Penulis: Ernest Hemingway
Penerjemah: Sutrisno, S.Pd.
Penerbit: Indoliterasi
Cetakan ke-1: 2015
Genre: Fiksi
Peresensi: Nana Ernawati
Kehidupan terasa begitu tragis bagi mereka yang menjalani, tapi menjadi begitu indah saat dituangkan dalam tulisan. (Ernest Miller Hemingway, 21 Juli 1899 – 2 Juli 1961)
Kalimat yang ditulis oleh Hemingway di atas sangat terasa kebenarannya ketika membaca karya-karyanya. Baik cerpen maupun novel, Hemingway selalu menyoroti kehidupan tragis tokoh-tokohnya, namun disampaikan dengan gaya positif dan tidak melankolis.
Bagaimanakah perasaan pembaca ketika menemukan kalimat seperti ini, “Asli, lelaki itu tidak menerima penggusuran rumahnya.” Coba bandingkan dengan gaya Hemingway dengan kalimat “Lelaki itu menolak penggusuran rumahnya.” Apakah feeling yang ditimbulkan oleh kedua kalimat tersebut berbeda? Tentu!
Begitulah cara Hemingway menuliskan karyanya. Serba ringkas, sederhana, dan to the point. Bisa jadi hal itu karena pengaruh profesi awalnya sebagai seorang jurnalis. Sebagai jurnalis, ia terbiasa dituntut untuk cepat, ringkas, langsung ke tujuan, dan positif. Hemingway menghindari kata “tidak” sebanyak mungkin. Ia beranggapan bahwa kata “tidak” akan membuat pembacanya sangat kehilangan keinginan untuk mengerti ceritanya lebih jauh. Manusia memang lebih menyukai hal-hal yang bersikap positif.
Dalam buku terjemahan berjudul “Ernest Hemingway: 17 Cerita Terbaik” ini, kita menemukan cerpen-cerpen yang paling populer dan pantas diapresiasi. Ia menerima hadiah nobel sastra pada tahun 1954.
Sastrawan dan jurnalis yang berasal dari Amerika ini menjadi sangat terkenal justru karena gaya bertuturnya yang minimalis dan seadanya. Dan gaya semacam ini diikuti oleh banyak penulis baru, menjadi ciri gaya penulisan fiksi abad XX.
Tidak ada formula jitu yang bisa disebutkan untuk menulis sebuah cerita pendek yang baik. Cerpen bukanlah novel yang dipendekkan. Meskipun tidak sedetail novel, namun setiap tokoh dalam cerita pendek harus tetap digambarkan secara utuh agar dapat dipahami sosoknya oleh pembaca. Di situlah sulitnya menulis cerita pendek, namun bagi Hemingway, itulah salah satu keahliannya. Ia selalu berhasil menggambarkan karakter tokoh dengan tajam. Penokohan yang ditampilkannya jelas dan mampu menghidupkan imajinasi pembaca, sehingga pembaca merasa “memiliki ikatan batin” dengan si tokoh dan terus ingin membaca hingga usai cerita.
Tokoh-tokoh yang ditulis Hemingway pada umumnya memperlihatkan “keanggunan di bawah tekanan”, sehingga bila kisah si tokoh berakhir tragis pun kita tidak merasa menyesal karena sang tokoh sudah dibuat sedemikian heroik dalam menjalani kehidupannya. Contohnya bisa dibaca pada cerpen ke-17 atau cerpen terakhir yang berjudul Perubahan Besar.
Penggambaran setting juga tak luput dari perhatian Hemingway. Deskripsi setting dalam setiap cerpennya sangat detail, baik itu di sebuah kafe, di dapur, di atas perahu, di sungai yang airnya bergolak, di dalam kamar yang gelap yang penuh bau asap rokok dan lain-lain. Itu semua mampu membuat imajinasi pembaca mengelana ke tempat-tempat yang diceritakannya. Menyenangkan sekali saat membaca cerpen atau novel Hemingway. Bagi mereka yang ingin mulai menulis cerita, Hemingway dapat menjadi “guru” paling baik.
Buku kumpulan cerpen ini diawali dengan sebuah cerpen panjang yang sangat menarik dan informatif berjudul Ibu Kota Dunia. Kita dibuat takjub oleh penulisnya yang selain memberi cerita menarik, juga informasi lengkap yang mungkin belum pernah kita ketahui. Cerpen ini berkisah tentang seorang picador, penunggang kuda dalam pertarungan banteng di Spanyol yang tugasnya menusuk banteng dengan tombak. Hemingway sangat piawai mendiskripsikan apa saja yang dilakukan oleh seorang matador ketika berada di arena, dan bagaimana pekerjaan semacam itu dianggap sangat populer dan dikagumi masyarakat di Spanyol. Sang maestro memberi kita banyak pengetahuan tentang negeri matador itu sampai pada hal-hal yang sederhana:
Madrid penuh dengan anak laki-laki bernama Paco, yang merupakan bentuk singkat dari nama Fransisco, dan ada sebuah lelucon di Madrid mengenai seorang ayah yang datang ke Madrid dan memasang iklan pada kolom pribadi surat kabar El Liberal yang berbunyi, “PACO TEMUI AKU DI HOTEL MONTANA SELASA SIANG, SEMUA TELAH DIMAAFKAN AYAH”, dan seluruh anggota garda sipil dipanggil untuk menemui delapan ratus anak muda yang menjawab iklan tersebut. (Ibu Kota Dunia, hal. 1)
Kita hampir terkecoh, antara apakah ini sebuah laporan jurnalistik atau sebuah cerita rekaan yang sengaja dibuat oleh penulisnya. Demikianlah Hemingway membuat kita sebagai pembaca sangat tertawan.
Cerpen kedua berjudul Kamp Indian, membuktikan kepiawaian Hemingway dalam menuliskan idenya lewat deskripsi yang teliti dan rasional. Bayangkan, ia menulis tentang seorang dokter kulit putih yang mengajak anak lelakinya untuk membantu seorang wanita Indian muda yang akan melahirkan karena posisi bayinya melintang (sungsang). Dalam cerpen ini, Hemingway tidak hanya memberi satu pengetahuan kepada kita tentang bagaimana bangsa Indian hidup di kamp, tetapi sekaligus mengungkapkan suatu narasi bagaimana seorang dokter menolong persalinan di tempat yang penuh keterbatasan, hanya bermodal air panas. Itulah yang “ditancapkan” dalam pemikiran kita bagaimana menjadi seorang ayah yang baik bagi anak laki-lakinya. Dari kompleksitas yang dikemukakan dalam cerpen ini, pembaca belajar bahwa untuk menjadi penulis tidak cukup bermodal ide dan imajinasi, tapi lebih penting lagi adalah pengetahuan yang lengkap tentang apa yang ia tuliskan.
Cerpen-cerpen lainnya di dalam buku ini pun dibuat sedemikian rupa, sehingga kita seolah-olah sedang membaca sebuah surat kabar tentang suatu kejadian di suatu tempat. Saya bisa saja menceritakan satu per satu cerpen dalam buku ini, tapi kemudian apa menariknya bagi pembaca? Apa yang saya pikirkan belum tentu sama dengan apa yang Anda bayangkan bukan? Maka bila Anda penasaran dan kebetulan juga sedang mencoba untuk memulai menulis cerita pendek, percayalah, buku ini adalah guru yang sangat baik. Sudah banyak buku yang ditulis tentang bagaimana menulis cerpen yang baik, tetapi tidak pernah benar-benar memberikan cara yang jitu untuk menulis.
Jakarta, September 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar