di tubuhnya dan satu lagi dijemurnya untuk dipakai kembali.
(Tentu saja cerita ini harus segera diakhiri, karena terlalu banyak hal yang ingin diceritakan)
Cerita tentang Fatimah di atas itu saya temukan di buku Fatimah karangan Ali Syariati –yang saya beli di salah satu toko online. Sayangnya, lembar pertama dan terakhir buku telah disobek sehingga saya kesusahan melacak pada tahun berapa buku itu diterjemahkan dan oleh siapa, serta apakah ada rujukan yang dipakai oleh Ali Syariati dalam menyusun buku tersebut.
Catatan kecil untuk buku ini terutama adalah mengenai referensi yang digunakan oleh Ali Syariati yang tak dijelaskan sumbernya, baik di catatan kaki atau bahan bacaan. Catatan kedua mengenai penerjemahan. Sebagai pembaca yang tak memegang naskah aslinya, saya dibuat bingung dengan beberapa kata yang telah dialih-bahasakan. Kelemahan penerjemahan, saya kira, adalah ketidakmampuan dan kegagalan penerjemah dalam memindahkan (kandungan) makna yang dimaksud oleh penulis pada padanan katanya.
Ummu abiya, begitu kunyah Fatimah. Bukan tanpa alasan ia disebut sebagai ibu dari ayahnya. Karena memang sedari kecil, Fatimah telah menemani ayahnya dalam masa-masa sulit. Satu riwayat menggambarkan kaki-kaki kecil Fatimah segera berlari menuju ayahnya, Nabi Muhammad, saat orang-orang yang tak percaya pada risalah yang dibawa ayahnya melempari kotoran. Fatimah menghambur pada ayahnya dan mendekapnya. Tangan-tangan kecil itu yang membersihkan kotoran yang menempel pada baju dan tubuh ayahnya. Tangan kecil itu pula yang melawan ledakan kebodohan kemarahan dan kebencian, dan yang merawat ayahnya pada masa-masa sulit sepeninggal ibunya, Sayidatina Khadijah.
Fatimah, sebagaimana yang disabdakan Nabi, adalah salah satu dari empat perempuan terbaik di dunia. Fatimah, sedari kecil, telah terbiasanya dengan keserhanaan, penderitaan, dan kesukaran. Masa-masa tersulit keluarganya ada saat ayahnya menerima risalah kenabian. Masyarakat Quraiys memboikot jalur ekonomi pada keluarga Abu Manaf dan Abu Muthalib, terutama pada keluarga Muhammad. Harta ibunya yang berlimpah lambat laun habis untuk menyokong misi dakwah. Tak mudah menghadapi masa-masa kenabian itu.
Sesaat sebelum ibunya meninggal, dengan bergelayut manja Fatimah berujar:
Ibu, aku takkan mengganti rumah ini dan meninggalkanmu sendirian.
Tentu saja Khadijah sebagai ibu hanya bisa tersenyum dan berkata:
Wahai, anakku. Engkau akan meninggalkan rumah ini pada masanya nanti.
Tapi, aku tak ingin meninggalkan ayah sendirian, balas Fatimah kemudian.
Sayidatina Fatimah menepati perkataannya. Ia baru menikah dengan sayidina Ali setahun pasca Nabi Muhammad mempersunting Sayidatina Aisyah dan membawanya pulang ke rumah. Sebelumnya, putra Abu Bakar, Umar bin Abu Bakar, pernah menyampaikan keinginannya untuk meminang dirinya, tetapi tentu saja ia menolaknya dengan halus. Ia berjodoh dengan sepupunya sendiri, Ali bin Abi Thalib. Ali sendiri telah tinggal bersama Nabi Muhammad sedari kecil. Pengasuhan Ali berada di bawah Nabi Muhammad dan ia adalah golongan pertama dari anak kecil yang mengimani Allah dan rasul-Nya.
Cerita keislaman Ali bermula saat ia memergoki paman dan tantenya melakukan gerakan aneh saat tengah malam. Sekira ia berumur Sembilan tahun saat itu, tetapi ia adalah manusia dengan kecerdasan bernalar yang tinggi. Ia pun bertanya perihal apa yang dilakukan pamannya. Tak tak serta merta mengimani. Ia kembali ke kamar dan memikirkan, mempertimbangkan, dan mendiskusikan dengan dirinya sendiri.
Saat perkawinan Sayidina Ali dan Sayidatina Fatimah berlangsung, Ali tak memiliki apa-apa sebagai mahar kecuali pedang. Ia menjualnya dan menjadikannya mas kawin. Dan harta yang tercatat milik Fatimah hanyalah rajutan tangan, mangkuk kayu, dan satu permadani dari katun.
Rumah Sayidatina Fatimah dan Sayidina Ali berada persis di samping rumah Nabi Muhammad. Sehingga setiap pagi atau selepas bepergian, Nabi bisa dengan mudah menemukan wajah putrinya tersayang itu.
Pasca menikah, Sayidatina Fatimah dan Sayidina Ali tetap berada dalam kesederhanaan dan keterbatasannya. Fatimah menggiling gandum dan menjadikannya roti dengan tangannya sendiri. Yang ia miliki hanya dua lembar baju. Satu adalah kain yang menempel di tubuhnya dan satu lagi dijemurnya untuk dipakai kembali.
(Tentu saja cerita ini harus segera diakhiri, karena terlalu banyak hal yang ingin diceritakan)
Cerita tentang Fatimah di atas itu saya temukan di buku Fatimah karangan Ali Syariati –yang saya beli di salah satu toko online. Sayangnya, lembar pertama dan terakhir buku telah disobek sehingga saya kesusahan melacak pada tahun berapa buku itu diterjemahkan dan oleh siapa, serta apakah ada rujukan yang dipakai oleh Ali Syariati dalam menyusun buku tersebut.
Catatan kecil untuk buku ini terutama adalah mengenai referensi yang digunakan oleh Ali Syariati yang tak dijelaskan sumbernya, baik di catatan kaki atau bahan bacaan. Catatan kedua mengenai penerjemahan. Sebagai pembaca yang tak memegang naskah aslinya, saya dibuat bingung dengan beberapa kata yang telah dialih-bahasakan. Kelemahan penerjemahan, saya kira, adalah ketidakmampuan dan kegagalan penerjemah dalam memindahkan (kandungan) makna yang dimaksud oleh penulis pada padanan katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar