Judul buku: Fullday School Sejati
Penulis: Nazlah Hasni
Penerbit: Aksana Karya Publisher
Tahun terbit: Oktober 2020
Jumlah halaman: 151
Genre: Nonfiksi, parenting
Peresensi: Uswah
Fullday School Sejati karya Nazlah Hasni adalah buku yang berisi tentang kepengasuhan, bertajuk parenting sharing. Awalnya saya apatis terhadap buku-buku parenting, karena menurut saya teori parenting dalam buku-buku parenting tidak pernah cocok untuk saya praktekkan kepada anak saya sendiri yang lumayan super. Tersebutlah di sebuah buku parenting, ketika anak sedang tantrum penanganannya adalah didiamkan sejenak sampai emosinya yang meledak-ledak sedikit menurun, setelah itu baru dipeluk, dicium, diajak komunikasi tentang apa maunya. Ketika anak saya tantrum, saya mencoba mempraktikkan anjuran tersebut dengan mendiamkan sampai agak mereda, eh malah jejeritan sampai tetangga rumah datang dikira tidak ada orang di rumah. Ketika anak marah karena keinginannya tidak terpenuhi, saya mencoba memeluk dan menciumnya, eh malah tambah jerit-jerit. Sungguh-sungguh bakat yang menurun dari saya, tantrumnya 😂
Pernah juga membaca teori parenting untuk tidak mengatakan “jangan” kepada anak, diganti dengan kalimat yang lebih positif. Misalkan kalimat “jangan membuang sampah sembarangan” diganti dengan “sampahnya dibuang di tempat sampah”. Tentu hal ini tidak semudah teori, Ferguso! Apalagi kalau kita sedang goreng tempe kemudian anak kita mendekat ke kompor, maka akan auto men-jangan-jangankan anak 😂 apa iya harus mikir dulu kata apa yang positif biar anak tidak mendekati kompor, keburu tempenya gosong, ya kan? Belum lagi teori parenting yang justru membuat seorang ibu menjadi insecure karena merasa dirinya tidak sesuai dengan standar parenting.
“Before I got married I had six theories about raising children; now, I have six children and no theories.” John Wilmot
Masih dengan keapatisan saya terhadap buku parenting. Kemudian ada seseorang yang berbaik hati mengirimi saya buku karya Nazlah Hasni, perempuan penulis asal Sampang, Madura, praktisi 4 anak yang sudah beranjak dewasa.
Desain sampul buku cute, seperti gambaran tangan bocah Taman Kanak-kanak. Menurut penuturan penulis, buku ini adalah kumpulan dari catatan pengalaman pribadinya selama mengasuh keempat putra-putrinya. Halaman demi halaman saya baca, saya cermati, tidak terasa, saya berada di penghujung halaman, dan.. khatam!
OMG, saya benar-benar menghabiskan 151 halaman buku dengan sekali duduk, dan saya begitu menikmati tulisan-tulisan di dalamnya. Maka apa yang saya bayangkan sebelumnya tentang tulisan parenting yang ndakik-ndakik tidak terbesit sama sekali, boleh dikata bahwa buku ini adalah parenting terselubung. Sebab apa yang dituliskan tidak ada kesan memerintah atau menggurui. Tidak terasa mata saya berkaca-kaca ketika membaca Guru, Orang yang Kusebut Orang Tua Kedua, penulis mengisahkan tentang pengalaman masa kecilnya bersama Bu Ratmi, seorang guru TK yang membopong Asni kecil ke kamar mandi, menceboki, mengganti dengan baju putranya dan membesarkan hati Asni kecil agar teman-temannya tidak mem-bully Asni saat kedapatan BAB di celana, di dalam kelas. Sosok Bu Ratmi yang tulus ikhlas dalam mendidik mungkin juga banyak kita jumpai di beberapa sekolah Taman Kanak-Kanak namun nyaris terlupakan jasanya. Untuk itulah penulis melanjutkan dengan anjuran untuk menghormati guru dari anak-anak kita dalam tulisan Guru Putra-putri Adalah Guru Kita Juga.
Materi dalam buku ini ditulis secara acak dari berbagai perspektif, satu sisi menceritakan tentang pengalaman penulis dalam mengasuh anak dan sisi lain menceritakan tentang bagaimana orang tua dan yang masih berada dalam circle-nya mendidik penulis, dibubuhkan pula puisi dan syair indah tentang keluarga di beberapa judul. Saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa cara mendidik orang tua akan membentuk karakter anak kelak saat ia juga menjadi orang tua.
Menulis pola parenting dengan idealis namun tetap realistis juga saya tangkap dalam buku ini, natural dan jauh dari pencitraan sebagai seorang ibu yang sempurna. Seperti pilihan penulis untuk memberikan sufor kepada anaknya karena beberapa alasan tertentu, juga pilihan penulis untuk tinggal di rumah tanpa menghakimi ibu yang berkarir di luar rumah, saya rasa hal ini penting untuk ditulis mengingat santernya “Mom Shaming” atau perilaku mempermalukan ibu lainnya. Hal penting lain menurut saya adalah tirakat yang dilakukan seorang ibu untuk anak-anaknya. Nazlah Hasni memberikan beberapa ijazah bersanad yang bisa dibaca orang tua sebagai ikhtiar demi keberkahan anak, seperti membaca fatihah dalam satu tarikan nafas, membaca doa Nabi Ibrahim setiap selesai salat agar anak-anak rajin melaksanakan kewajiban salat, dll.
Buku ini saya rekomendasikan bagi setiap pasangan yang mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua ataupun pasangan yang telah memiliki buah hati. Karena sebagaimana yang saya utarakan sebelumnya, bahwa poin menarik dalam buku ini adalah: parenting asyik dan tidak menggurui!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar