BELAJAR MEMENUHI PERINTAH AGAMA MELALUI NOVEL ‘ATHEIS’
Judul buku: Atheis
Pengarang: Achdiat K Mihardja
Penerbit dan tahun terbit: PT Balai Pustaka tahun 2011
Jumlah halaman: 249 hlm
Genre: Fiksi, Novel
Nama peresensi: Muna Roidatul Hanifah
—Novel ini tidak berisi ungkapan-ungkapan provokatif yang mengancam kenyamanan umat beragama, sehingga tak perlu dicekal penerbitnya, atau dihukum bagi siapa yang berani membacanya.—
Atheis merupakan karya sastra yang menceritakan sebagian besar pemikiran para anak muda Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Novel ini sekaligus menggambarkan kondisi sosial bangsa ini yang telah menderita berlarut-larut pasca jajahan Belanda, dan kian sengsara di bawah kekuasaan Jepang. Tragedi demikian memicu gelora kaum muda untuk merdeka secara nasional ataupun pemikiran.
Achdiat K Mihardja, melalui novelnya berusaha memperkenalkan apa itu atheis serta bagaimana pandangan-pandangan mereka terhadap Tuhan, negara, dan kemanusiaan. Tentu saja, pengertian yang disampaikannya tidak lepas dari paradigma tahun 1900-an awal, ketika para pemuda mengamini Komunisme sebagai pandangan yang dapat mengantarkan mereka kepada kemerdekaan hakiki.
Dalam perjalanan cerita, pembaca dibiarkan menyimak bagaimana kronologis popularitas atheisme atau ‘sikap menolak nalar kepercayaan kepada Tuhan’ banyak digaungkan para anak muda. Rusli sendiri, selaku salah satu lakon utama mengenal komunisme ketika belajar di Singapura. Ketika pulang, ia merasa ide tersebut amat relevan bagi bangsanya sehingga ia berusaha membumikannya melalui tulisan-tulisan di media massa.
Bagaikan sungai menuju hilir, dua tokoh pemuda atheis menggempur pertahanan Hasan selaku seorang muslim yang kalem dan telah memiliki banyak pengalaman religius. Misalnya saja, kecenderungan memonopoli kebenaran yang sangat rentan dilakukan oleh pemeluk agama yang sudah merasa paling taat dan dekat dengan Tuhan. Alih-alih ajaran Tuhan yang mereka yakini mewujudkan kesetaraan antar umat manusia, justru mereka menciptakan kelas sosial baru dalam masyarakat yang mirip kaum bangsawan dalam sistem feodalisme.
Dengan demikian, golongan yang dianggap masih awam, harus membungkuk-bungkuk di hadapan orang yang dianggap lebih beriman. Orang tanpa kualifikasi tertentu tidak diperbolehkan menafsirkan sumber ajaran agama, Tuhan bukanlah milik semua orang. Sampai di sini, bukannya menciptakan kesetaraan bagi sesama makhluk Tuhan, mereka justru menciptakan kelas sosial baru, gagal pula menawarkan kebebasan berpikir bagi setiap makhluk berakal.
Dua pria ‘atheis’ itu sekaligus menghancurkan ‘nalar’ Tuhan dengan argumentasi yang lebih mudah diterima, melalui bahasa yang molek serta intonasi memikat, lugas dan tegas. Mereka katakan bahwa Tuhan hanyalah ilusi semata, ciptaan manusia-manusia sengsara yang butuh ruang negosiasi dari dunia yang bagai neraka.
Hasan dan barangkali kita sebagai pembaca, mungkin akan terdiam sejenak dan galau. Fenomena feodalisme beragama serta mabuk Tuhan masih kerap kita temui, bahkan hingga sekarang. Umat beragama mungkin mudah saja berbicara tentang Tuhan, surga, dan malaikat, namun bagaimana kita menyikapi ketimpangan ekonomi, pendidikan belum merata, pengangguran, degradasi moral, kriminal, dan problem-problem sosial lainnya? Kalaupun sudah paripurna dituliskan dalam Al-Quran, sudahkah ada implementasinya?
Saya menjadi teringat tulisan Kuntowijoyo yang menjadi pembukaan bukunya, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Beliau menyebut Al-Quran atau kitab ajaran primer sebagai grand theory, untuk mengimplementasikannya dalam berbagai persoalan moderen, umat harus merumuskannya menjadi middle theory dahulu sehingga melahirkan output berupa ilmu pengetahuan Islam. (Kuntowijoyo, 2017, hal. 2)
Tak bisa diabaikan, argumen-argumen yang diutarakan tokoh Rusli dan Anwar membuat buku ini seperti mengajak duel pembacanya. Adu argumen memaksa kita menjadi berefleksi. Di sisi lain, Achdiat juga memberikan wawasan kepada kita bahwa atheis (atau identik dengan komunis) tidak sesederhana kelompok penolak Tuhan/musuh umat Islam sebagaimana banyak kita dengar saat ini. Apalagi jika sudah dikaitkan dengan sentimen politik. Atheis memiliki dasar-dasar kesadaran sebagai respon atas realitas. Dan dalam novel ini, paradigma komunis dapat kita pahami dengan gamblang dan runtut. Satu pengetahuan yang akan cukup sulit kita dapatkan mengingat sensitifitas sejarah yang masih ada hingga sekarang.
Alur cerita dalam novel ini terus mengalir, mengingatkan pembaca bahwa setiap tindakan seseorang adalah re-presentasi dari apa yang mereka yakini. Sampai muara, yang tersisa adalah kepiluan. Hasan telah terlalu banyak menggadaikan diri demi mengikuti jejak pemikiran kedua temannya. Ia terlanjur membuang keluarga, masa muda, rumah tangga, hingga hati nurani. Rasanya sepuluh tahun lalu, tak pernah ia membayangkan akhir hidupnya tergeletak di atas jalanan dengan kesehatan mengenaskan, tanpa tempat berdoa.
Informasi terkait novel ini yang tak boleh dilewatkan ialah, susunan tiga sudut pandang yang digunakan oleh penulis. Aspek ini masih cukup jarang ditemukan dalam karya-karya sastra serupa. Selain itu, sebab novel ini sebenarnya sudah diterbitkan sejak tahun 1949, jangan kaget jika anda akan merasakan nuansa zaman dahulu selama membaca buku ini melalui kalimat-kalimatnya yang khas.
Sayangnya, novel ini cukup sulit didapatkan. Selain karena buku tua, sebagaimana disinggung di atas terkait sentimental, judul novel yang berani membuatnya tak bisa ditemui di setiap toko buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar