Penulis: Cho Nam-Joo
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa: Iingliana
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 192 halaman
Genre: Fiksi
Peresensi: Ihdina Sabili
Perempuan seringkali dianggap sebagai makhluk yang lemah, sensitif, dan mudah tersentuh perasaannya. Bahkan sejak zaman jahiliyah, perempuan tidak hanya dinomorduakan kehadiran dan perannya dalam masyarakat. Lebih tragisnya lagi perempuan seakan tidak dianggap, bayi perempuan harus dikubur hidup-hidup. Meski tradisi ini terjadi pada waktu yang lampau, sayangnya hal ini masih banyak berlaku di kehidupan masa kini di beberapa seantero negara.
Buku Kim Ji Yeong Lahir Tahun 1982 ini menggambarkan kehidupan perempuan di Korea Selatan. Kim Ji Yeong adalah seorang perempuan yang lahir di tahun 80’an dan masih merasakan betapa terintimidasinya menjadi perempuan di negaranya saat itu. Perlakuan dan sikap berbeda ia dapatkan sejak dalam keluarga kecilnya, sekolahnya hingga lingkungan kerjanya. Stigma yang ia dapatkan dari waktu ke waktu membentuk pribadi yang kuat dan tahan banting. Namun juga rupanya menjadi bom waktu yang pada akhirnya meledak di puncak keputusasaan.
Jika dalam koridor agama Islam, disebutkan bahwa perempuan memiliki status yang sangat berarti semenjak kecil hingga dewasa. Saat kecil ia menjadi penenang atau penghibur untuk kedua orangtuanya. Saat telah berumahtangga ia menjadi penghias untuk suaminya. Dan saat memiliki anak dia menjadi surga bagi para buah hatinya. Bukankah ini adalah kedudukan yang sangat istimewa. Tapi lain rupanya yang terjadi di negara ginseng itu.
Kim Ji Yeong harus selalu mengalah semenjak kecil, karena dalam pandangan ayahnya, hanya anak laki-laki lah anak yang istimewa. Saat di jenjang sekolah, ia beberapa kali menjadi korban perundungan teman-teman cowoknya dengan kalimat-kalimat tak pantas. Bahkan saat larut malam mengendarai bus kota, ia dibuntuti salah satu teman cowoknya. Dalam situasi tersudut itupun, ia masih disalahkan oleh ayahnya.
Ketika di dunia karir, keberadaannya sebagai seorang perempuan membuatnya menemui banyak kesulitan. Pandangan-pandangan miring mengenai skill dan kemampuan dalam bekerja menjadikannya tak pernah dipilih sebagai pimpinan projek, meski ia sudah semaksimal mungkin melakukan yang terbaik. Setelah menikah, permasalahan kembali bertambah, kalimat negatif terus menghantui dari berbagai sumber. Terutama yang membuatnya tertekan adalah keluarga suaminya.
Semua semakin jelas dan terasa berat saat ia hamil. Meski sebelumnya ia menjadi bahan cibiran karena tak kunjung mengandung. Namun beban yang ia tanggung selama sembilan bulan bukan hanya lahir, namun juga menekan batin. Perang batin sering terjadi, antara masih ingin terus melanjutkan bekerja tetapi badannya mulai payah untuk dipaksakan seaktif dulu. Berdiam diri di rumah juga bukan solusi terbaik.
Saat anaknya telah lahir, drama semakin memuncak. Pagi setelah suaminya berangkat kerja, ia mengantar anaknya ke penitipan. Maka ia harus menghadapi setumpuk kerjaan rumah tangga yang tak kunjung henti. Kesendirian ditambah kalimat-kalimat negatif yang tertiup dari sekelilingnya semakin mempertajam gejala baby blues, bahkan gangguan mental yang dia alami. Bahkan saat suaminya menawarkan bantuan, ia malah menyemprotnya dengan marah.
“Tidak bisakah kau berhenti mengoceh tentang bantuan? Kau membantu dalam urusan rumah tangga, membantu membesarkan anak, membantu urusan pekerjaanku. Memangnya rumah ini bukan rumahmu? Memangnya keluarga ini bukan keluargamu? Anak ini bukan anakmu? Lagi pula, selama aku bekerja, memangnya hanya aku sendiri yang menikmati hasilnya? Kenapa kau berbicara seolah-olah kau bersikap murah hati menyangkut pekerjaanku?”
Umumnya gejala baby blues dialami oleh seorang ibu muda yang kurang mendapat dukungan dari lingkungan sekitarnya, khususnya suaminya. Namun jika sang suami dapat memahami dan turut bekerjasama menyelesaikan urusan-urusan domestik rumah tangga maka ibu muda tersebut tidak akan merasa terbebani secara berlebihan. Begitulah pentingnya menjaga kewarasan batin bagi perempuan, terutama pasca melahirkan. Buku ini menguakkan perasaan dan kondisi perempuan sedunia yang berada dalam fase serupa dengan Kim Ji Yeong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar