Judul Buku: The Puppeteer
Pengarang: Jostein Gaarder
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: 2016
Jumlah Halaman: 352 hlm
Genre: Fiksi Filsafat
Peresensi: Luly Prastuty
Apakah kesendirian dekat dengan kematian?
Apa arti hidup?
Adakah keabadian di dunia?
The Puppeteer merupakan satu-satunya novel yang sempat membuat saya mengatupkannya saat membaca, "Kalau belum tentu semua yang diceritakan benar, untuk apa dibaca?" Sebagaimana ciri khas Jostein Gaarder dengan ramuan sastra dan filsafat, novel ini memberi percikan katarsis tiba-tiba kepada pembaca. Novel ini hendak bersuara, sebagaimana manusia, adakalanya begitu meyakinkan dengan narasi dan imajinasi yang diceritakan—semakin meyakinkan oleh sebab rasa ingin dihargai dan didengarkan. Bisa saja, secara tak langsung, penulis juga melakukannya dengan karya fiksinya, atau mungkin memang begitulah manusia. Tapi apapun rekaannya, pasti ada bagian-bagian tertentu yang menjadi kebenaran.
Dengan humanisme berbalut kisah, Gaarder kembali berhasil membawa pembacanya tenggelam dalam lapisan-lapisan kesadaran. Pengalaman serupa juga dihadirkan di Dunia Sophie atau Sofie’s Verden (1991), novel Gaarder yang banyak dijadikan sebagai referensi pengantar ilmu filsafat. Masih berlatarkan pengembaraan ke berbagai sisi dunia, Dunia Sophie secara murni mengangkat dongeng fantasi. Sementara itu, The Puppeteer menjangkau latar kehidupan yang mungkin terjadi di kehidupan masyarakat sekarang. Relevansi elemen-elemen masa dulu dan kini seperti asosiasi berita duka di koran dan sosial media bagi saya cukup menarik.
The Puppeteer menggambarkan kompleksitas hubungan manusia yang juga punya kemiripan dengan pembentukan kata dari penyerapan bahasa. Jakop Jacobsen adalah seorang pengajar dan filolog yang datang dari daerah terpencil di Ål Municipality, Norwegia. Ada hal unik yang menjadi agenda favorit Jakop di waktu senggangnya sebagai pengajar, bahkan telah dilakukannya selama bertahun-tahun. Berdasarkan berita duka di koran, ia suka menghadiri berbagai pemakaman orang-orang–yang tidak ia kenal. Dari cerita demi cerita dari hasil riset yang ia lakukan sebelumnya ditambah unsur keterlibatan dirinya dan ‘sedikit’ permainan peran, ia seakan diantarkan kepada benang merah. Benang merah tentang eksistensinya sebagai manusia di tengah realita problematika keluarga, pertemanan dan percintaan.
Minatnya pada bahasa membentuk pribadi Jakop yang pada dasarnya suka berbagi cerita bisa meluapkan segalanya baik emosi dan kebenaran hanya kepada Pelle Skrindo, juga dengan Agnes, sahabat penanya yang beberapa kali turut datang di acara pemakaman yang dihadiri Jakop. Sama seperti kepada Pelle, Jakop tidak berdaya merangkai cerita palsu dihadapan Agnes karena ia sempat tertangkap basah mengarang cerita palsu di depan banyak orang oleh Agnes. Meskipun begitu, Agnes tetap menaruh perhatian kepada Jakop tanpa sedikit pun intimidasi. Pelle dan Agnes menjadi tokoh yang bisa menerima diri Jakop apa adanya dan sangat berperan penting membangun cerita.
Tak seperti narasi kebanyakan yang mengkorelasikan kesendirian dengan keputusasaan, The Puppeteer dengan lembut menarasikannya secara melankolis. Pembaca hanyut dalam emosi Jakop yang tenggelam di pusara kesedihan yang tidak berkesudahan dari pengalamannya menjadi bahan perbincangan masyarakat akibat hubungan tidak wajar orang tuanya dan satu kebiasaan dirinya yang secara sosial dianggap aneh sehingga dijauhi teman-teman sekolahnya. Semua masalah hidup yang menimpanya menjadi alasan Jakop untuk tekun belajar demi bisa menjadi dosen dan ahli bahasa. Hingga akhirnya impian itu terwujud. Ia bisa membuktikan kepada teman-teman lamanya bahwa ia berhasil. Meskipun pada akhirnya ia sadar, selama perjuangan panjang tersebut ia tidak memiliki siapa-siapa di sampingnya.
Sulit baginya menemukan orang lain selain para siswa di kelasnya yang bersedia mendengarkannya berkisah. Jakop adalah seorang penyendiri dan tidak memiliki relasi intim dengan orang lain, meskipun ia pernah menikah dan tidak berjalan mulus. Semua harus berakhir karena kebiasaan Jakop yang suka berdialog dengan sebuah boneka tangan, yang kemudian identitasnya terkuak.
Ia percaya, seni bermain peran adalah tentang percaya bahwa dalang dan boneka menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Identitas manusia bisa dibentuk sesuka hati sesuai bagaimana ia menempatkan diri. Titik balik Jakop sadar untuk menjadi berarti bagi orang lain terjadi saat ia menghadiri pemakaman seseorang yang sama seperti dirinya, sering hadir di banyak pemakaman orang lain. Dari sana ia percaya bahwa ia berhak mendapatkan kasih sayang yang menjadikannya selalu dikenang di hati tanpa ada batasan ruang dan waktu.
Sekarang aku mengerti. Aku tidak sanggup lagi membayangkan menjadi tamu tak diundang dalam kehidupan orang lain. – halaman 316.
Ada banyak nilai moral yang bisa dipetik dari novel ini, tergantung dari mana pembaca menaruh perhatian. Dalam penyampaian itu, Gaarder memberikan sudut pandang yang menarik melalui dialog hangat antara 'aku dan kamu', sehingga membaca buku ini seakan berkomunikasi langsung dengan sang narator. Terlepas dari rumitnya memahami hubungan kata dari beragam akar bahasa, buku ini memberi pengetahuan baru bahwa bahasa pun saling membangun, begitu pun manusia. Meskipun hadir sebagai individu, manusia saling berhubungan atas dasar keturunan, minat dan kebutuhan. Novel ini dengan indah memberikan pengalaman esensial tentang makna kesendirian kepada pembaca yang secara personal mewujudkan dirinya dalam bayang imajinasi. Ya, kesendirian menjadi hakikat. The Puppeteer juga menjadi pengingat pentingnya empati di dunia yang semakin dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar