Judul: Anak Bajang Menggiring Angin
Penulis: Sindhunata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2018 (terbit pertama kali tahun 1983)
Jumlah halaman: 487 halaman
Genre: Fiksi Wayang
Peresensi: Iffah Hannah
Kisah Ramayana sangat akrab dalam keseharian orang-orang Indonesia, khususnya mereka yang tinggal dan besar di Jawa. Selain sering dikisahkan ulang dalam bentuk mata pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa saat saya kecil dahulu, kisah Ramayana ini juga kerap dilakonkan dalam pagelaran wayang di desa-desa. Alih wahana dalam bentuk lain juga bisa ditemui di serial televisi, sendratari, wayang wong, dan lain sebagainya. Saya tidak tahu apakah anak-anak muda jaman sekarang masih akrab dengan kisah-kisah pewayangan seperti Ramayana ini atau tidak. Tetapi jaman saya sekolah dahulu, cerita-cerita ini sangat akrab dengan keseharian saya meskipun pengetahuan akan ceritanya kadang sepotong-potong belaka atau acap kali hanya paham gambaran besarnya saja.
Semakin ke sini, semakin saya menyadari bahwa kisah Ramayana yang terkenal ini pun sering dituturkan kembali dengan beragam versi. Versi kebaikan (yang direpresentasikan oleh Rama) melawan kejahatan (yang direpresentasikan oleh Rahwana) menjadi versi yang paling banyak dikenal orang. Meskipun demikian, tidak jarang juga kita menemukan versi Ramayana yang menuturkan bahwa Rahwana sebetulnya tidak jahat-jahat amat dan Rama juga tidak baik-baik amat. Belum lagi cerita tentang Sinta yang juga dituturkan dengan beragam versi, tentang bagaimana ia menyikapi keraguan Rama perihal kesuciannya pasca diculik Rahwana. Ada versi yang menceritakan bahwa Sinta kembali ke pelukan Rama setelah membuktikan kesuciannya dengan masuk ke api pembakaran tanpa hangus terbakar. Ada juga versi yang menuturkan bahwa Sinta tidak sudi bersatu kembali dengan Rama setelah peristiwa tersebut. Apapun versi yang kita baca, umumnya cerita-cerita wayang itu berisi gambaran kebijaksaan yang bisa kita petik dan kaitkan dalam kehidupan.
Anak Bajang Menggiring Angin, novel karya Sindhunata yang terbit pertama kali di 1983 ini berupaya mengisahkan kembali cerita Ramayana yang diinterpretasikan oleh Romo Sindhu. Dinarasikan dengan bahasa yang indah dan mengalir serta penuh nilai-nilai filosofis, novel setebal 487 halaman ini merangkum bagaimana kejahatan lahir dalam bentuk Rahwana dan bagaimana kebaikan menghancurkannya dalam pimpinan Rama. Novel ini terdiri dari delapan bagian yang diawali dengan bagaimana kelahiran Rahwana beserta tiga saudaranya: Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana dari kegagalan Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa memahami Sastra Jendra, sebuah ilmu rahasia yang menguak tabir Ilahi. Alih-alih mendapatkan kesempurnaan hidup, Sukesi dan Wisrawa justru tenggelam ke dalam kenistaan yang tidak pernah mereka bayangkan sampai melahirkan empat anak yang menjadi perwujudan nafsunya.
Romo Sindhu menginterpretasikan kegagalan kedua orang tersebut mencapai kesempurnaan dalam upayanya memahami Sastra Jendra ini karena kesombongannya sendiri, yaitu meninggalkan variabel kepasrahan Ilahi dalam proses memahami Sastra Jendra sebagaimana dinarasikan sebagai berikut:
“Namun seharusnya kau tahu, hati manusia dalam badan jasmaninya itu demikian lemahnya. Budimu bisa membayangkan keluhuran apa saja, tapi serentak dengan itu hatimu bisa terjerumus ke dalam kenistaan tak terkira, seperti yang kau alami hari ini. Maka anakku, Sastra Jendra pada hakikatnya adalah kepasrahan hati pada ilahi, supaya yang ilahi menyucikannya. Kepasrahan hati itulah yang tak kau alami, ketika kau merasa memahami Sastra Jendra. Kau dihukum oleh kesombongan budimu sendiri, yang tidak mempedulikan jeritan hati dalam belenggu jasmaninya yang masih berdosa tapi ingin pasrah.” (hal. 28)
Dan ditambah dengan nasehat Prabu Sumali, ayah Dewi Sukesi sebagai berikut:
“...Semoga dari kegagalanmu menghayati Sastra Jendra, kau akhirnya mengerti bahwa di dunia ini nafsu manusia itu bagaikan samudera, sedangkan budinya hanyalah daratan kecil di tengah-tengahnya. Sukesi, budi manusia itu memang bagaikan orang lumpuh yang terang matanya, tetapi terpaksa digendong kemana-mana oleh nafsunya berupa orang kuat tapi buta matanya.” (hal. 31)
Dari bagian pertama dalam novel ini saja, Romo Sindhu seperti menghujani pembaca dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibalut dalam cerita wayang yang ia tuturkan. Dan mutiara-mutiara kebijaksanaan ini akan terus kita jumpai di empat ratusan halaman berikutnya.
Bagian kedua novel ini mengisahkan kelahiran Anoman, salah satu tokoh penting dalam kisah Ramayana. Kelahirannya sendiri diawali tragedi besar karena Cupu Manik Astagina yang dimiliki ibunya, Ratna Anjani menjadi rebutan Guwarsa - Guwarsi, kakak Anjani, serta membuat murka Resi Gotama terhadap istrinya, Dewi Windradi. Tragedi itu membuat Guwarsa - Guwarsi terkutuk menjadi kera yang kemudian terkenal sebagai Subali dan Sugriwa (yang kelak menjadi raja para kera yang membantu Rama melawan Rahwana), kemudian Anjani juga menjadi kera, dan Dewi Windradi menjadi patung batu yang terlempar ke negeri Alengka.
Bagian ketiga novel ini menceritakan Negeri Ayodya yang dipimpin Dasarata, ayah Rama. Singkat cerita, karena kecakapannya, Rama hendak diangkat menjadi raja Ayodya oleh ayahnya, namun Kekayi, salah satu istri Dasarata menagih sumpah demi menjadikan anaknya, Barata, sebagai raja. Akhirnya, Dasarata terpaksa menuruti keinginan Kekayi dan membuang Rama dan istrinya, Sinta (disertai juga dengan adik Rama yang paling setia dan bijaksana, Laksmana) ke hutan Dandaka selama 13 tahun.
Di bagian selanjutnya sampai akhir yaitu bagian delapan, dimulailah kisah Ramayana yang terkenal itu: bagaimana Sinta diculik Rahwana di tengah hutan dan perangpun berkobar antara pasukan Rama yang dibantu balatentara kera melawan balatentara raksasa dari Alengka. Yang menarik dalam kisah Ramayana versi Romo Sindhu ini adalah bahwa Rama sama sekali tidak digambarkan sebagai sosok pahlawan yang serba sempurna. Betul, ia adalah titisan Wisnu, tapi dalam perjalanannya menghancurkan kejahatan (yang direpresentasikan Rahwana), ia seringkali jauh dari sikap-sikap bijaksana. Justru kebijaksanaan itu hadir dalam bentuk Laksmana, Anoman, serta Gunawan Wibisana, adik Rahwana yang memilih untuk memihak Rama. Bahkan dalam versi Romo Sindhu ini dikisahkan bahwa sejatinya bukan Rama yang mengalahkan Rahwana. Rama, Laksmana, dan Gunawan Wibisana hanyalah pembantu dalam mengalahkan Rahwana (sekaligus kejahatan) sebab sejatinya yang mengalahkan Rahwana adalah balatentara kera yang diwakili Anoman dan merepresentasikan kerendahan hati. Itulah yang sebetulnya yang mengalahkan kejahatan.
“Kejahatan itu tidak berasal dari luar, sehingga kau tidak bisa mempersalahkan dirimu jika berbuat salah, seakan-akan kesalahan itu bukan tanggung jawabmu. Kejahatan itu berasal dari dalam, artinya kau tidak mau menjadikan dirimu sempurna.” (hal. 182)
Dalam versi Romo Sindhu ini, Rahwana digambarkan sebagai seorang raksasa sekaligus raja Alengka yang sangat jahat dan tidak punya kasih sayang sedikitpun. Sikapnya selalu jahat kepada siapa saja. Bahkan kepada saudara-saudara dan anak-anaknya. Yang ia kedepankan hanya nafsu dan egonya belaka. Tidak pernah ia memikirkan orang lain apalagi negerinya. Kehancuran yang ia bawa ke negerinya pun adalah imbas hasrat nafsu egonya yang ingin memiliki istri orang lain, yaitu Sinta.
Yang paling menyesakkan dalam cerita ini adalah bagaimana Rama selalu meragukan kesetiaan dan kesucian Sinta pasca penculikan oleh Rahwana. Keraguan ini diwujudkan dalam perilaku-perilaku yang bahkan bagi Laksmana sendiri tidak elok dilakukan oleh seorang titisan Wisnu. Misalnya ketika ia meminta Anoman untuk mengecek keadaan Sinta di Alengka, ia membawakan sebuah cincin untuk menguji kesucian Sinta. Jika cincin itu berpendar setelah dikenakan di jarinya, itu pertanda bahwa Sinta masih suci. Dan tentu saja, cincin itu berpendar berkilauan. Tetapi ketika Sinta menitipkan sebuah kalung melalui Anoman untuk membuktikan cinta Rama yang jika dikenakan dan api dalam bandul kalung tersebut menyalakan api cahaya berarti cinta Rama masih utuh padanya. Dan ternyata, ketika kalung tersebut dikenakan oleh Rama, api dalam bandul hanya menyala redup saja. Hal yang sama terjadi ketika Rama dan Sinta akhirnya bertemu setelah Rahwana kalah, Rama dengan tega meminta Sinta masuk ke api pembakaran hanya untuk membuktikan kesuciannya.
Penderitaan yang dilalui Sinta sama sekali tidak membuat kesetiaan dan kesuciannya ternoda. Tetapi keragu-raguan Rama justru semakin menunjukkan betapa lemah cintanya kepada perempuan yang konon, demi dia, Rama rela menambak samudera.
“Cinta itu bukan untuk memiliki kekasih hatinya seperti apa adanya. Cinta itu mengharuskan seseorang rela membiarkan kekasihnya berkembang hidupnya.” (Laksmana, dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin, hal. 172)
Meskipun novel ini bisa dibilang cukup tebal, dengan 400an halaman lebih, tetapi setelah membaca beberapa halaman awal dan tenggelam ke kedalaman narasi penuh kebijaksanaan yang dituturkan Romo Sindhu, nampaknya bagi mereka yang tertarik dengan kisah-kisah seperti ini, hanya dibutuhkan hitungan hari saja untuk menamatkannya. Dan, rasa-rasanya, sangat disayangkan kalau novel sebagus ini dilewatkan terutama bagi para pecinta buku. Malah akan lebih baik lagi kalau novel ini juga kita kenalkan kepada pembaca-pembaca muda masa kini, selain supaya bisa mengambil manfaat dari kisah yang diceritakan, sekaligus juga mengenalkan bacaan-bacaan klasik karya penulis Indonesia yang sekarang sudah jarang dikenal oleh para pembaca muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar