Judul buku: Dan Senja Pun Turun
Pengarang: Nasjah Djamin
Penerbit: Sinar Harapan
Tahun terbit: 1981
Jumlah halaman: 195 halaman
Genre: Fiksi
Peresensi: Iffah Hannah
“Tidak, sudah sampai sedemikian keadaannya sudah, untuk sakit dan melanjutkan sekolah sudah merupakan satu hal yang terlalu mahal dan mewah. Untuk makan dan untuk hidup layak pun merupakan satu kemewahan. Dan tidak seorang pun yang pernah bicara keras-keras kenapa makan, hidup, sakit dan sekolah jadi barang mewah.” (hal. 11)
“Tidak, tanah Indonesia memang hijau subur, tapi manusianya tidak hidup sebagai manusia. Sedemikian suburnya tanah tapi sedemikian merana dan melarat dan laparnya penghuni-penghuninya.” (hal. 13)
Novel ini bercerita tentang Anwar, mahasiswa yang turut turun di aksi menggulingkan presiden Soekarno dan menteri-menterinya yang korup hanya untuk mendapati bahwa negara tidak banyak berubah dengan pergantian pemerintahan tersebut. Rakyat yang miskin tetap saja miskin, sementara mereka yang kaya justru semakin kaya. Orang-orang yang dulunya ikut serta menggulingkan menteri-menteri korup, kini menjadi orang-orang korup berikutnya; korup jiwa dan perilakunya.
Anwar kemudian terjebak dalam kehidupan menjadi seorang gigolo demi bertahan hidup di kota dan untuk terus bisa mengirimi uang pada ibu serta adik-adiknya di Medan sana. Awalnya bermula dari persahabatan Anwar dengan Toto dan adiknya Tuti, sehingga Anwar akrab dengan keluarga mereka; keluarga terhormat yang kaya raya. Mia, ibu mereka lah yang kemudian menjadi pintu bagi Anwar untuk memasuki dunia kesenangan nafsu birahi. Anwar menyadari bahwa Mia dan teman-temannya, para ibu-ibu atau tante-tante dari golongan kaya raya hanya menghisap kemudaannya semata dan menjadikannya sebagai budak pemuas nafsu belaka.
Kesadaran untuk meninggalkan kehidupan yang menyesakkan itu tumbuh ketika Anwar bertemu dengan Nuning, seorang pekerja seks kelas bawah di perkampungan dekat Bengawan Solo. Perempuan 18 tahun itu membuat Anwar jatuh cinta dan ingin menikahinya. Nuning sendiri terpaksa menjadi pekerja seks karena keluarganya hancur pasca geger PKI. Rumahnya hangus dan rata dengan tanah. Ayahnya diburu karena menjadi komunis sebagai anggota BTI. Sementara ibu dan adiknya hilang dan jadi gelandangan karena melarikan diri dari perburuan komunis.
Keinginan Anwar untuk meninggalkan Mia dan kehidupan gigolo-nya itu membuat Mia tidak terima. Ia ingin menjodohkan Anwar dengan Tience, salah satu koleganya yang kaya raya dengan imbalan menjadi manajer harta-harta Tience. Anwar menolak karena sudah bertekad untuk menikahi Nuning. Tience dan Mia bergantian merayu Nuning agar melepaskan Anwar. Mia bahkan mengancam kalau dia bisa membuat Nuning diciduk dan mendakwanya sebagai pelacur antek komunis. Tetapi Nuning tidak bergeming.
“Kehormatan bisa kujual, pikir Nuning rawan, kujual murah, tapi aku punya hak memilih atau menolak, senang atau tidak senang! Inilah cuma tersisa padaku sebagai manusia!” (hal. 176)
Baik Anwar maupun Nuning sudah bertekad untuk berhenti dari kehidupan mereka menjual diri dan ingin hidup berkeluarga dipenuhi rasa tresna. Sebab bagi mereka, itulah satu-satunya jalan bagi mereka untuk menjadi manusia merdeka. Meskipun masa depan tidak menentu, barangkali akan disesaki kemelaratan, jika dibandingkan dengan menjual diri pada orang-orang kaya yang selalu membuat hidup berlimpah harta, tetapi setidak-tidaknya mereka menjadi manusia sejati. Tidak ditindas oleh orang lain.
Tapi, apakah keinginan mereka kemudian terpenuhi? Hidup, kadang-kadang hanya dipenuhi rencana-rencana indah yang seringkali tidak sejalan dengan kenyataan. Kalau tidak keliru, Pram pernah bilang, kehidupan ini adalah bumi manusia dengan segala ceritanya, bukan surga, bukan berisi yang indah-indah saja. Begitupun kisah Anwar dan Nuning.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar