Penulis: Kalis Mardiasih
Penerbit: PT. Mizan Pustaka
Tahun terbit: April 2020
Jumlah halaman: 125
Genre: Nonfiksi
Peresensi: Uswah
Sister Fillah adalah buku keempat Kalis setelah ia merilis 3 buku: Berislam seperti Kanak-Kanak, Muslimah yang Diperdebatkan, dan Hijrah Jangan Jauh-Jauh Nanti Nyasar. Kalis sangat produktif dalam melahirkan karya-karya yang membahas fenomena seputar keberagaman dan isu kesetaraan perempuan, khususnya perempuan Muslimah yang saat ini menghadapi tantangan konservatisme dan ekstrimisme beragama.
Desain sampul buku perpaduan warna koral dan merah jambu, karikatur dua orang perempuan yang memakai jilbab mengendarai sepeda sedang tertawa lepas dengan pakaian khas anak milenial bagi saya memiliki makna filosofis bahwa Muslimah harus bahagia menjalani kesehariannya dalam interaksi masyarakat modern dan mampu memancarkan energi positif, mungkin desain sampul ini merupakan refleksi Kalis dalam menanggapi maraknya meme di akun sosmed dakwah yang didominasi oleh karikatur perempuan berjilbab syar’i tanpa wajah yang konten atau pembahasannya justru mereduksi peran perempuan di ranah sosial masyarakat.
Sister Fillah terinspirasi dari peristiwa-peristiwa remeh yang dirasakan oleh Kalis sekaligus menjadi peristiwa yang meresahkannya. Tentang konten-konten dakwah keagamaan yang tidak mengenal etika dan tepa salira, tentang janda-janda miskin yang kerap menerima stigma negatif masyarakat sedangkan mereka harus menjadi fighter untuk menghidupi diri sendiri dan anak-anaknya, tentang orang-orang tua yang komunikasinya dengan Gusti Alah dengan cara mbatin atau angen-angen tanpa mengerti bagaimana cara sholat.
Kalis menyajikan beberapa kiprah perempuan yang andil dalam pergerakan pendidikan dan pembentukan identitas sosial, perempuan-perempuan yang merebut teks-teks Islam klasik yang selama ini dibaca dengan cara pandang maskulin. Perempuan yang bicara tentang substansi, tidak membahas seputar aurat atau bungkus. Jika pembaca menganggap Kalis anti hijab syar’i, itu tidak sepenuhnya benar. Yang dibela Kalis adalah apa-apa yang menjadi pilihan perempuan.
“Perempuan bercadar distigma sebagai kelompok beragama yang pro-kekerasan dan terorisme. Padahal pemakaian cadar tidak selalu berhubungan dengan perilaku kekerasan.” (Hal. 52)
Beberapa isu tentang pengalaman biologis perempuan (menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, menyusui) yang dikaitkan dengan dalil-dalil agama (tafsir kalimat “perempuan kurang akal”) tak luput dibicarakan dalam buku ini, pondasi inilah yang nantinya menjadi titik fokus Kalis dalam membahas beberapa permasalahan perempuan seperti marginalisasi, subordinasi, stigmatisasi, kekerasan dan beban ganda (reproduktif dan produktif).
Saya yakin Kalis memaparkan kajian tentang keperempuanan dan kesetaraan gender bukan tanpa ilmu sebagaimana yang sempat dituduhkan kepadanya. Konten-konten yang diunggah Kalis sering dianggap sekadar suara aktivis, feminis dan tidak kredibel membicarakan tentang agama. Ada Bunyai Dr. Nur Rofiah sebagai pengampu Ngaji KGI (Kajian Gender Islam), Dr. Faqihuddin Abdul Kodir sebagai penggagas Qiroat Mubadalah. Mereka adalah ulama yang mem-backup Kalis dalam menyuarakan pesan-pesan agama yang adil dan berimbang. Selain Dr. Nur Rofiah dan Dr. Faqih, ada tiga ulama panutan Kalis yang menjadi rujukan Kalis dalam menyuarakan misi kesetaraan perempuan, yakni Gus Mus, Gus Dur dan Prof. Qurays Shihab. Ketiga ulama tersebut memiliki anak-anak perempuan yang juara karena menganggap;
Akal perempuan penuh
Kedirian perempuan penuh
Dan jalan bertauhid perempuan penuh
“Tauhid adalah dasar prinsip keadilan relasi perempuan dan laki-laki. Jika yakin pada tauhid, seharusnya semua Muslim antipatriarki” (Hal. 10)
Saya sangat mengapresiasi buku ini sebagai perwakilan suara perempuan melalui tulisan perempuan. Boleh jadi yang diceritakan adalah kisah-kisah sederhana yang dekat dengan kita, namun pemaparannya membuat kita lebih peka terhadap kehidupan perempuan, lebih menghargai perempuan, dan saling mendukung sesama perempuan, bukan saling menjatuhkan.
“Saya yakin bahwa Rasulullah akan banyak sekali bicara betapa perempuan berhak bicara hak seksualitasnya sendiri, juga berhak menagih hak reproduktifnya” (Doa Malam Maulid, hal. 72)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar