Judul: Si Jliteng
Penulis: Impian Nopitasari
Genre: Fiksi/Buku anak
Jumlah halaman: 52
Penerbit: Penerbit Babon
Peresensi: Nur Hayati Aida
Kalau audiens anak-anak mah gampang. Masih bocah ini.
Oh, buku anak-anak ya? Sisipin aja gambar yang banyak.
Yaelah, cuma buat anak-anak ini, gak usah dibuat serius.
Seberapa sering mendengar komentar di atas untuk buku atau pagelaran yang ditujukan pada audiens anak-anak. Padahal, anak-anak adalah audiens atau pembaca yang paling jujur. Mereka bisa tanpa basa-basi meninggalkan pegelaran yang sedang berlangsung ketika ceritanya tak menarik hati, atau malah lebih asyik bermain sendiri atau bersama teman yang lain. Anak-anak adalah target audiens paling sulit, setidaknya itu amatan pribadi saya sampai saat ini.
Penerbit buku anak berusaha dengan sekuat mungkin menyajikan buku yang edukatif sekaligus menyenangkan, di antaranya malah dengan sengaja menyisipkan muatan agama. Sayangnya tak semua buku anak berhasil melakukannya dengan baik. Tak jarang kemudian kita jumpai buku anak yang isinya layaknya jejalan khotbah agama.
Tetapi, juga tak sedikit buku anak yang memiliki pesan yang kuat. Misalnya, buku The Giving Tree karya Shel Silverstein. Buku sederhana itu, meski tanpa khotbah agama, mampu menghadirkan kearifan tentang hidup dan meninggalkan pesan yang mendalam bagi pembacanya.
Nah, salah satu buku anak yang bagus menurut saya adalah Si Jliteng karya Impian Nopitasari.
Buku ini memuat 4 dongeng yang sarat akan makna yang filosfis, meski begitu, jangan khawatir, penulis buku ini tak berperan sebagai pengkhotbah agama.
Buku yang ditulis dengan bahasa Jawa ini menawarkan dongeng yang sungguh manis. Manis sekali. Betapa tidak, sejak di dongeng pertama yang dihadirkan, penulis menghadirkan dongeng sederhana tentang bagaimana berbuat baik tanpa khotbah agama atau tanpa menyeret-nyeret teks agama. Bahwa kebaikan adalah nilai universal yang harus dimiliki dan dilakukan oleh siapapun. Bahkan itu pada orang yang membuat kita tak nyaman. Dongeng itu dibawa oleh Ala yang berbeda bentuk dengan saudara-saudara. Dan karena perbedaan itu, ia kemudian dijauhi oleh saudara-saudaranya. Tetapi, ibunya, Blorok, memberikan nasihat yang teduh untuk selalu berbuat baik pada siapa saja dan kapan saja. Di akhir dongeng ini, saya patah hati mengetahui Ala ternyata memang bukan anak Blorok. Dan itulah yang membuat postur tubuhnya berbeda dengan saudaranya yang lain. Blorok adalah ayam, sedangkan Ala --yang kemudian diketahui-- adalah bebek. Jadi, ketika ia berhasil menyelamatkan salah satu saudaranya yang hampir klelep atau tenggelam itu --meski tak ada yang menyadari-- diketahui bahwa ia adalah dari bangsa bebek, bukan ayam.
Dongeng kedua dan ketiga, menurut saya tak kalah bagusnya. Dua dongeng itu berkisah tentang bahwa apa yang diciptakan oleh Tuhan tak ada yang sia-sia dan tak mungkin jika tak memiliki maksud, pun dengan bentuk tubuh. Bentuk unik yang dimiliki oleh tiap-tiap ciptaan, kadangkala dipahami sebagai sebuah ketidakadilan, misalnya mengapa diciptakan kecil dan ringkih, atau mengapa diciptakan dengan terus menerus menggendong rumah seperti bekicot.
Dua dongeng di bagian dua dan empat itu, menurut saya, seperti sebuah terapi bagi orang yang merasa hidupnya tak berguna, jauh dari harapan, dan tak layak dijalani. Meski hanya lewat fabel bernama Jliteng, si semut kecil, dan tokoh lain bernama Bekicot, penulis berhasil dengan apik membawakan pesan untuk selalu memiliki pikiran positif pada Tuhan dan bersykur atas apa yang telah dimiliki.
Terakhir, bagi saya, buku ini tidak sekadar buku anak. Buku ini jauh daripada itu.
Kalau Anda punya waktu, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Dan Anda hanya akan membutuhkan tak lebih dari satu jam untuk menyelesaikan 4 dongeng di buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar