Penulis: Shahad Al Rawi
Penerjemah: Khanifah
Penerbit: Kakilangit Kencana
Tahun terbit: 2018
Jumlah halaman: 233
Genre: Fiksi, fantasi, novel
Peresensi: Uswah
The Baghdad Clock adalah novel yang ditulis oleh Shahad Al Rawi, penulis dan novelis Irak yang lahir dan besar di Baghdad. The Baghdad Clock merupakan karya perdananya yang telah melewati tiga cetakan dalam bulan-bulan pertama sejak dipublikasikan dan dinominasikan untuk Arabic Booker Prize.
Novel ini memiliki dua bab; bab pertama dinamakan “Buku 1”, terdiri dari 36 bagian, menceritakan tentang persahabatan dua gadis yang tinggal di perkampungan Baghdad, kisah berlangsung hingga akhir perkuliahan mereka, lalu berpisah untuk sekian waktu yang lama karena kondisi politik pada saat itu.
Bab kedua dinamakan “Buku 2” atau “Buku Masa Depan”, terdiri dari 9 bagian yang merupakan akhir kisah dari seluruh tokoh yang telah diceritakan pada Buku 1.
Narator novel menggunakan bahasa “aku” pada buku 1, tidak disebutkan namanya dari awal hingga akhir. Bersama sahabatnya, Nadia, gadis bermata hijau yang menemani kisah tokoh utama dengan setting Perang Teluk 1 di Baghdad pada tahun 1991.
Diawali dengan persahabatan dua gadis kecil usia 5 tahun yang bertemu di bunker perlindungan, mereka bersekolah di tempat yang sama hingga menengah atas. Ikatan persahabatan itu mulai menghadirkan beberapa kisah fantasi seperti narator yang mampu memasuki mimpi Nadia yang diulang-ulang dalam beberapa bab. Pada kisah selanjutnya, tidak hanya narator yang bisa memasuki mimpi Nadia, bahkan seekor anjing juga mampu memasuki mimpi-mimpi manusia. Sebenarnya saya cukup terganggu dengan adanya cerita fantasi ini, seandainya bagian ini ditiadakan tidak akan mengurangi deskripsi tentang imajinasi anak-anak dalam novel.
Novel ini dilengkapi dengan kisah keseharian yang begitu ringan dan normal terjadi di perkumpulan masyarakat. Didukung oleh tokoh-tokoh berkarakter yang dihadirkan untuk menghangatkan cerita seperti Paman Shawkat dan istrinya Biji Nadira juga anjingnya Biryad, Ummu Rita, Abu Manaf, Ibu Marwa, Mayada, Ummu Ali, Ummu Salli, Ibu Malaika, dan tokoh-tokoh lain dalam sekitaran perkampungan Baghdad.
Cerita dalam novel ini sangat sederhana seperti cerita-cerita keluarga pada umumnya, baik narator dan Nadia berasal dari keluarga yang sama tanpa dikotakkan berdasarkan strata, persahabatan terjalin dengan begitu indah, namun layaknya persahabatan antar perempuan, ada sedikit cemburu dan konflik-konflik kecil dalam alur ceritanya, geng anak-anak perempuan di sekolah, tetangga yang bergosip dengan tetangga lainnya sehingga membuat ceritanya terasa begitu natural.
Kisah-kisah imajinatif mulai bergeser menjadi kisah cinta antara Narator dengan Faruq dan Nadia dengan Ahmad saat mereka berusia remaja [bag. 8]. Saya mulai berharap seiring dengan bertambahnya usia tokoh utama dalam buku ini maka perspektif akan berubah menjadi cerita tentang keadaan perang saat itu. Namun pembaca yang terjebak dengan deskripsi dan setting novel ini harus menepis hal tersebut. Agaknya penulis lebih menyoroti tentang kisah-kisah fantasi, imajinasi dan romansa, serta tidak terlalu emosional menuliskan bagaimana konflik yang terjadi; tidak kelaparan, tidak juga hancurnya rumah-rumah, juga korban dan penderitaan yang dramatis. Tidak ditemukan juga permasalahan ekonomi, ideologis ataupun situasi politik yang mengecam sebagaimana sejarah Perang Teluk 1 di Irak pada tahun 1991.
Bahkan klimaks cerita dua gadis yang bertahan hidup pada zaman perang ini digambarkan dengan mulai sepinya kampung yang ditinggalkan oleh penghuninya karena tentara Amerika membombardir Irak di sekitaran Baghdad, hanya tinggal beberapa keluarga yang bertahan untuk tidak meninggalkan Baghdad.
Pada bab kedua, muncul narator lain yang memperkenalkan diri sebagai buku masa depan, bercerita dengan kata ganti “aku”. Pada bab kedua ini diceritakan perbagian bagaimana jalan hidup masing-masing yang dialami oleh seluruh tokoh yang dikisahkan pada bab 1. Endingnya banyak yang plot twist, seperti kisah cinta narator dengan Faruq yang ternyata kandas dan memiliki pasangan masing-masing, begitu juga dengan Nadia yang kandas dengan Ahmad. Karakternya berbalik arah menjadi pencemburu suaminya, bahkan narator dan Nadia yang dulunya adalah sahabat sejati mulai hilang kontak dan fokus pada kehidupan masing-masing, juga tokoh-tokoh lain yang ceritanya berubah 360 derajat.
Tidak banyak juga tokoh real disebutkan untuk sekadar membuat kisah ini seolah-olah nyata di mata pembaca, hanya beberapa nama besar yang ikut andil dalam perang, ”George Bush dan putranya George W Bush bergiliran menembakkan rudal dan senjata ilegal di masa kecil kita. Sementara Bill Clinton dan wanita tua Madeleine Albright puas membuat kami kelaparan”. Saya menyadari bahwa novel ini bukanlah jenis novel sejarah, maka tidak adil rasanya menghakimi penulis hanya karena kurang ‘greget’nya kisah yang dituliskan.
Awalnya saya membayangkan jika membaca novel ini akan memiliki ‘sense’ yang sama ketika membaca novel The Kite Runner karya Khaled Hosseini dengan versi persahabatan dua perempuan, tapi ternyata membacanya lebih ringan dan minim konflik, bahasanya juga ‘quotable’ banget 😄
Saya sebenarnya menyayangkan jika novel ini dinominasikan menjadi Arabic Booker Prize. Namun mungkin selera pembaca di negeri seribu satu malam tersebut berbeda.
The Baghdad Clock sendiri, diambil dari kenangan narator dan teman-temannya saat melakukan kunjungan sekolah ke Menara Jam Baghdad saat kelas 4 SD.
Bagi mereka yang takut dengan masa depan, masa lalu menjadi sebuah gua yang dicari orang untuk berlindung setiap kali mereka berpaling dari kekejaman masa kini [hal. 129]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar