Penulis: Kiai Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)
Penerbit: Kompas, September 2003
Ketebalan: 144 halaman
Genre: Fiksi, cerpen
Peresensi: Sindy Abdullaah Els
Jujur, membeli buku ini karna tertarik dengan nama besar Gus Mus, awalnya saya sama sekali tidak tertarik pada judulnya, Lukisan Kaligrafi. Hehe.. Maaf
Tapi membuka halaman pertama, kita langsung disuguhi cerpen masterpiece yang bagi sebagian orang seolah tak asing dengan corak ceritanya; Gus Jakfar
Kisah Gus Jakfar yang mempunyai kelebihan mampu melihat masa depan orang, kemudian merasa segala kelebihannya itu justru mampu menjadi bomerang bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Petualangan ruhaninya dimulai saat nyantri pada Kyai Tawakkal. Dari sinilah, tak hanya Gus Jakfar dan ribuan pasang mata pembaca yang mendapat guyuran kalam hikmah, namun saya juga!
Orang susah itu sulit kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, dan sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Beda dengan mereka yang punya kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabbur datang setiap saat. APALAGI JIKA KELEBIHANNYA DIAKUI OLEH BANYAK PIHAK.
Jleebbb!!!
Kalimat itu langsung menyentil relung hati terdalam. Seketika saya malu pada diri sendiri. Ya Allah... bisa jadi selama ini saya terlalu berbangga diri dengan pencapaian kecil dan segala anugrah yang sudah Tuhan berikan.
Kita kadang lupa seperti apa rupa takabbur sebab terlalu sibuk mencari cara menjadi lebih baik dari orang yang ingin kita kalahkan dalam segala hal. Apa selesai sampai disitu? Tidak! Membuka halaman selanjutnya, bersiaplah dibuat merinding dengan ending yang full of suprise
Saya salut dengan gaya bercerita Gus Mus. Beliau bermain heroik hingga akhir. Membiarkan pembaca lebih dulu diajak berpikir dalam alur cerita, menyelipkan beberapa kalam hikmah pada setiap kisah.Saya sampai merinding setiap khatam satu judul cerpen. Serius lho ini.
Ndak nyesel beli bukunya. Meski awalnya ragu karna judulnya "gak gue banget". Apa ada korelasi judul dengan isi cerita? Oh, tentu ada.
Ada satu judul cerpen sesuai judul sampul. *Lukisan Kaligrafi*. Pelan saya baca, karena jujur bab kaligrafi sama sekali bukan dunia saya. Hehe
Tapi, ternyata dalam cerpen ini pun bahasanya ringan namun berisi. Kalimatnya tak perlu bikin pusing agar terkesan ahli dan religi. Pokoknya saya yang awam pun mudeng dan mampu menangkap pesan yang hendak disampaikan penulis lewat kisah kaligrafi sederhana ini. Cakep, kan? Iya, asli buku ini cakep.
Besok-besok, jika ruhani tengah terserang kufur (lagi), insya Allah saya akan buka kembali, membaca kembali, lalu merenungi pesan moral dari buku sederhana karya Kyai luar biasa ini. Ahhh, maturnuwun, Gus.
Salam sayang dari Cilacap 😊
Sindy Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar