Judul: Muhammadku, Sayangku: Perasaan-Perasaan yang Berhasil Dikisahkan
Penulis: Edi AH Iyubenu
Penerbit: Diva Pres
Tahun terbit: November 2020
Genre: Agama
Peresensi: Nur Hayati Aida
Meski terlahir di tengah-tengah keluarga Muslim --yang kemudian menjadi wasilah keislaman saya, tetapi tak serta merta membuat saya bisa mencintai Nabi Muhammad sebagaimana diajarkan di sekolah. Bahkan itu juga terjadi ketika saya mulai belajar di pesantren. Saya tak bisa dengan takzim dan tulus mencintai Nabi Muhammad. Mungkin bagi beberapa orang, tindakan saya itu aneh. Menjadi Muslim, tapi tak pernah dengan tulus dan dengan benar mencintai Kanjeng Rasul Muhammad.
Mengapa bisa begitu? Begini. Sejarah Islam yang saya terima adalah sejarah tentang perang. Sejarah bagaimana Islam mulai berekspansi ke wilayah di luar Makkah dan Madinah. Salah satu kitab yang saya pelajari mengenai tarikh ini isinya adalah dari satu perang ke perang berikutnya. Sehingga bayangan kanak-kanak saya tentang sejarah Islam saat itu adalah sejarah tentang pedang dan darah
Kira-kira setelah lulus kuliah, saya baru tahu rasanya jatuh cinta kepada baginda Rasulullah. Itu juga bukan dengan wasilah kitab hadis atau kitab tarikh. Wasilah saya jatuh cinta pada Nabi Muhammad diantarkan oleh buku kecil sederhana yang ditulis oleh Fahd Pahdepi (yang waktu itu memakai nama pena Fahd Djibran). Buku itu berjudul Menatap Punggung Muhammad. Selepas menamatkan buku tersebut, hati saya membuncah tak karuan terhadap Kanjeng Nabi Muhammad. Saya tergila-gila betul. Saya kemudian mencari buku-buku yang menjelaskan sirah Nabi Muhammad, mulai dari yang ditulis oleh Hussein Heikal, Martin Lings, Annemarie Schimmel, juga Karen Armstrong.
Nah, tadi sore sebuah buku sampai di rumah. Judulnya Muhammadku, Sayangku yang ditulis oleh Edi AH Iyubenu. Selepas mengaji bersama ponakan, saya mulai membacanya. Dan kemudian hati saya berdebar-debar. Saya lebih senang menyebut buku Muhammadku, Sayangku sebagai buku tentang jatuh cinta. Mengapa? Saya bisa dengan jelas melihat buku itu ditulis dengan letupan cinta yang membara. Hampir di tiap lembar halamannya, kita diajak untuk terus menerus jatuh cinta pada Nabi Muhammad. Cinta yang tak bersyarat, cinta tanpa tapi, dan cinta tanpa keraguan. Dengan apa cinta itu diungkapkan? Melalui akhlak agung Nabi Muhammad menjalani hidupnya sebagai manusia biasa, menjadi orang tua bagi Sayidah Fatimah, mertua sekaligus paman bagi Imam Ali, kakek bagi Sayidina Hasan dan Husein, sebagai sahabat bagi Sayidina Abu Bakar, Sayidina Umar, Sayidina Usman, dan sahabat yang lain. Juga bagaimana akhlak beliau dalam menjalani hidup sebagai penyampai risalah Tuhan.
Buku ini sesak dengan kisah-kisah yang sulit rasanya ditolak sebagai sebentuk rasa cinta. Bagaimana Nabi Muhammad lebih memilih berdoa kebaikan untuk orang-orang yang mengolok-ngolok dan mengejeknya sewaktu di Thaif. Nabi Muhammad yang dengan sabar menemani perjalanan Islam Nu'aiman bin Amr bin Rafa'ah yang masih suka meminum khamr. Tanpa rasa dendam, Nabi Muhammad memeluk Ikrimah bin Abu Jahal ketika berikrar sebagai Muslim. Pun pada Hindun istri Abu Sufyan yang telah membunuh Sayidina Hamzah, Kanjeng Rasul dengan kebesaran hati dan sabar menerimanya.
Hampir-hampir tak saya temukan di buku ini bayangan masa kanak-kanak tentang Islam yang hanya berisi pedang dan darah. Sebaliknya, dalam buku ini saya menemukan banyak sekali alasan mengapa saya kemudian jatuh cinta pada Nabi Muhammad.
Ketika membaca buku ini, kita akan merasakan dada yang hangat karena selimut tebal cinta Rasulullah. Pun di awal buku ini saja, saya sudah tersedu-sedu:
"Milik siapakah alam raya ini, Wahai Muhammad?"
"Milik-Mu, ya Allah."
"Milik siapakah engkau ini, Wahai Muhammad?"
"Milik-Mu, ya Allah."
"Lalu milik siapakah Aku ini, Wahai Muhammad?"
Sang Nabi terdiam. Tak kuasa menjawab.
Allah pun berfirman:
"Aku adalah milik orang-orang yang mencintaimu, Wahai Muhammad"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar