Penulis: Nisaul Kamila
Genre: Romance Reliji
Penerbit: Telaga Aksara
Jumlah halaman: 510
Peresensi: Najhaty Sharma
Diary Ungu Rumaysha adalah buku ke-9 yang ditulis oleh Ning Nisaul Kamila. Msi, Founder HBO dan Halaqoh 1001 Aksara, setelah buku Happy Selling, Anakku Laskar Alquran, Novel politik; Kinasih, dan novel Ning Aisya dan lain lain.
Secara garis besar, D.U.R mengisahkan slice of life dari Rumaysha Nahrasiyah Wicaksono, yang mulai mengenyam bangku SMA hingga memasuki dunia pernikahan.
Pada awal kisah ini, kita akan masuk ke dalam masa-masa SMA Rumaysha, bagaimana perjuangannya memempertahankan posisi sebagai murid paling berprestasi di sekolah sampai ia mengenal Alfaraby Wirabadja, teman sekelasnya yang berwajah oriental pindahan dari Yogyakarta, cerdas dan penuh percaya diri. Tidak lama, keduanya segera menjadi sahabat yang dekat dan saling bertukar buku untuk dibaca.
Di antara kisah unik antara Rum dan Alfaraby adalah saat Alfaraby baru saja mengenalkan diri dan langsung berhasil membuat karya ilmiah terbaik di kelas dengan cara menggabungkan Shirah Nabawiyah dengan laba-laba. Lalu saat Alfaraby ke rumah Rum membawa Kamboja dan larut dalam obrolan panjang Frangipani. Begitu juga pada akhir UN, Alfaraby maju di depan kelas dan mengatakan pada Bu Guru bahwa ia menemukan unsur kimia yang ajaib, yang setiap perempuan pasti suka dihadiahi unsur tersebut.
Bu Guru bertanya, lalu Al meminta Rum untuk maju di kelas dan mengintruksinya untuk menulis ini;
"Dengar baik-baik ya, Rum! Kamu itu perempuan dengan paduan unsur Kalsium, Nitrogen, Titanium, dan Kalium yang presis"
Semua siswa mengernyitkan dahi, Bu Guru berfikir sejenak dan lalu Rum baru menyadari usai Al menyuruhnya menulis lambang unsur kimia tadi di papan tulis. Ia menulis Ca untuk Kalsium, N untuk Nitrogen, Ti untuk Titanium, dan K untuk lambang Kalium.
Selesai intruksi itu dibubuhkan pada papan tulis, semuanya bisa membaca kata; Cantik. Heeum, tentu saja seluruh isi kelas bersorak sorai dan Rum berbunga-bunga. Heuumm... Penulis memang berhasil menghidupkan tokoh Alfaraby di dalamnya yang begitu mbaperi.
Selanjutnya, kita baru akan bertemu Diary Ungu milik Rumaysha beserta tulisan Ich Lie Bie Dich tersemat di dalamnya ketika membaca pada part belasan. Namun sayang sekali, kelulusan sekolah terpaksa memisahkan keduanya karena Al kuliah di tempat yang jauh.
Karena pada slice of life yang berikutnya, rupanya kita akan dipertemukan dengan tokoh sentralnya yang bernama Gus Salim Abdulloh Asysyatiri, seorang putra dari Kiai Husain, sahabat dari Ayah Rumaysha sejak dulu, yang memiliki pesantren besar PP. Darul Quran.
Kerumitan yang terjadi berikutnya adalah ketika keluarga Rum berduka atas meninggalnya Kakak satu-satunya yang cantik jelita, padahal sebentar lagi Kak Salma akan menikah dengan Gus Salim Asysyatiri. Atas istikhoroh Kiai Husain, Rumaysha diminta menjadi badal pengantin (pengantin pengganti) untuk Gus Asy sebagai ganti Kak Salma.
Tentu saja kisah masih berlanjut panjang dan berliku. Karena nantinya Rum akan dihadapkan pada epidose kehidupan di mana ia dan Gus Asy harus belajar beradaptasi, saling memahami karakter dan juga, Rum harus belajar menjadi menantu yang baik dalam keluarga besar Kiai Husain.
Tetapi entah mengapa, selaku peresensi, saya memang lebih tenggelam dengan karakter Alfaraby dari pada karakter Gus Asy yang ahirnya akan banyak mendominasi isi dari novel tersebut. Bagi saya, penulis lebih menguasai dalal penokohan Alfaraby. Entahlah..
Meski saya harus mengakui, apa yang dilakukan Gus Asy pada Rum sangat patut dicontoh oleh para suami dari kalangan santri di luar sana. Bahwa tipikal macam Gus Asy yang tampak khusyuk itu, ternyata tidak lekat dengan budaya patriarki, di mana ia tidak memaksa Rum harus pintar memasak, memberikan ruang agar Rum berkembang, tidak mengekang istri untuk melanjutkan studi, dsb.
Jujur, itu sangat seide dengan karakter yang pernah saya sematkan pada Ahvash di Novel 2 Barista. Dan tanpa diduga-duga juga, keduanya memang berteman. Ada meeting antara keduanya dalam salah satu part novel. Tentu saja itu kejutan luar biasa buat saya. 🥰
Sampai di sini, saya akan berhenti spoiler supaya pembaca menikmati kisahnya sendiri dengan perspektif masing-masing. Point penting yang ingin saya garis bawahi dalam perjalanan hidup Rumaysha adalah; seindah apapun masa lalumu, masa depan tetaplah yang paling penting dan harus diperjuangkan. Jangan sampai membandingkan orang di masa depanmu dengan orang di masa lalu.
Sekadar saran untuk penulis, mungkin harus lebih diperhalus lagi di bagian mengolah para tokoh antagonis supaya lebih natural dan relate. Contohnya seperti Bude Gus Asy dan sepupunya Dinda yang berpendidikan, namun gaya bicaranya tak jauh beda dengan orang awam yang nyinyir pada Gus Asy saat berkunjung ke makam Salma, Kakak Rumaysha.
Keluar dari topik, sebenarnya, saya sudah sering membaca tulisan Ning Nisaul Kamila dalam buku-buku lain seperti yang sudah saya sebutkan di atas tadi.
Saya perhatikan, biasanya karakter kepenulisan Ning Nisaul Kamila ini lebih dekat pada sesuatu yang logis dan maskulin. Jauh dari jenis-jenis tulisan romantis dan melodrama.
Maka, ketika saya membaca Diary Ungu Rumaysha ini, saya anggap ini adalah karya Romance pertama yang beliau tulis. Pantas saja di dalamnya banyak sekali petuah dan sejarah-sejarah yang berusaha diselipkan oleh penulis, bertujuan untuk mengedukasi pembaca supaya tidak hanya membaca cerita tapi juga mengenal banyak tokoh yang perlu dikenal.
Mungkin memang agak berbeda dengan jenis tulisan beliau yang sebelumnya, namun beliau berhasil mencoba menulis sesuatu yang keluar dari kebiasaan. Sampai resensi saya ini ditulis, novel Diary Ungu Rumaysha telah menapaki cetakan ke 6.
Oke temen-temen. Sekian ulasan sederhana dari saya.
Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar