Pengarang: Khilma Anis
Penerbit: Telaga Aksara
Tahun Terbit: September, 2019
Jumlah Halaman: 276
Genre: Fiksi, Sastra Pesantren
Peresensi: Iffah Hannah
Setelah kesuksesan Hati Suhita yang merebut hati ratusan ribu pembaca dan menjadi salah satu novel yang dianggap memberikan sumbangsih besar bagi genre sastra pesantren dewasa ini, beberapa pembaca Hati Suhita pun mulai penasaran dengan novel-novel lain yang ditulis Khilma Anis, salah satunya Wigati. Beberapa hari lalu, setelah menyimak salah satu episode ngobrol bareng Perempuan Membaca yang menghadirkan Khilma Anis sebagai narasumbernya, saya tiba-tiba menjadi penasaran dengan Wigati dan segera menghubungi Nabila Munsyarihah untuk dicarikan novel Wigati.
Meskipun Nabila mengatakan bahwa Wigati sangat berbeda dengan Hati Suhita, serta didukung pernyataan salah seorang sahabat yang sekaligus merupakan editor Hati Suhita, Achiriyati Sundari, yang mengungkapkan hal serupa, di awal kedatangan buku itu ke rumah, saya tetap menduga-duga kalau ceritanya pasti mirip-mirip Hati Suhita; tentang konflik percintaan Gus dan Ning pesantren yang dibumbui cerita wayang. Sehingga, ketika novel Wigati yang dikirim Nabila sampai, saya hanya membuka bungkusnya sebentar kemudian kembali berkutat dengan bacaan-bacaan dan tugas lain yang memang lebih mendesak. Sampai akhirnya, ketika salah satu tugas kuliah selesai, dan karena di malam lebaran saya merasa enggan membaca materi kuliah yang berat-berat, saya memutuskan membaca Wigati. Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, bahwa ekspektasi saya betul-betul tidak tinggi. Apalagi melihat kecenderungan novel sastra pesantren akhir-akhir ini yang ngepop banget, seperti chicklit atau metropop berlatar pesantren, saya sudah bersiap bosan sejak membaca halaman awal Wigati.
Tetapi… saya salah.
Setelah merampungkan novel setebal 270an halaman dalam waktu kurang dari 24 jam, saya merasa bahwa Wigati ternyata adalah salah satu novel sastra pesantren terbaik masa kini yang pernah saya baca.
Di tengah kemunculan novel-novel pesantren yang ngepop banget akhir-akhir ini dengan menarasikan suara (yang mohon maaf) sedikit elitis: Gus dan Ning dari pesantren besar, yang ganteng dan cantiknya tidak ketulungan (bahkan kadang dipersamakan dengan artis-artis terkenal), pinter bisnis, alim, cerdas, dan kaya raya nggak kira-kira, dan membuat pembaca termehek-mehek baper mengangan-angankan bagaimana rupa Gus dan Ning dalam tokoh fiksi tersebut, Wigati seperti menjadi oase yang begitu melegakan. Ia dinarasikan oleh suara santri biasa, yang di dalam Wigati direpresentasikan oleh Lintang Manik Woro; santri yang berjibaku dengan kehidupan sehari-hari di pesantren yang begitu sederhana. Menimba air dan minum air sumur tanpa dimasak, ngaji bareng-bareng santri lain ke Romo Kiai, mencuci, memasak di dapur yang becek, ditakzir saat membuat kesalahan dan lain sebagainya.
Yang membuat novel Wigati begitu mempesona adalah kepiawaian penulis mengisahkan persahabatan dan cinta dengan latar pesantren yang berkelindan dengan persoalan keris dan falsafah Jawa. Manik, yang menjadi tokoh aku dalam novel tersebut bersahabat dengan Wigati, santri putri yang pendiam dan cukup aneh di pondok karena terlihat akrab dengan hal-hal mistis. Karena kedekatan itulah, ia mau tidak mau ikut terjerumus dalam pusaran konflik batin Wigati dengan masa lalunya, tentang teka-teki siapa sesungguhnya ayah kandung Wigati. Sebagai seorang keturunan empu besar, baik dari pihak kakek maupun nenek, Wigati akrab dengan cerita-cerita mengenai keris-keris pusaka yang pernah ditempa oleh kakeknya. Ia pun mewarisi keris berbentuk patrem bernama Nyai Cudrik Arum yang diantarkan oleh Hidayat Jati, anak dari lelaki yang dititipi amanah untuk menyimpan patrem tersebut oleh Empu Suronggono, kakek Wigati. Patrem itu harus dipertemukan dengan pasangannya, keris Kiai Rajamala yang kini ada di tangan ayah kandungnya. Perjuangan Manik dalam membantu sahabatnya, Wigati, untuk bertemu kembali dengan ayah kandungnya dan memastikan kalau sahabatnya tidak melakukan hal-hal mengerikan yang dipicu dendam serta kemarahannya pada ayah kandung karena sudah menelantarkannya. Dan di tengah perjalanan itu, Manik jatuh hati pada Jati. Perasaan itupun bersambut. Tetapi sebagaimana kisah-kisah cinta di dunia nyata, kadang cinta saja tidak cukup untuk menyatukan dua orang yang saling jatuh cinta bukan?
“Ada yang lebih mengerikan dari perang manapun. Yaitu perang di dada kita sendiri.” (Wigati, hal 165)
“Aku menggeleng, tapi hatiku menjawab bahwa sikap paling sulit adalah duduk begini dekat dengan orang yang kita cintai, tapi yang bersangkutan tidak tahu. Sikap paling sulit adalah diam-diam mencintai.” (Wigati, hal 199)
Membaca detail-detail dalam novel Wigati ini membuat saya berdecak kagum. Khilma Anis tidak main-main dengan segala referensi-referensinya soal dunia keris, wayang, dan falsafah Jawa yang dituturkan dengan apik tanpa terkesan sedang menggurui pembaca. Rujukannya begitu kaya sampai-sampai segala kelindan historis dalam novel tersebut terasa betul-betul menjadi bagian tidak terpisahkan yang secara alami merajut cerita Wigati. Semangat yang mendukung kemandirian perempuan juga terasa sekali dalam novel ini. Hampir semuanya dinarasikan dengan sangat natural dan lekat dengan kehidupan sehari-hari. Membaca Wigati ini membuat saya memiliki harapan besar pada sastra pesantren. Bahwa novel pesantren populer juga ternyata bisa loh memperbincangkan hal-hal yang tidak melulu percintaan Gus dan Ning dengan segala bumbu-bumbu bombastisnya. Bahwa novel pesantren juga bisa berbicara tentang betapa pernikahan sirri itu merugikan. Bahwa novel pesantren juga bisa berbicara tentang sudut pandang seorang santri biasa. Bahwa ternyata novel pesantren bisa sekaya ini. Tentu saja, semua membutuhkan proses yang tidak singkat. Khilma Anis dan penulis-penulis lainnya pun sedang menjalani proses itu. Dan setelah Wigati ini, saya betul-betul menantikan novel-novel pesantren lainnya yang menawarkan kisah-kisah yang lebih kaya, sekaligus populer dibaca oleh banyak kalangan.
“Ia sangat menyukai filosofi hidup orang Jawa. Baginya yang terpenting adalah kebijaksanaan. Ia tidak pernah menilai sesuatu itu benar atau salah. Ia selalu mengambil jalan tengah karena di situlah letak kebijaksanaan.” (Wigati, hal 236)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar