Buku Anak Aswaja yang Ditunggu-tunggu
Penulis: Nabilah Munsyarihah
Penerbit: Semesta Kreatif Alala
Tahun Terbit: 2020
Tebal: iv + 80
Genre: Literatur anak
Peresensi: Khalimatu Nisa
Buku bertajuk “Kisah Ulama Pendiri Bangsa” hadir di jagad perbukuan anak dengan membawa tawaran baru: belajar keteladanan para ulama lewat sejarah berdirinya NU.
Kisah-kisah keteladanan para ulama nusantara sejauh ini masih absen dalam semesta literasi anak Indonesia. Cerita nabi-nabi, para sahabat, dan imam-imam mazhab lebih mudah ditemukan di pasaran. Namun, belum ada buku yang mengajak anak-anak mengenal ulama-ulama daerah yang mungkin sering mereka dengar dan secara sosiologis dekat dengan kehidupan mereka.
Di sisi lain, materi sejarah lahirnya NU biasanya hadir terbatas di buku-buku materi ke-NU-an Madrasah Ibtidaiyah. Padahal tidak semua anak-anak NU bersekolah di madrasah yang punya kurikulum muatan lokal ke-NU-an. Sedangkan, anak-anak dari keluarga NU setiap harinya terpapar tradisi maupun simbol-simbol NU.
Nabilah Munsyarihah mengambil inisiatif untuk mengisi ruang kosong itu. Melalui konsep cerita bergambar, NU ia tampilkan dalam khittah-nya berjuang untuk bangsa juga agama. Buku bergambar ini mengisahkan betapa perjalanan panjang para ulama hingga akhirnya melahirkan NU adalah akumulasi keresahan atas nasib bangsa di bawah kolonialisme, sekaligus ancaman terhadap ajaran ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyyah (Aswaja).
Dari Perang Jawa hingga Resolusi Jihad
Buku ini dirangkai oleh tujuh babak cerita di mana Perang Jawa menjadi titik tolak pertama. Pertempuran lima tahun itu mengisahkan pasukan Diponegoro bersama para kiai bertempur melawan Hindia Belanda.
Salah satu kiai tersebut adalah Kiai Abdussalam, pemimpin pesantren di Dusun Gedang, Jombang. Kelak, beliau menjadi moyang Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Rais Akbar NU itu lahir lewat isyarat purnama jatuh tepat di perut ibunya, Nyai Halimah. Cerita lantas bergulir mengisahkan kegigihan Hadratussyaikh muda menuntut ilmu hingga ke Mekkah sampai akhirnya mendirikan pesantren Tebuireng.
Di Tebuireng, pertemuan tiga sosok pendiri NU terjadi. Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syansuri adalah dua santri cemerlang Hadratussyaikh. Dari Tebuireng, keduanya pergi menimba ilmu ke Mekkah. Hidup di masa pergerakan Nasional, keresahan atas nasib bangsa dalam cengkeraman kolonialisme menggelayuti benak para tokoh sentral ini.
Sepulang dari Mekkah, Kiai Wahab mulai menginisiasi madrasah dengan penekanan nilai nasionalisme bernama Nahdlatul Wathon atau ‘kebangkitan bangsa’. Di madrasah inilah, mars Syubbanul Wathon atau yang biasa disebut Ya Lal Wathon pertama kali dinyanyikan. Para kiai juga membentuk komunitas epistemik bernama ‘Taswirul Afkar’ yang membahas persoalan umat Islam. Mereka pun menghimpun petani dan pengusaha kecil untuk mendirikan serikat ‘Nahdlatut Tujjar’ sebagai perlawanan atas distribusi ekonomi yang timpang lantaran penguasaan asing. Organisasi-organisasi inilah yang menjadi cikal bakal NU.
NU akhirnya lahir saat perubahan politik di dalam maupun luar negeri semakin mendesak. Di dalam negeri, munculnya organisasi-organisasi keislaman baru dianggap kurang merepresentasi kalangan pesantren. Sementara itu ,dinamika politik di Hijaz (kemudian menjadi Arab Saudi) yang didominasi kelompok Wahabi merestriksi praktik beragama kalangan Aswaja. Di tengah situasi itulah NU lahir untuk mengartikulasikan kepentingan pesantren, lembaga pendidikan indigenous Nusantara.
Pada perkembangannya, perhatian para ulama NU terhadap nasib bangsa terus tercurah. Salah satunya seruan Resolusi Jihad Hadratussaikh untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam jalinan episode cerita ini, banyak disisipkan keunggulan akhlak para ulama. Misalnya saat Hadratussyaikh mencuci baju santri-santrinya dan Kiai Wahab yang tawaduk menanti restu sang guru untuk mendirikan organisasi.
Secara keseluruhan buku ini mampu melunaskan dahaga akan kisah NU dan ulama Aswaja yang dikemas dengan sederhana, sesuai level pemahaman anak-anak. Namun, tidak dipungkiri banyaknya istilah, tokoh, periodisasi maupun beragam konteks yang melingkupi akan menimbulkan banyak pertanyaan di benak mereka. Oleh karenanya, orang tua perlu mendampingi anak selama membaca buku ini.
Demi menciptakan interaksi orang tua dan anak, buku ini tidak hadir sendirian. Ia dijual sepaket dengan panduan orang tua, poster, masker, dan peta cerita sebagai media pengayaan.
Pasar Buku Anak Muslim dan Kerja Kolaboratif Para Santri
Dilansir dari tirto.id, menurut rilis IKAPI pada 2014, pasar buku anak terbilang fantastis yaitu 22,64 persen dari total penjualan buku di Indonesia. Selama ini penerbit buku anak didominasi oleh nama-nama besar, seperti Noura Books, Bentang Pustaka Erlangga, AgroMedia, dan Kompas Gramedia. Cerita dan format yang disuguhkan pun cenderung seragam.
Buku anak berhaluan Aswaja seperti buku ini adalah salah satu tema alternatif. Meskipun ditujukan kepada segmen pembaca yang terbatas, yaitu keluarga-keluarga NU, kehadiran buku ini nyatanya sangat ditunggu-tunggu. Total 3.000 eksemplar habis terjual selama masa pre-order. Ini menjadi bukti bahwa ada kebutuhan yang tinggi untuk mengenalkan apa itu NU beserta tokoh-tokoh teladannya kepada anak-anak.
Sisi menarik dari proses kreatif buku ini adalah kolaborasi para santri. Mulai dari penulis, editor, dan ilustrator kesemuanya merupakan santri. Naskah ini diterbitkan secara indie melalui penerbit ‘Semesta Kreatif Alala’ yang selanjutnya didistribusikan melalui jaringan agen santri pula. Meski digarap indie, buku ini berhasil menghadirkan kerja penulisan dan penyuntingan yang baik serta ilustrasi menawan yang tidak kalah dengan buku-buku keluaran penerbit besar. Tanda bahwa proyek ini dikerjakan dengan serius dan detail.
Resmi diedarkan di Hari Santri yang lalu, kehadiran buku ini menjadi penanda bahwa kerja kolaboratif santri bisa dan diharapkan terus membuat perubahan, khususnya dalam mengisi ceruk pasar buku anak muslim yang kering.
Beli Dimana Gan
BalasHapus