Judul: Surat Cinta Ning Zuraida
Penulis: Maratul Mahmudah
Genre: Fiksi/Novel
Tahun terbit: 2020
Tebal halaman: 311
Peresensi: Wachyuni
Novel ini memiliki nuasansa khas pesantren yang sangat kental sekali. Bagi santri tentu sangat tidak asing dengan istilah-istilah yang terdapat dalam bahasa santri, seperti sorogan, syawir, mbadali, makmum masbuq dan lain sebagainya. Meskipun demikian bukan berarti yang tidak santri atau yang tidak pernah mondok tidak akan bisa mengerti kosakata semacam itu, karena penulis sudah memberi definisi dengan bahasa yang sangat muda dimengerti.
Kalangan santri yang membaca novel ini seakan memotret kehidupannya, karena begitulah kehidupan pesantren. Kemandirian mengemban tanggung jawab atas berkembangnya jiwa seorang santri sangat luar biasa pada kehidupan pondok pesantren. Hal ini juga tergambar pada cerita novel tersebut, bahwa santri meskipun dalam usia yang cukup belia, mereka belajar tanggung jawab menjalankan amanat sebagai pengurus pondok. Kepungurusan pondok juga memiliki beragam tugas sesuai kemampuan santri menjalankannya.
Yang menarik dalam novel ini adalah menggambarkan bagaimana masa pubertas para remaja baik laki-laki dan perempuan, kang santri atau mbak santri saat mereka merasakan sebuah perasaan ketertarikan terhadap lawan jenis. juga bagaimana para santri bersikap begitu merasakan sesuatu kepada lawan jenisnya. Di sinilah budaya pesantren yang dilandasi nilai religi sangat kuat, ngugemi agomo adalah kata kunci santri.
Dalam novel ini tokoh utamanya adalah Neng Zuroida, seorang santri yang memiliki kecerdasan diluar rata-rata, akhlaqnya luar biasa, nasabnya/keturunan seorang kiai (pengasuh pesantren), juga piyawai dalam me-manage situasi. Sosok Neng Zuroida dalam usia 17 tahun sudah memiliki pengendalian emosi yang sangat cukup dewasa. Bagaimana menghadapi anak seorang kyai yang jatuh hati kepadanya sekaligus gurunya sendiri yang hampir tiap hari ketemu di kelas, bersikap kepada teman sangat hangat, par exelence kepribadiannya.
Sosok yang bisa dibilang sempurna itu (Neng Zuroida) mengalami fitnah saat dia dalam masa-masa popular sebagai santri dan pengurus pesantren. Dia diisukan mengirim surat kepada pengabdi pondok yang bertugas membersihkan sampah. Surat yang dia kirim tertuju kepada Gus (panggilan putra kiai) Falih anggota pasukan kebersihan sampah pondok putri. Isi surat tersebut mengandung sesuatu pertanyaan yang berkepanjangan dan kesanksian. Inti dari surat tersebut memang mencari perhatian dari orang yang dituju.
Berita pengiriman surat yang dilayangkan seperti pesawat lipat dari kertas ke gerobak sampah itu terdengar salah satu putra kyai, yaitu Gus Sihab guru yang jatuh hati padanya. Akhirnya direbuslah permasalahan ini sampai seluruh unit asrama yang terdapat di pondok pesantren itu terdengar. Gus Sihab juga melakukan rekayasa persidangan untuk memastikan apakah surat tersebut benar-benar ditulis Neng Zuroida (orang yang diidam-idamkan) atau bukan. Rasa cemburunya yang kemudian memotivasi Gus Sihab melakukan ini.
Sekali lagi, bahwa etika santri itu adalah nilai agama yang damai, santun serta menyejukkan, jadi api cemburu Gus Sihab ke Gus Falih tidaklah sampai membuat kotornya hati yang mendalam. Antara mereka tetap berusaha menjaga kehormatan satu sama lain, jadi tidak ada laku sadis apalagi anarkis. Etika santri memang harus menjaga tawadlu’, dan ini tercermin dalam semua tokoh di novel tersebut.
Setelah melaui persidangan, penyelidikan, klarifikasi antar orang yang terkait. Surat tersebut tidak ditulis oleh Neng Zuroida, tapi oleh sahabat karibnya yang kemana-mana selalu bersama yaitu Nafisah. Awal mula Nafisah beranggapan agar penerima surat mencari siapa penulis aslinya lalu berharap jatuh hati kepadanya, karena bahasa isi surat sangat indah. Ternyata taqdir bicara lain, meski demikian santri tetaplah santri. Dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk beretika sesuai perintah agama.
Bahasan yang keren, gaya kepenulisan yang runut dari a-z, pandai menguraikan isi buku yang bisa menarik orang lain untuk memiliki buku tersebut,love it.
BalasHapus