Judul: Wisanggeni
Tahun: 2020
Penulis: Dian Latifa
Penerbit: CV Markumi & Nahnu Graphic
Halaman: xii+227 halaman
Genre: Fiksi
Peresensi: Hikmah Imroatul Afifah
"Santri itu seharusnya bukan hanya di majlis pengajian kan, Wa? Bukan hanya melayani masyarakat dari dalam pesantren, di panggung-panggung bersama para priyayi saja..."
Penggalan kalimat yang diucapkan Afra pada Arwa --yang dituliskan pada halaman 152 di novel Wisanggeni-- begitu melekat di hati saya. Kalimat tersebut saya bacaberulangkali. Mencoba meresapi maknanya pelan-pelan, lalu bertanya pada diri sendiri, bagaimana seharusnya saya menjadi santri. Membaca novel ini di tengah suasana yang sendu membuat saya berkali-kali menitikkan air mata.
Wisanggeni yang ditulis oleh Dian Nurul Hidayah --yang memakai nama pena Dian Latifa-- adalah sebuah novel dengan memakai latar pesantren. Ekspektasi awal saya terhadap novel dengan sudut pandang orang ketiga ini sebenarnya tidak terlalu tinggi. Mengingat sastra pesantren yang marak 'lahir' belakangan ini melulu bercerita tentang romantika Gus-Ning elitis dengan penggambaran yang nyaris sempurna. Meski Wisanggeni juga mengusung kisah cinta Afra Madiha, yang merupakan putri dan cucu Kiai masyhur di Salatiga, namun penulis novel ini memberi angin segar bagi para pembaca. Dian Latifa menyajikan sesuatu yang berbeda.
Gambaran kehidupan Wisanggeni, seorang santri yang pernah ngangsu kaweruh di Lirboyo selama enam tahun dan terpaksa berhenti mesantren karena kendala finansial, adalah momen yang dipilih penulis sebagai pembuka novel ini. Wisang yang pada akhirnya memilih melanjutkan studi di Solo sambil bekerja serabutan seringkali merasa rindu dengan atmosfer pesantren yang begitu syahdu. Tempat tinggalnya yang tidak jauh dari Pesantren Al-Hikam membuat kerinduan itu sedikit terobati. Bagaimanapun penampilan yang Wisang pilih --yang mungkin bagi sebagian orang tidak 'nyantreni'--, dia tetaplah seorang santri yang haus mengaji, yang menunggu dhawuh-dhawuh Kiai.
Melalui novel ini penulis ingin menyampaikan siapakah yang sesungguhnya bisa kita sebut sebagai santri, bagaimana seharusnya seorang santri memegang kesantriannya ketika sudah boyong (tidak lagi berada di pesantren), dan banyak lagi ibrah lainnya yang bisa kita ambil. Jiwa Wisanggeni yang welas marang liyan, takzhim, dan tahu di maqam mana dia berada adalah tiga dari sekian banyak ruh santri yang ditampilkan penulis dalam novel ini. Juga Afra Madiha, putri Kiai yang dicintai oleh Wisanggeni, memberikan teladan bagaimana seharusnya keluarga ndalem pesantren berbaur dengan orang-orang yang tak punya privilese untuk mengenyam pendidikan pesantren. Dialog antara Afra-Gus Hambali, Abah Abbas-Abah Syu'aib, dan Afra-Arwa adalah kritik sosial atas cara pandang beberapa kalangan pesantren yang menganggap bahwa jihad pesantren harusnya berada di balik tembok besar, yang sayangnya tidak semua orang bisa melewati tembok itu.
Saya mengapresiasi keberanian penulis untuk menyampaikan kritik-kritik halusnya atas tradisi 'dinasti pesantren'. Yang membuat saya tidak kalah tercengang adalah keberanian penulis untuk mengangkat topik perjodohan yang sarat dengan tekanan. Bahkan penulis juga menyertakan keterangan yang dinukil dari sebuah kitab, tentang bagaimana 'hukum' perjodohan yang justru menyebabkan renggangnya relasi antara orang tua dan anak. Saya meyakini bahwa penulis menyampaikan hal-hal tersebut tanpa mengurangi rasa takzhim pada para Kiai, Bu Nyai, Nawaning-Gawagis, dan elemen kalangan pesantren lainnya. Soal lain yang saya syukuri adalah kritik-kritik tersebut ditulis oleh seseorang yang juga lahir dan tumbuh di pesantren. Tentu perkara ini harus diketahui oleh para pembaca, agar tak ada anggapan bahwa kalangan pesantren adalah kaum eksklusif yang anti terhadap kritik.
Di antara banyaknya pelajaran yang bisa kita ambil lalu ugemi, karya ini juga tidak luput dari satu-dua kelalaian kecil, yang saya yakin, akan diperbaiki oleh penulis dengan senang hati. Beberapa salah ketik dan inkonsistensi dalam penulisan partikel ku- mungkin agak mengganggu para pembaca. Juga peletakan tanda baca koma yang kurang tepat di bagian-bagian awal, sedikit mengurangi 'rasa' dari kalimat yang dituangkan oleh penulis. Kekurangan dan kelalaian yang terdapat dalam novel ini tentu masih bisa dimaafkan.
Akhir kata, terima kasih saya ucapkan pada penulis yang mampu mengingatkan kaum santri agar lebih 'membumi', yang mampu 'menepuk bahu' kalangan pesantren agar lebih inklusif, yang mampu 'menampar' kita agar tidak pongah meski ilmu yang dimiliki amat melimpah, yang mampu membisikkan pada kita tentang ajaran untuk melihat orang lain dengan ainurahmah.
Lalu bagaimana nasib cinta Wisang pada Afra yang ternyata terbentur dengan perjodohan Afra dengan seorang Gus yang penggambarannya nyaris sempurna? Sila baca dan siapkan tisu di sebelah Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar