Judul: 100 Hari Melihat Diri: Diskon 60 Hari (Obrolan Bersama Tanaman)
Penulis: Mprop Picoez al-Jingini
Penerbit: DIVA Press
Tebal Buku: 239 halaman
Genre: Nonfiksi
Peresensi: Ulfiana
Nama Picoez al-Jingini, yang memiliki nama asli Agus Affianto, mungkin tidak asing di telinga orang-orang yang berselancar di Twitter. Cuitannya berisi guyonan yang menggelitik sering kali berseliweran di linimasa. Tak jarang cuitan Picoez berisi tentang obrolannya dengan tanaman mengenai renungan kehidupan sehari-hari. Biasanya Picoez mengawali atau mengakhiri cuitannya dengan ‘umpatan’ jingin yang disematkan di belakang nama bekennya. Kata jingin bagi sebagian orang mungkin bermakna negatif, tapi oleh Picoez diuraikan sedemikian rupa, sehingga makna baik atau buruk bergantung pada manusia yang membawanya.
Cuitan-cuitan Picoez di Twitter itu dijadikan buku dengan judul 100 Hari Melihat Diri: Diskon 60 Hari (Obrolan Bersama Tanaman). Sebagaimana judulnya, buku ini berisi 40 tulisan. Pun dari judulnya kita bisa menebak bahwa buku ini berkisah tentang introspeksi diri. Iya, buku ini berisi percakapan Picoez dengan tanaman mengenai kehidupan sehari-hari --yang sering kali terjadi di sekitar kita-- beserta renungannya.
Meski berisi tentang introspeksi diri, tapi tulisan-tulisan Picoez tidak terkesan menggurui. Namun, melalui tulisan-tulisan itu kita akan dengan sendirinya turut termenung, sudah benarkah tindakan sehari-hari kita yang terkadang dilingkupi oleh amarah, kecewa, atau lainnya. Dan di setiap akhir tulisannya selalu berisi mutiara-mutiara hikmah.
“Selalu ada rahasia kebaikan di balik takdir-Nya. Siapa yang tak berusaha mengambil hikmahnya, sesungguhnya dia tak pernah belajar apa-apa –selain mungkin hanya menunai amarah.” (hal. 140)
Kutipan di atas salah satu contohnya yang mengakhiri percakapannya dengan tanaman dengan judul Rahasia. Picoez menceritakan tentang peristiwa ketika anaknya mengeluh tidak mampu berjalan, bahkan tak mampu mengangkat tangan. Setelah ditelisik ternyata penyebabnya adalah kursi yang diduduki anak Picoez ternyata ditarik oleh teman sekolahnya. Padahal kepala sekolah seringkali mengingatkan siswanya agar tidak becanda melewati batas. Dan jika ketahuan siapa pelakunya, maka akan dikeluarkan dari sekolah.
Namun, anak Picoez tidak juga menjawab setiap kali ditanya siapa yang melakukannya. Ia hanya menjawab dengan singkat, “Lupa, Pak” atau dengan jawaban “Rahasia.” Akhirnya Picoez merasa kesal, saat ia pergi ke halaman rumah, Pohon Anggrek bertanya padanya. Ia kemudian menceritakan duduk perkaranya Pohon Anggrek. Picoez mendapatkan saran dari Pohon Anggrek untuk bertanya kepada anaknya, mengapa jawabannya ‘Rahasia.’
Ketika mendengar pertanyaannya itu, jawaban anak Picoez di luar dugaan. Jika seandainya ia menyebut siapa yang telah menarik kursinya hingga ia jatuh, kemungkinan temannya itu akan dikeluarkan dari sekolah. Dengan dikeluarkan temannya pun tidak akan mengubah apa-apa, tak seketika sembuh. Picoez hanya diminta oleh anaknya untuk menyampaikan kepada kepala sekolah agar teman-teman anaknya dinasihati untuk tidak melakukan hal serupa. Seketika lunglailah tubuh Picoez dan lenyaplah amarahnya. Di balik kata rahasia anaknya terdapat keikhlasan. Menerima dan menjalani takdir.
Cerita di atas hanyalah salah satu dari sekian kisah yang disuguhkan oleh Picoez di dalam bukunya. Menarik dan juga membuat kita merenung. Mengahadirkan hikmah tanpa merasa digurui. Penasaran dengan kisah-kisah lainnya? Silakan dibaca. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar