Judul Buku: Tuhan Tanpa Tahun
Penulis: Sanghyang Mughni Pancaniti
Tahun Terbit: 2020
Jumlah halaman: 217
Penerbit: PAKU (Pasukan Anti Kuliah)
Peresensi: Nur Kholilah Mannan
Novel ini benar-benar menceritakan keluluhlantakan Sanghyang setelah berkali-kali dilukai, dihujam nestapa dan dihuni sepi yang berkepanjangan.
Dalam sinopsis dan prolognya, lelaki yang telah memuja cinta melebihi Ilah ini mengutip puisi Saut Situmorang “Aku ingin mencintaimu dengan membabi buta, dengan sebotol racun yang diteguk Romeo, tanpa sanksi yang membuat kematiannya jadi puisi. Aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta, dengan sebilah belati yang ditikamkan Juliet ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi”.
Dan benar, Maula sebagai tokoh utama novel ini melebihi Romeo yang rela mati dengan membawa cinta Juliet dan Tuhannya. Romeo masih berusaha mengikat hubungannya dengan Juliet dengan pernikahan di gereja sementara Maula tidak, ia telah tidak adil pada Tuhannya dengan hanya memperjuangkan cinta Salma dan abai pada cinta Tuhan.
Sikap Salma yang menarik ulur hati Maula tidak lantas membuatnya bosan mendapatkan cinta perempuan yang aktif menggaungkan Syariat Islam dan khilafah itu, bahkan ia dengan santai menerobos tiga kali janjinya untuk tidak akan mendekati Salma lagi setiap kali disakiti, diinjak-injak harga dirinya di beranda facebook, dikatakan berkali-kali ketiadaan rasa simpatiknya pada Maula, sampai akhirnya ia harus melihat adegan yang membuatnya benar-benar luluh lantak, beku tak berdarah dan pening seakan tak menginjak bumi.
Malam itu sahabatnya Bajat yang menganggap Maula guru, bersalaman dan mencium tangan Maula, merasa sakit jika Maula disakiti telah membuat Bajat melampaui batas yang selama ini Maula jaga, yakni menodai kehormatan Salma. Padahal sekian kalinya Maula menepis kemungkinan bahwa Bajat tidak akan berbuat serong di belakangnya, namun setelah malam itu kemungkinan yang selama ini ia pungkiri telah ia lihat dengan kornea matanya sendiri dan malam itu juga ia mengakhiri Tahun Tanpa Tuhan-nya sesuai dugaan mama Kiai, bapaknya.
Itulah karakter yang saya temukan dalam tulisan-tulisan Sanghyang; Perpustakaan Kelamin, Perpustakaan Dua Kelamin, dan Tahun Tanpa Tuhan (T3).
Tentang keseetiaan. Dalam novel T3 ini ada tiga pemeran yang memiliki karakter sama;
Maula setia pada pilihan hatinya, Salma. Meski dengan kesetiannya itu ia berani berhadapan dengan murka Tuhan dari pada kemarahan Salma.
Damar setia pada ibunya dengan penuh bakti, padahal ibunya tidak sepenuhnya jujur, ibunya tidak mengatakan bahwa bapak yang selama ini diceritakan telah wafat ternyata sedang mengasuh pesantren di sebuah desa. Satu alasannya berbakti tanpa batas pada ibunya, perempuan itu adalah lulusan sarjana yang memilih menjadi Ibu Rumah Tangga demi menjadi madrasah petama untuk orang yang merobek rahimnya.
Jati setia pada Sunda yang memiliki segudang budaya sarat makna. Bahasa sunda yang tak pernah absen dari lisannya setiap kali berbicara, meski merepotkan penulis karena bekerja dua kali—menulis bahasa Sunda dan menerjemahkannya. Bakĕkok (adalah singkatan ‘Ba-Hakikotan’ yang merupakan pusat Ilmu Allah, yang merupakan rangkuman dari 6666 ayat Al-Quran, terangkum lagi dalam al-Fatihah, terangkum lagi dalam basmalah dan rangkuman terakhir dalam titik ba’) diucapkan ketika mencandai anaknya sebagai harapan anaknya mendapatkan Ilmu Allah. Dangding-dingdang-dingdeur (asalnya hanya Dangdeur tapi agar enak dinyanyikan ditambahlah dua kata sebelumnya, Dangdeur dalam bahasa Sunda artinya singkong, watak singkong adalah bisa bermanfaat diambil dari bagian mana pun, daging, kulit, pohon dan daunnya bermanfaat semua. Orang tua yang menyanyikan ini pada anaknya berharap anaknya bermanfaat kelak dan masih banyak lagi adat Sunda lain yang disebutkan dalam buku ini.
Meski Sunda selalu ia cinta dan utamakan tapi tak bisa diingkari ia kadang mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan orang luar Sunda yaitu harus menerjemahkannya, sepanjang apapun itu ia dengan senang hati menerjemahkan bahasa ibunya itu.
Begitulah setia, tidak menuntut balas dan kebaikan dari objek. Cukup ia berlabuh pada pilihan hati. Satu hal lagi yang menjadikan buku ini recommended bagi pencari jati diri adalah penulis mampu mengilustrasikan Tuhan sesuai dengan keadaan setiap pengalaman tokoh dalam buku ini. Sanghyang mengilustrasikan Tuhan dengan ‘Maha Tang Terbayangkan’ ketika tokohnya merenungi ciptaan dan segala kejadian dalam jagat raya ini yang begitu teratur. ‘Maha Penyayang’ ketika tokohnya memohon merengek meminta perlindungan. ‘Sang Maha Kuasa’ ketika tokoh Maula, Damar dan Jati dibersatukan sebagai saudara kembar setelah 22 tahun menganggap sahabat dengan alur cerita yang terduga. ‘Maha Raja’ ketika Komala menitipkan anaknya pada Tuhan yang memiliki segala.
Mengilustrasikan Tuhan menjadi penting agar tidak hanya tergambar dengan kekerasan dan pemaksaan. Dia memiliki ‘wajah’ sesuai kebutuhan hamba-Nya, Dia selalu ada dalam setiap detak jantung hamba-Nya. Hal ini sejatinya adalah bekal mencari jati diri dan inilah yang berhasil penulis potret dalam ragam kehidupan bermasyarakat.
Terakhir, tak ada tulisan yang tak bercela karena Sanghyang bukan Tuhan dan tulisannya bukan wahyu. Masih ada kesalahan tulisan dan percetakan, tapi itu tidak mengurangi substansi dari pesan ‘Tuhan Tanpa Tahun’ ini, bahwa cinta itu entitas universal, ia keparat, busuk, rampok, bajingan, sekaligus Ilahi.
Terima kasih telah mengulas Tahun Tanpa Tuhan..
BalasHapus