BACA FIKSI SARAT INTISARI
Judul Buku: Hilda
Pengarang: Muyassarotul Hafidzoh
Penerbit: Cipta Bersama
Tahun Terbit: Januari, 2020
Jumlah Halaman: 507
Genre: Fiksi, Sastra Pesantren
Peresensi: Ihdina Sabili
Belakangan ini, rasanya isu gender semakin santer dibincangkan oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Sebetulnya bukan berarti baru-baru saja muncul. Namun akhir-akhir ini jadi semakin sering digaungkan. Mengingat paparan fakta yang semakin miris. Kasus-kasus yang menjadikan korbannya perempuan semakin marak di seantero negeri. Mulai dari pelecehan seksual, pemerkosaan, hingga pembunuhan, begitu banyak kasus kriminal mengenai kaum perempuan Indonesia.
Sebagai rakyat yang berpendidikan dan sadar akan kondisi sosial terkini tentu pikiran saya cukup terusik. Meski belum bisa berbuat banyak untuk bertindak lebih jauh, setidaknya saya berupaya memperkaya isi kepala saya dengan bacaan atau tontonan yang berbobot lebih mengenai kesetaraan gender. Dari sekian buku-buku yang mengantre dijamah, tentu saya lebih tertarik pada buku fiksi. Saat itu terlintas di akun Instagram saya tentang sosok mbak Muyassaratul Hafidzoh ini. Rupanya belum lama ini beliau melahirkan novel yang cukup ramai diperbincangkan teman-teman dari kalangan pesantren.
Hilda judul novelnya. Tipe judul yang sederhana, langsung mengambil nama tokoh utama ceritanya. Pernah ketika saya mengikuti suatu pelatihan menulis novel bahwasanya pemilihan judul ini merupakan salah satu tahap yang sangat penting. Karena pada saat ini tidak hanya aspek marketing yang dipikirkan, melainkan juga aspek kekuatan novel di mata calon pembaca. Selain itu pemilihan judul juga menunjukkan penekanan isi cerita. Jujur, dulu awalnya saya kira penulis yang memilih judul nama tokoh utamanya itu mereka sudah malas mencari judul yang unik dan bagus. Ternyata keputusan memakain nama tokoh utama sebagai judul sudah melalui banyak pertimbangan. Bukannya judul-judul legenda juga memakai nama tokohnya. Ini tentunya membuat pembaca mampu lebih mengingat isi cerita hanya dengan menyebut judul yang berupa nama tokohnya itu.
Buku berisi 500 halaman ini tidak hanya berat secara fisiknya, namun juga berat ‘isi’nya. Ruh utama yang ingin diusung oleh mbak Muyas dalam Hilda memang tentang kekuatan perempuan memperjuangkan haknya sebagai korban pelecehan seksual. Ini memang berangkat dari kenyataan yang ada saat ini. Tidak hanya dalam Indonesia maupun luar negeri. Hampir keseluruhan menjadikan perempuan pada posisi yang serba sulit, tersudut, bahkan menjadi kambing hitam. Jadi betapa sulitnya menjadi perempuan. Ketika menjadi korban kekerasan bukannya dia mendapat belas kasihan, tapi malah harus sangat berhati-hati dalam melangkah. Bisa jadi dia malah disudutkan oleh masyarakat sekitar. Bukankah ini ketidakadilan yang sesungguhnya.
Terlepas dari kondisi Hilda yang sangat memprihatinkan, upaya penulis dalam menuangkan latar tempat masih kurang bisa dirasakan dengan utuh. Akan tetapi, hal ini menjadi tertutupi oleh sekian banyak ilmu yang disisipkan di dalamnya. Sejak bab pertama bermula, sudah ada banyak penjelasan tentang tafisir Al-Qur’an dan hadits yang menjabarkan tentang kekerasan yang ditujukan pada perempuan khususnya atau masyarakat secara umum. Mungkin jika novel memuat ayat dan sabda Rasul sudah cukup maklum di telinga saya, namun yang membuat ini lebih spesial adalah muatan-muatan ilmu lainnya. Sarat, kaya, dan berat. Di buku ini ada kutipan puisi Jalaluddin Ar-Rumi, ada maqolah dalam ta’limul muta’allim, syair-syair ibnu Arabi, bahkan juga banyak keterangan dan contoh syair dari Alfiyah ibnu malik.
Bagi pembaca dengan latar belakang pesantren salaf, novel ini mampu menjadi sarana reuni paling indah sekaligus mengulang ilmu yang dulu saat di pondok menjadi santapan sehari-hari dalam 24 jam non-stop. Adapun isi alur cerita dalam Hilda ini sebetulnya cukup sederhana, meski pada beberapa situasi terasa cukup berat dan mengiris hati karena kondisi Hilda yang amat memprihatinkan. Seandainya ilmu yang disisipkan melalui dialog antar tokohnya dilengkapi dengan latar tempat dan suasana yang lebih mendukung dan menjiwai, yakni situasi pesantren salaf yang kompleks, saya yakin akan lebih menarik dan menancap.
Kekuatan cinta penulis kepada Allah, Rasul, dan ilmu begitu nyata tertuang pada detail ceritanya. Kutipan-kutipan burdah dan sholawat menghiasi isi cerita membuat hati teduh dalam membacanya. Meski adanya kalimat arab dan lafadz Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad menjadikan pembaca harus lebih hati-hati dalam membawa dan meletakkannya agar tak di sembarang tempat. Bukankah membawa novel Hilda ini sudah sama dengan membawa Al-Qur’an terjemah, kitab hadits, kitab Ta’limul muta’allim, kitab Qosidah burdah, Kitab Alfiyah ibnu malik dan beberapa kitab lainnya. Berbicara mengenai tokoh dalam Hilda, hampir tidak ditemukan tokoh antagonis di dalamnya. Selain satu-satunya yang menjadi pelaku pada kekerasan yang terjadi.
Dalam novel berisi 37 bab ini pembaca seperti dapat gambaran kehidupan secara nyata. Seperti diajak membuka mata selebar-lebarnya, bahwa beginilah ada kenyataan yang sangat miris. Meski ini fiksi, namun jika kita mengingat berita-berita highlight yang berkeliaran di media sepertinya kisah ini sangat memungkinkan nyata terjadi, bahkan di sekitar kita. Maka solusinya tiada lain adalah kembali kepada diri sendiri. Coba lebih diperhatikan lagi dirinya sendiri. Lebih menjaga diri sendiri. Apapun yang terjadi pada diri kita, kita sendiri yang merasakan. Baik hal indah maupun menyakitkan, kita sendiri yang langsung menerimanya. “Kalau kamu ingin dicintai seseorang, jadilah diri sendiri,” bisik Hilda kepada Andin.
Novel bersampul merah ini sangat direkomendasikan untuk teman-teman yang mempunyai ketertarikan lebih pada kesetaraan gender, khususnya dari dunia pesantren. Karena selain mengutip ilmu-ilmu penting, di dalam buku ini juga banyak informasi penting terkait kekuatan hukum dan bagaimana perempuan seharusnya dipenuhi haknya, dilindungi oleh negara dan aturan hukumnya. Buku ini butuh waktu lama buat saya untuk menghabiskannya. Karena banyak bagian yang harus saya ulang membacanya supaya lebih tertancap, bahkan sempat membuat saya kembali membuka catatan keterangan Alfiyah. Semoga ke depan lebih banyak lagi novel-novel serupa yang lahir mewarnai jagad raya literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar