Sejak kecil, aku menyadari bahwa aku hidup di negeri di mana benda matipun punya kelamin. Kopi itu laki-laki. jarum jahit itu perempuan. Malam itu laki-laki. Rambut panjang itu perempuan.
Sudah sejak puluhan tahun yang lalu bangsa Indonesia merayakan hari besar di tanggal 21 April - yakni hari peringatan untuk ibu kita Kartini. Kartini adalah simbol perlawanan terhadap patriarki. Yang diperjuangkan oleh Kartini dulu bukan hanya hak perempuan untuk berpendidikan, melainkan juga hak untuk setara. Perjuangan Kartini di masa lalu bisa kita (wanita) nikmati buahnya sekarang. Meski tak semua wujud patriarki bisa dihapus. Salah satu yang masih tersisa adalah pandangan negatif terhadap perempuan yang dari bibir merah nya keluar kepulan asap rokok. Perempuan dan rokok memang masih dianggap tabu. Berbeda dengan secangkir kopi hitam yang sekarang sudah dianggap berkelamin ganda, rokok masih saja identik sebagai simbol maskulinitas. Bahkan di zaman modern ini, perempuan perokok masih distigmakan sebagai perempuan nakal, tidak baik, atau segala kata yang memiliki konotasi negatif. Padahal diluar konteks bahaya rokok dari segi kesehatan, merokok tentu juga menjadi hak bagi perempuan.
Berbicara soal perempuan dan rokok, membuatku mengingat sebuah novel berjudul "gadis kretek" karya dari Ratih kumala. Gadis kretek adalah sebuah fiksi sejarah yang bercerita seputar perjalanan hidup seorang perempuan jawa bernama Jeng-Yah.
Jeng-Yah memiliki pabrik kretek lokal terbesar di zamannya. Yang membuat kretek Jeng-Yah terkenal bukan hanya karena lintingan kertas berisi tembakau dan cengkeh itu memiliki citarasa yang khas, tetapi juga karena cerita di baliknya. Konon katanya, Jeng-Yah memiliki air ludah yang manis seperti Roro mendut. Maka, "saus" utama dari kretek Jeng-Yah adalah air ludah manisnya yang terkenal itu.
Dalam sejarahnya, budaya merokok pada wanita sudah ada sejak kerajaan Mataram. Sejak dahulu sampai sekarang pun, buruh di pabrik rokok didominasi oleh 80% perempuan. Buruh-buruh itu menghasilkan uang dari memproduksi rokok. Uangnya lalu mereka gunakan untuk menghidupi keluarganya, dan mencerdaskan anak-anaknya. Lalu, masyarakat masih menganggap perempuan yang bersentuhan dengan rokok sebagai perempuan tak bermoral?
Dalam Islam, sudah banyak literasi-literasi yang membahas seputar rokok. Di sini aku tidak akan membicarakan seputar pro-kontra nya. Meski aku bukan perokok, tapi thanks god, i am a Nahdhiyyin. Kiai-kiai NU tahu betul nikmatnya kebal-kebul, itu kenapa NU lebih asyik dalam menghukumi masalah rokok dibanding golongan lain seperti ulama salafi fanatik yang menghukumi rokok sebagai bid'ah dan haram.
Dalam kaitan perempuan merokok, Syeikh Al Bajuri dalam kitabnya Hasyiatul Bajuri dawuh bahwa jika seorang suami memiliki istri yang punya kebiasaan meminum kopi dan merokok, maka suami wajib menyediakan nafkah tersebut.
ويجب لها أيضا الفاكهة التي تغلب في أوقاتها......... والقهوة والدخان إن اعتادت شربهما
"wajib juga untuk istri (bagi suami) buah-buahan yang banyak dijumpai di masa itu... juga kopi dan rokok jika istri terbiasa meminum kopi dan merokok"
Tradisi perempuan merokok juga tumbuh di pesantren. Sejak dahulu hingga sekarang, banyak bunyai/istri kiai yang merokok. Awalnya, wanita Jawa terdahulu memiliki kebiasaan menyirih/nginang. Saat menggigit sirih, bibir dan air ludah berubah menjadi warna merah. Lalu akhirnya kebiasaan menyirih tersebut berganti menjadi merokok.
Stigma negatif tentang wanita yang merokok belum juga hilang. Bunyai sebagai sosok yang dianggap sebagai tokoh masyarakat menyadari betul hal ini. Itu kenapa beliau-beliau memilih untuk menjadikan aktifitas merokok nya sebatas off the reccord. Padahal dalam agama, ini sama sekali tak ada salahnya. Image merokok dapat mencerminkan kepribadian perempuan hanyalah opini yang dipengaruhi oleh tradisi yang terbentuk secara turun-temurun. Entah akan sampai kapan stigma ini bertahan. Padahal yang sering kutemui, perempuan yang kaya akan wangi tembakau, sarat dengan aroma cinta. ❤️
Salam
Farah Firyal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar