Judul: Sang Kosmopolit
Penulis: Hairus Salim
Penerbit: EA Books
Tahun: Januari 2020
Ketebalan: 180 hlm
Genre: Nonfiksi
Peresensi: Nabila Munsy
Buku yang tebalnya hanya 180 halaman ini berhasil menceritakan dan menjelaskan dimensi diri Gus Dur dengan padat dan penuh makna. Salah satu perjumpaan awal yang penting antara penulis dan Gus Dur adalah ketika penulis, yaitu Hairus Salim, menjadi mahasiswa di Jogja, mungkin sekitar dekade 80-an. Di Jaringan GUSDURian, Mas Salim digolongkan sebagai generasi kedua atau orang yang menjadi murid Gus Dur secara langsung.
Buku ini ditulis dalam rangka satu dekade wafatnya Gus Dur. Di dalamnya, bertebaran cerita dan tafsir atas laku serta pemikiran Gus Dur yang tidak sama dengan buku-buku tentang Gus Dur yang lain. Buku ini terdiri dari 16 keping esai yang menyuguhkan keberagaman dimensi dari diri Gus Dur. Gus Dur yang santri, Gus Dur yang politisi, Gus Dur yang budayawan, Gus Dur yang kosmpolit, bahkan Gus Dur yang berkali-kali gagal dan kegagalan itu mengantarkannya menjadi Gus Dur.
Dalam esai pertama berjudul Tokoh Gagal yang Berhasil, penulis menjabarkan kegagalan-kegagalan Gus Dur. Gus Dur gagal menyelesaikan pendidikan di Universitas Al-Azhar. Ia juga gagal melanjutkan studi Ke Leiden, Belanda, dan McGill, Kanada. Ia gagal menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel. Bahkan ia belum pernah berhasil mewujudkan cita-citanya yaitu menulis novel!
Tapi karena semua kegagalan itu, Gus Dur menjalani takdirnya menjadi tokoh besar. Jika ia berhasil menjadi dosen di Surabaya, kecil kemungkinan ia bisa menjadi aktivis di Jakarta lalu menjadi Ketua PBNU. Jika hidupnya lurus-lurus saja seperti kebanyakan orang, ia akan mencukupkan diri sekadar jadi intelektual di balik meja dan belum tentu mau membela rakyat.
Pada suatu kesempatan ketika berdiskusi dengan mahasiswa, seorang aktivis tukang demo menuduh Gus Dur lembek terhadap pemerintah karena tak dapat jatah menteri. Dengan tenang Gus Dur menjawab, "catat ya, menteri itu kecil. Pemilu kemarin saya diminta Pak Harto jadi wakilnya. Saya menolak mengapa? Karena saya ingin jadi Presiden.” Benar saja enam tahun kemudian, Gus Dur membuktikan kata-katanya. (hlm. 6)
Sisi lain yang tak kalah menariknya adalah Gus Dur dalam karya seni. Gus Dur mungkin satu-satunya tokoh publik yang paling banyak divisualkan. Buku ini menyajikan beberapa gambar seperti patung Gus Dur yang menyerupai Budha Tidur karya Dolosa Sinaga, Patung Gus Dur kecil membaca buku karya Yani mariani Sastranegara, patung Gus Dur mengenakan kaos oblong dan sarung karya Wilmar Syahnur, dan lainnya. Saya jadi teringat, jika Anda berkunjung ke Jogja dan melihat mural Gus Dur mengenakan topi a la rapper bertuliskan turn back peace, itu adalah karya seniman Antitank. Jika banyak tokoh dicintai dan dihormati sehingga tercipta jarak, Gus Dur sama sekali berbeda. Karena nilai kemerdekaan yang ia yakini, orang tak pernah canggung menafsirkan Gus Dur dalam karya sejauh imajinasi bisa menjangkaunya. Gus Dur adalah milik bangsa.
Penulis juga menceritakan tentang perjuangan Gus Dur meruntuhkan sekat-sekat beku di antaranya dengan etnis Tioghoa, tokoh yang dianggap PKI, sastrawan, bahkan musuh politik. Selama Gus Dur menjadi Presiden, ia berusaha keras mewujudkan nilai yang ia yakini untuk membebaskan yang mereka lama terbelenggu melalui berbagai kebijakan. Gus Dur juga memulai banyak pemikiran seperti demokrasi, pribumisasi Islam, perlawanan kebudayaan, toleransi, humanisme, dan lainnya. Perjuangan Gus Dur hanya bisa dibayar dengan melanjutkan apa yang telah beliau mulai. Karena yang terpenting adalah melanjutkan nilainya bukan objeknya. Misal dalam mengakui Tionghoa, Gus Dur membela nilai pembebasannya bukan saja Tionghoanya. Jika memegang nilainya, maka banyak sekali tugas bagi generasi kita membebaskan kelompok yang masih terbelenggu, baik secara politik maupun kelas. sebab problem semacam itu terus saja bermuculan.
Karena memegang nilai kearifan universal, Gus Dur berhasil menjadi pribadi yang komsopolit. Kosmopolit adalah sifat seseorang yang ingin mengatasi problem identitas sempit yang bisa mendorong orang terlibat konflik atau peperangan. Penulis bercerita, suatu hari ada seorang tokoh Hindu kharismatik dari India datang ke Indonesia. Ia berbisik pada Gus Dur, “titip umat Hindu di sini.” Perasaan Gus Dur membuncah. Pernyataan itu membuat Gus Dur merasa dianugerahi status sebagai warga umat manusia. Persis seperti makna kosmopolitan; kosmo artinya dunia dan politan artinya warga. (hal. 128) Gus Dur yang teguh sebagai seorang muslim, keislamannya tidak membendung dirinya menjadi seorang yang mampu menyebarkan nilai universal bahkan diakui oleh tokoh lintas identitas.
Tapi yang paling menarik bagi saya, apa yang membuat Gus Dur menjadi Gus Dur ada dalam esai berjudul Tentang Privilese Seorang Gus. Gus Dur pernah menyatakan, “... kebetulan, saya ini cucu pendiri (NU). Jadi saya mendapat comparative advantages; pernah pesantren, pernah ke Timur Tengah, dan mendapat privilege untuk belajar sana sini. Tapi, advantage apa pun, kalau tidak bisa memanfaatkan, tidak akan menghasilkan apa-apa.”
Yang diteladankan Gus Dur –mungkin juga banyak tokoh lain seperti Kartini, bahkan Soekarno, dan Hatta—adalah memanfaatkan privilese untuk kepentingan orang banyak, kemaslahatan kemanusiaan, kemajuan peradaban, membela minoritas, memajukan demokrasi, menegakkan HAM, dan sebagainya. (hlm 125)
Saya jadi teringat lagi, suatu hari saya pernah mendengar anak sulung Gus Dur, Alissa Wahid berkata, besarnya privilese seturut dengan besarnya tanggungjawab. Kesadaran memberikan kembali apa yang dimanfaatkan dari hak istimewa untuk kemaslahatan yang lebih luas itu lah yang menjadikan Gus Dur menjadi Gus Dur yang kita kenal dengan segala status yang ia sandang. Ia besar sama sekali bukan untuk dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar