Penulis: Kalis Mardiasih
Genre: Nonfiksi
Penebit: Mojok
Tahun terbit: 2019
Peresensi: Nurhayati Aida
Peresensi: Nurhayati Aida
Saat tuntas membaca buku yang ditulis oleh Kalis Mardiasih ini, saya menemukan satu hal yang seharusnya dimiliki oleh seseorang, yaitu ruang jumpa.
Mungkin banyak orang, termasuk saya, terbiasa hidup di lingkungan yang sangat homogen. Hidup di lingkungan masyarakat yang beragama sama dan kalau mau dipersempit lagi di masyarakat beragama dengan tertentu mazhab tertentu dan berafiliasi dengan ormas keagamaan tertentu. Saya, misalnya, lahir dan tumbuh di lingkungan Islam, bermazhab Sunni, dan aktif di ormas keagamaan NU, menghabiskan masa remaja dan belajar di lingkungan NU. Hampir-hampir tak pernah bersinggungan dengan yang selain Muslim. Nah, karena ini pula, di desa saya dulu atau di desa tempat saya belajar, menjadi Muhammadiyah itu aneh. Nulayani adat. Saya terutama tak punya banyak kesempatan untuk bertemu dengan orang yang berbeda agama, mazhab, atau ormas keagamaan. Meski begitu, kalau bertemu berbeda pandangan tentu saja ada. Lha wong di sekolah dulu ada mata pelajaran Muqaranatul Mazahib.
Sejauh yang saya ingat, saya hanya punya kenangan dengan dua orang non Muslim. Pertama adalah Pak Jaswadi, guru sewaktu SD yang juga kepala sekolah, dan yang kedua adalah Cici (saya lupa namanya), yang rumahnya di depan Pasar Bulumanis, yang dengan sabar menemani kami belajar merajut. Ingatan pada dua orang itu sederhana saja. Tak ada yang berkesan. Memang ada sayup-sayup terdengar dari para guru yang tak mau makan sembelihan Pak Jaswadi, tetapi saya tak pernah ambil pusing. Wajar saja. Tapi, perihal perkataan itu tak lantas membuat saya memberi jarak pada Pak Jaswadi. Dan pada Cici depan Pasar Bulumanis itu, yang saya ingat justru sepotong kue dan air kemasan yang selalu diselipkan di tas sewaktu hendak pulang. Itu saja pengalaman saya dengan non Muslim. Sederhana sekali. Baru setelah lulus dari Kajen dan pindah ke Jakarta, saya mulai menemukan ruang jumpa dengan beraneka ragam agama, mazhab, juga ormas keagamaan.
Mengapa ruang jumpa yang heterogen itu penting? Setelah membaca buku Kalis Mardiasih ini mengantarkan saya pada satu kesimpulan. Kekayaan bertemu dan berinteraksi dengan yang tak serupa (pikiran, mazhab, agama, pilihan politik) membuat kita terhindar dari fanatik buta, atau menjadi orang beragama yang kagetan.
Ruang jumpa dan interaksi secara personal lebih mengikat jiwa daripada membaca tulisan-tulisan yang mengajak untuk membenci yang (ber)lain(nan iman)
Kalis mungkin salah satu orang beruntung itu. Ia berkesempatan untuk mencicipi interaksi dengan beragam orang dari latar belakang yang berbeda semenjak masih masih kanak-kanak yang memberikan ingatan juga ikatan yang kuat dalam batinnya.
Dan beruntungnya lagi, Kalis mau berbagi kisah-kisah sederhana namun dalam tentang perjumpaannya dengan berbagai orang itu dan kesan (pandangan) pribadi - yang boleh jadi tak dialami oleh yang lain.
Dalam buku ini Kalis dengan piawai mengungkapkan satu tema tertentu dengan berangkat dari cerita yang sangat dekat. Bahkan nyaris tanpa sekat dan seolah-olah kita mengalaminya sendiri.
Tapi saya juga mau bilang bahwa beragama seperti kanak-kanak tak sepenuhnya dipenuhi dengan kenangan yang indah. Kalau boleh jujur, kenangan saya mengenai (belajar) agama malah buruk sekali. Entah mengapa waktu kecil itu bayangan saya tentang Tuhan itu yang sukanya marah dan menghukum. Lha gimana? Wong tiap hari orang rumah dan guru-guru bilang: 'awas kalau gak shalat, nanti masuk neraka' atau begini 'kalau gak jadi anak baik nanti dihukum sama Allah'. Ya tentu saja, shalat dalam bayangan masa kecil itu bukan sebentuk rasa cinta makhluk dengan Tuhannya, tetapi sebuah tameng supaya murka Tuhan tak tumpah.
Bersyukurnya beragama itu bukan hanya semata-mata ibadah fisik belaka, seperti shalat, puasa, ibadah haji, atau zikir. Tetapi hal-hal macam menyayangi dan mencintai dengan tulus dan tanpa pamrih. Kalau Anda sedang membawa buku 'Hijrah Jangan Jauh-jauh Nanti Nyasar' bisa langsung buka halaman 147 yang bercerita tentang Pak Wanto, Nurul, dan Pesta Tahun Baru. Membaca bagian itu, saya saya basah dan tetiba anakan sungai di pelupuk mata.
Keren banget Kak. Oh ya, kalau mau ikutan nulis di perempuan membaca ini syaratnya apa saja yah?
BalasHapusSilahkan bisa kunjungi highlight instagram kita ya kak di @perempuan_membaca
Hapus