KASIH SAYANG, PENGASUHAN, DAN PENGALAMAN KEIBUAN
Judul: Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang
Penulis: Luis Sepúlveda
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun terbit: Oktober 2020
Genre: Sastra Anak
Peresensi: Iva Misbah
Buku pertama karangan Luis Sepúlveda yang saya baca berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, diterbitkan oleh Marjin Kiri. Novela tipis tersebut mampu menghipnotis saya dari segi cerita, penokohan, sampul buku, dan terjemahannya yang mulus. Ketika Marjin Kiri mengabarkan melalui media sosialnya akan menerbitkan karya Sepúlveda yang lain dan akan kembali diterjemahkan oleh Ronny Agustinus, penerjemah yang sama dengan buku sebelumnya, saya langsung mencatat buku baru ini di urutan teratas buku yang harus dibeli, menggeser judul-judul buku lain yang sudah antri lebih dulu.
Yang lebih membikin penasaran, buku terbaru dari Marjin Kiri ini menjadi buku pertama dari Pustaka Mekar, seri buku Marjin Kiri untuk pembaca anak dan remaja. Saya sungguh tak sabar ingin tahu bagaimana cerita yang dirangkai Sepúlveda dan ia peruntukkan bagi anak. Apa kira-kira yang akan disuguhkan pada para pembaca mudanya? Ekspektasi saya melambung.
Judulnya Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang. Bukunya tipis, hanya 90 halaman. Sesuai judulnya, novela ini berupa fabel. Buku ini saya tamatkan sekali duduk,sebab tipis dan ceritanya mengasyikkan, tak mengizinkan saya untuk beranjak. Garis besar cerita sejujur judul bukunya: kisah seekor anak camar yang diasuh seekor kucing hingga bisaterbang. Detail di sepanjang ceritanyalah yang berhasil membuat ekspektasi saya terbayar lunas.
Sama seperti Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, tema lingkungan masih menjadi sentral dalam novela Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang. Jika pada Pak Tua Sepúlveda mengangkat tentang perubahan ekosistem hutan, kali ini Sepúlveda mengajak pembacanya menyelami laut.
“Hal-hal mengerikan terjadi di laut. Kadang aku berpikir apa manusia memang benar-benar sudah gila, sebab mereka seperti ingin mengubah lautan menjadi tempat pembuangan sampah raksasa. Aku baru pulang mengeduk di mulut Sungai Elbe, dan kalian tak bisa bayangkan berapa banyak sampah yang terseret arus ke sana. Demi batok penyu! Kami mengangkut keluar tong-tong insektisida, ban bekas, dan berton-ton botol plastik sialan yang ditinggalkan manusia di pantai.” (hlm. 61-62)
Bagi saya sendiri, ada hal lain yang tak kalah menarik darinovela ini di samping lingkungan, yaitu cerita tentang pengasuhan. Dalam novela, dikisahkan secara apik penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan si kucing Zorbas dalam mengasuh Fortuna, anakan camar. Adaptasi yang membutuhkan kompromi, kelapangan hati untuk mengalah juga berbagi, dan di atas itu semua ada cinta-kasih sayang yang sungguh besar. Membacanya mengingatkan saya pada pengalaman personal tentang pengasuhan, merefleksikan kembali perjalanan saya sebagai ibu bersama anak saya. Gambaran kekagokan Zorbas saat harus mengerami telur camar menuntun saya pada kesadaran bahwa tak ada yang mudah dan terbiasa di awal; bahwa pengasuhan adalah proses belajar sambil langsung berpraktik yang padadasarnya bisa dilakukan oleh semua makhluk. Pengasuhan berat bukan karena ia eksklusif hanya bisa dilakukan oleh ibu/induk, tapi karena pengasuhan membutuhkan waktu untuk belajar, beradaptasi, dan menjadi terbiasa. Zorbas menunjukkan itu.
Sejatinya, berdasar pengalaman membaca saya, buku ini seperti hendak mendekatkan—yang umum difahami sebagai—pengalaman keibuan (keperempuanan) bagi seluruh pembacanya, perempuan atau laki-laki. Membangun empati pada pengalaman reproduktif yang dialami oleh perempuan melalui Zorbas, kucing yang meski tidak dinyatakan dengan tegas jenis kelaminnya, tapi harus memahami cara pikir induk burung camar yang berlainan spesies.
Itu hanya mungkin dengan adanya kasih sayang. Zorbas menyayangi Fortuna, dan karena itu ia mampu menghapus sekat perbedaan di antara mereka. Kasih sayang Zorbas melampaui tatanan-tananan dunia perhewanan di mana setiap spesies mengasuh anakan dari jenisnya sendiri.
“Kami tidak sanggup menolong indukmu, tetapi kami bisa menolongmu. Kami melindungimu dari sejak saat kau menetas. Kami mencurahkan semua kasih sayang kami tanpa pernah berpikir untuk menjadikanmu kucing. Kami mencintaimu sebagai camar. Kami merasa kau juga mencintai kami, bahwa kami temanmu, keluargamu, dan kami ingin kau tahu bahwa bersamamu kami belajar sesuatu yang membuat kami sangat bangga: kami belajar menghargai, menghormati, dan mencintai makhluk yang berbeda dari kami. Mudah sekali menerima dan mencintai mereka yang sama seperti kita, tetapi mencintai yang berbeda itu sangat berat, dan kau membantu kami melakukan itu.” (hlm. 67)
Sudah seharusnyalah kasih sayang memiliki daya dobrak semacam itu. Mengkategorisasi peranan dan tanggung jawab dalam keluarga sesuai jenis kelamin dan tatanan sosial, termasuk pengasuhan, jangan-jangan itu menunjukkan tingkatan kasih sayang yang dangkal dan asal sayang belaka. Katanya sayang, tapi tak mau berbagi beban pengasuhan. Katanya sayang, tapi selalu memaksakan standar tertentu pada pasangan atau anak.Akhirnya, dari Zorbas saya belajar untuk menghargai diri sendiri dan pengalaman pengasuhan anak bersama pasangan yang tak selalu mulus, sambil terus mengecek ulang kadar kasih sayang yang bertumbuh dalam keluarga kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar