Judul Buku: Rahvayana: Aku Lala Padamu
Penulis: Sujiwo Tejo
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun terbit: Mei 2014
Jumlah Halaman: 209
Genre: Fiksi
Peresensi: Norma
Prolog buku yang ditulis Sujiwo Tedjo ini cukup unik, seolah ingin menyampaikan pesan kepada pembaca sebelum mengarungi isi bukunya bahwa tokoh-tokoh dalam Rahwana adalah karakter setiap manusia pada umumnya, boleh jadi kisah Rahwana sekadar mitologi, namun filosofinya selalu hidup untuk mengajarkan kita berbagai hikmah dalam kehidupan.
”Yang menulis buku ini, belum tentu saya, sebab Rahwana tak mati-mati. Gunung kembar Sondara-Sondari yang mengimpit Rahwana cuma mematikan tubuhnya semata. Jiwa Rahwana terus hidup. Hidupnya menjadi gelembung-gelembung alias jisim. Siapapun bisa dihinggapi gelembung-gelembung itu, tak terkecuali saya.”
”Yang menulis buku ini barangkali gelembung-gelembung itu, jisim Rahwana kepadaku. Yang menyampaikan buku ini kepadamu mungkin gelembung-gelembung Rahwana pada penerbit, percetakan, distributor, toko buku, dan lain-lain tak terkecuali tukang ojek maupun sopir limousin yang mengantarmu ke toko buku maupun perpustakaan.”
Mbah Sujiwo Tejo, atau mungkin Rahwana, membawa saya mengarungi kisah cinta rumit yang dialaminya. Sejatinya sebelum Rahwana berburu Dewi Widowati yang sudah menitis kepada Dewi Citrawati dan Dewi Sukasalya, dan dua-duanya gagal. Kemudian lahirlah Dewi Sinta, sebagai titisan ketiga Dewi Widowati. Rahwana sudah berburu Dewi Widowati itu sendiri.
Kisah ini, jika saya menafsirkan merupakan bentuk lain dari nafsu dalam diri manusia yang tak pernah terpuaskan atas segala sesuatu. Namun di sisi lain mengajarkan kita untuk tetap berjuang mendapatkan apapun yang ingin kita raih. Ada dua kutub dalam diri manusia yang harus bisa diambil sisi positif dan negatifnya.
Jika dalam beberapa kisah Rahwana digambarkan sosok monster yang jahat, perebut istri orang, dalam buku ini sebaliknya, Rahwana dianggap sebagai seorang pecinta yang tulus mencintai seorang perempuan, cintanya suci sehingga ia tidak tega menodai Sinta, bahkan memaksa untuk membalas cintanya.
”Bahwa menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu dapat berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa kamu rencanakan cintamu untuk siapa. Bahwa yang membekas dari lilin itu bukan lelehnya, melainkan wajahmu sebelum gelap..." - Rahwana
Witing tresna jalaran saka kulina, mungkin itu pribahasa yang tepat untuk Sinta, kebencian karena terpisah dari kekasihnya berubah menjadi tumbuhnya benih-benih cinta karena Sinta tahu bahwa Rahwana—meskipun buruk rupa—memiliki hati yang tulus dalam mencintai Sinta, perempuan mana sih yang tidak luluh hatinya ketika diperhatikan dan dihormati seorang laki-laki? Semua akan ‘klepek-klepek’ pada waktunya
"Aku ingin mencintaimu walau penuh cacat, Rahwana. Tak peduli cacat itu membawa keburukan atau malah menampilkan hal yang indah-indah..." - Sinta
Menurut saya, inti dari buku ini tersirat pada makna Sastrajendra Hanyuningrat Pangruwating Diyu. Bahwa kegelapan melindungi seluruh warna. Kegelapan: Salah. Warna: Benar.
Berarti tak ada salah dan benar? Benar dan salah sama saja?
"Benar dan salah tentu ada. Tegakkanlah segitiga. Pada alas ada dua sudut, sudut benar dan sudut salah. Sinta, mari tarik lagi alas segitiga itu ke atas. Makin ke atas, sudut benar dan sudut salah itu semakin dekat. Di puncaknya, kedua sudut itu melenyap. Itulah titik Tuhan." - Rahwana
"Salahkah Rahwana? Salahkah Sukesi? Aku selalu kurang tertarik untuk memikirkannya. Lebih suka aku untuk mencoba memahami semuanya, seperti Rahwana memahami dunia apa adanya melalui Sastrajendra Hanyuningrat Pangruwating Diyu. Ya, aku lebih tertarik untuk mencoba memahami." - Rahwana
Memahami seisi dunia apa adanya. Memahami cinta. Jadi nikmati saja prosesnya, seperti saat menikmati jalan cerita yang absurd dalam buku ini heuheuheu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar