BEKAL RUMUS FIKIH SEGALA MASA DALAM KARYA KH. HUSEIN MUHAMMAD
pengarang: Husein Muhammad
Penerbit: IRCiSoD Diva Press
Tahun terbit: Juni 2020 (Cetakan I)
Jumlah halaman: 252 Halaman
Genre: Nonfiksi, Islamic Literature
Peresensi: Wafiroh
Fikih Sebagai Produk Ijtihad
Fikih secara definitif adalah kompilasi hukum syariat yang bersifat aplikatif, diperoleh melalui dalil-dalil yang terperinci [Ilmu Usul Fikih Wahhab Khallaf; 5].
Fikih sering pula diistilahkan sebagai undang-undang agama Islam. Melalui fikih, syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menyampaikan apa yang harus, sebaiknya, boleh dan tidak boleh manusia lakukan sepanjang hidupnya.
Dalam fikih, dikenal 4 mazhab besar. Yaitu Madzhab Syafiiyah, Hanafiyah, Malikiyah dan Hanbaliyah. Keempat imam mazhab ini melakukan ijtihad (usaha sungguh-sungguh) untuk melahirkan suatu hukum fikih. Dengan berbekal berbagai disiplin ilmu, mereka melakukan kajian secara mendalam terhadap teks maupun konteks yang melatari ayat Alquran dan bunyi Hadis. Dari proses tersebut, kemudian lahirlah fikih yang dikonsumsi oleh umat Islam hingga saat ini.
Sayangnya, saat ini ijtihad secara mandiri sebagaimana yang dilakukan empat imam di atas sudah dianggap tidak mungkin lagi dilakukan. Hal ini dikarenakan para ulama sudah memutuskan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup rapat. Hal tersebut secara resmi diputuskan semenjak adanya keputusan Khalifah al-Mu’tashim Billah. Beliau memerintahkan para ulama fikih di madrasah Mustanshiriyah untuk menghentikan pengajaran pemikiran yang bertentangan dengan imam yang empat.
Posisi Usul Fikih dan Qawaid Fikih Dalam Studi Pesantren
Saat ini, di berbagai pesantren dan lembaga kajian ilmu alat untuk ijtihad khususnya seperti Usul Fikih dan Qawaid Fikih tetap diajarkan. Namun, ilmu-ilmu tersebut berperan tak lebih sebagai media latihan nalar saja. Tak habis hitungan jari pesantren yang menerapkan kajian dua ilmu tersebut secara praktis. Sementara lainnya, menjadikan kedua ilmu tersebut sebagai ilmu teoretis saja.
Masalah yang muncul kemudian adalah semakin jauhnya jurang yang membentang antara kedua ilmu tersebut dengan keilmuan dan generasi kontemporer. Di antara penyebabnya adalah kendala bahasa yang membuat kedua ilmu tersebut asing di zaman milenial. Kedua ilmu tersebut, selain dikenal dengan kerumitan bahasanya, pun memiliki setumpuk istilah yang sulit dikorelasikan dengan perkembangan zaman.
Peran Buku Menuju Fikih Baru
Buku Menuju Fikih Baru muncul sebagai jembatan kokoh yang membentang menyatukan jarak kedua kutub yang berseberangan.
Satu hal yang luar biasa diusung oleh buku ini adalah ide bahwa fikih, bagaimanapun berabad-abad lamanya mandek pada pendapat imam yang empat ternyata mampu untuk diperbarui. Buku ini secara garis besar mendukung pendapat sebagian kecil ulama yang beranggapan bahwa perkembangan fikih tidak berhenti pada zaman para imam. Penulis pun sepertinya hendak menyampaikan bahwa fikih, tetaplah bisa tumbuh berkembang sesuai perkembangan zaman.
Secara terperinci, buku ini membahas 6 poin besar.
Pertama, ijtihad sebagai keniscayaan sejarah. Pada poin ini, penulis menyampaikan bahwa semenjak islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., ijtihad tidak pernah berhenti dan masih mungkin terus berlanjut. Mulai kutipan kisah sahabat Muadz bin Jabal hingga pendapat beberapa ulama dikutip dan dibahas tuntas pada bab ini.
Kedua, ruang lingkup ijtihad. Pada poin ini penulis memaparkan bagian mana saja dari dalil Alquran dan Hadis yang memiliki peluang untuk dilakukan ijtihad. Secara rinci, penulis membahas tentang pembagian dalil beserta contoh-contohnya. Mendekati akhir bab, penulis juga menjelaskan kaidah pokok dari seluruh hukum fikih beserta contoh detailnya dalam berbagai lini kehidupan.
Ketiga, ijtihad masa kini. Pada bab singkat ini, penulis memaparkan tentang peluang terjadinya ijtihad di era kekinian.
Keempat, taqlid. Selain detail tentang taqlid, bab ini juga membahas beberapa hal terkait. Seperti talfiq, ijthad dan pembaruan serta poin-poin ketentuan, sehingga ijtihad dapat dilakukan kembali.
Kelima, tanggapan tentang pembaruan hukum. Pada bab ini penulis mengutip tiga pendapat ulama yang berkaitan dengan peluang terjadinya pembaruan hukum. Di antara yang menarik pada bab ini adalah kutipan puisi dari Muhammad Iqbal. Kutipan ini pun menggambarkan bahwa penulis merupakan sosok penikmat puisi.
Keenam, menuju fikih baru versi Jamal al-Banna. Bab yang cukup panjang ini membahas tentang paham pembaruan fikih versi Jamal al-Banna dalam kitab Nahwa Fiqh jadid. Di antaranya adalah mengenai paham Al-Baraah al-Asliyah. Selain itu penulis juga menyediakan sub bab khusus untuk membahas pembaruan pada ranah akidah, syariah dan fikih.
Pada akhir bab, penulis membuat sub khusus untuk menjawab pertanyaan yang kemungkinan besar akan muncul mengenai kemungkinan ijtihad pada saat ini. Beliau mengatakan bahwa ijtihad, bagaimana pun tetaplah menjadi keharusan sejarah. Ijtihad seharusnya berjalan beriringan dengan perkembangan manusia itu sendiri. Namun, secara proporsional penulis juga menyampaikan kritik terhadap metodologi yang dipakai oleh para pembaru.
Sayangnya, sebagaimana wajarnya cetakan pertama buku ini memuat sejumlah kesalahan ketik. Khususnya pada tulisan berbahasa arab. Terdapat kata yang kurang atau kesalahan pemakaian harakat. Selain itu, buku ini kiranya tak cukup ramah bagi pemula yang baru mulai belajar tentang ijtihad dan hal-hal yang terkait. Karena walaupun bahasa ‘kitab’ sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, terjemahannya juga menggunakan bahasa ilmiah yang bagi sebagian orang sulit dipahami.
Terlepas dari dua kekurangan di atas, hadirnya buku ini mampu mengisi kekosongan antara ilmu Usul Fikih dalam kitab dengan dunia akademik nonpesantren. Bagi yang terbiasa dengan kajian Usul Fikih atau ramah kepada istilah-istilah populer, buku ini layak untuk dijadikan sebagai bekal untuk memahami rumus fikih pada setiap masa. Wallahu A’lam.
Bahan bacaan:
Ilmu Usul Fikih karya Wahhab Khallaf
Al Rad ala Man Akhlada fi al-Ardl karya Jalaluddin al-Suyuthi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar