Judul Buku: Gus
Penulis: Dian Nafi
Penerbit: Kakilangit Kencana
Tahun terbit: 2014
Genre: Fiksi
Jumlah halaman: 197
Peresensi: Dian Nur Hidayah
Novel pesantren kian marak dan merebak mewarnai literatur Indonesia. Membuktikan bahwa penulis yang berasal dari pesantren juga mampu memberikan sumbangsih literasi berupa sastra sebagaimana penulis di luar pesantren. Novel ini salah satunya, ditulis oleh seorang santri yang menyuguhkan kisah tentang keluarga pesantren.
Menceritakan tentang dilema yang dialami seorang Gus—sebutan untuk putra Kiai di Jawa—bernama Mafazi, mau tidak mau harus menerima bahwa dirinya musti bersiap menggantikan tampuk estafet kepemimipinan pondok pesantren yang telah dibangun oleh orang tua terutama Umminya dengan penuh tirakat. Sedangkan Gus Mafazi masih ingin menikmati masa-masa gemilangnya sebagai seorang mahasiswa.
Cobaan itu hadir saat umminya wafat. Belum selesai rasa kehilangan yang dirasakan, abahnya memutuskan untuk menikah lagi. Tak diduga bahwa pernikahan baru abahnya akan menciptakan rasa "cemburu" bagi Gus Mafazi karena kehadiran saudara tirinya yang bernama Harun ternyata lebih cakap dalam hal agama. Gus Mafazi pun merasa kedudukannya terancam.
Yang menarik dari novel ini, penulis begitu detail menceritakan kisah demi kisah bagaimana seorang Bu Nyai menjadi tokoh sentral dalam berdirinya pondok pesantren dan keberadaannya tidak hanya memberi manfaat bagi pesantren melainkan masyarakat sekitar.
Sosok abah justru tidak begitu ditonjolkan dalam novel ini kecuali konflik batin dengan putra-putrinya ketika izin akan menikah lagi. Beberapa kisah memang agak bertele-tele dan membosankan. Gaya bicara Gus Mafazi kepada abahnya menurut saya kurang begitu menunjukkan sikap terhormat seorang putra kiai. Karena meskipun ia digambarkan sebagai mahasiswa yang hobi foya-foya dan enggan meneruskan kepemimpinan pesantren, ada sikap dan dialog dalam novel ini yang menjadikan beberapa cerita terasa kurang pas dengan tradisi pesantren pada umumnya.
Bagaimanapun, novel ini patut dibaca dan diapresiasi kehadirannya. Banyak pelajaran dan kutipan-kutipan indah di dalamnya.
"Hal yang paling jauh dari kita adalah waktu, yang paling dekat adalah kematian, yang paling berat adalah amanah.” (Hlm. 5)
Bagaimana kelanjutan kisah Gus Mafazi dalam menghadapi beberapa konflik pergulatan batinnya dan saudara tirinya? Silahkan baca novel ini!
Menceritakan tentang dilema yang dialami seorang Gus—sebutan untuk putra Kiai di Jawa—bernama Mafazi, mau tidak mau harus menerima bahwa dirinya musti bersiap menggantikan tampuk estafet kepemimipinan pondok pesantren yang telah dibangun oleh orang tua terutama Umminya dengan penuh tirakat. Sedangkan Gus Mafazi masih ingin menikmati masa-masa gemilangnya sebagai seorang mahasiswa.
Cobaan itu hadir saat umminya wafat. Belum selesai rasa kehilangan yang dirasakan, abahnya memutuskan untuk menikah lagi. Tak diduga bahwa pernikahan baru abahnya akan menciptakan rasa "cemburu" bagi Gus Mafazi karena kehadiran saudara tirinya yang bernama Harun ternyata lebih cakap dalam hal agama. Gus Mafazi pun merasa kedudukannya terancam.
Yang menarik dari novel ini, penulis begitu detail menceritakan kisah demi kisah bagaimana seorang Bu Nyai menjadi tokoh sentral dalam berdirinya pondok pesantren dan keberadaannya tidak hanya memberi manfaat bagi pesantren melainkan masyarakat sekitar.
Sosok abah justru tidak begitu ditonjolkan dalam novel ini kecuali konflik batin dengan putra-putrinya ketika izin akan menikah lagi. Beberapa kisah memang agak bertele-tele dan membosankan. Gaya bicara Gus Mafazi kepada abahnya menurut saya kurang begitu menunjukkan sikap terhormat seorang putra kiai. Karena meskipun ia digambarkan sebagai mahasiswa yang hobi foya-foya dan enggan meneruskan kepemimpinan pesantren, ada sikap dan dialog dalam novel ini yang menjadikan beberapa cerita terasa kurang pas dengan tradisi pesantren pada umumnya.
Bagaimanapun, novel ini patut dibaca dan diapresiasi kehadirannya. Banyak pelajaran dan kutipan-kutipan indah di dalamnya.
"Hal yang paling jauh dari kita adalah waktu, yang paling dekat adalah kematian, yang paling berat adalah amanah.” (Hlm. 5)
Bagaimana kelanjutan kisah Gus Mafazi dalam menghadapi beberapa konflik pergulatan batinnya dan saudara tirinya? Silahkan baca novel ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar