Judul: Pachinko
Pengarang: Min Jin Lee
Tahun terbit: 2017
Penerbit: Apollo, UK
Tebal: 537
Genre: fiksi
Peresensi: Wafa’ Hanim A.
Google menyarankan buku ini ketika saya mencari materi tugas kuliah mengenai sastra minoritas di Jepang. Pengarang buku ini, Min Jin Lee, adalah imigran Korea yang pindah ke Amerika pada 1970an. Berangkat dari rasa penasaran setelah mendengar seorang misionaris Amerika yang menetap di Jepang menyebutkan kata zainichi Korean (sebutan bagi warga Korea yang menjadi imigran di Jepang setelah Perang Dunia I) saat mengisi kuliah tamu di universitasnya pada 1989, pengarang mulai menuliskan kisah ini begitu setelah lulus sebagai sarjana sejarah pada 1996.
Novel ini menceritakan kisah keluarga Korea dengan setting tahun 1910, awal tahun ketika Korea dianeksasi oleh Jepang, hingga penghujung abad ke-20. Cerita tidak hanya berpusat pada satu tokoh utama saja, namun keluarga generasi Korea yang kemudian menjadi salah satu dari cikal bakal generasi zainichi Korean. Kisah dimulai dengan imigrasi sepasang suami-istri, Sunja (anak dari pemilik losmen kecil yang cacat sehingga jalannya agak pincang) dan Baek Isak, seorang pastor berkebangsaan Korea ke Jepang dan bermukim Ikaino, pemukiman warga Korea di Osaka (1933-1989). Dilanjutkan dengan keturunan Sunja dan Baek Isak yang seterusnya tinggal di Jepang dan mendapatkan hak menjadi warga tetap (permanent resident) Jepang pada penghujung 90-an.
Sebelum memutuskan untuk pergi meninggalkan negaranya, Sunja adalah seorang gadis desa polos yang terlibat asmara dengan Hansu, laki-laki yang menolongnya di pasar dari gangguan para lelaki penggoda. Sejak peristiwa itu, mereka mulai sering bertemu dan akhirnya ia mengandung anak Hansu. Sunja memutuskan lari dari Hansu setelah mengetahui bahwa alasan kepergiannya ke Jepang bukan hanya urusan bisnis melainkan karena ia sudah berkeluarga. Ini salah satu alasan mengapa Hansu tidak bisa menikahinya meskipun berniat untuk bertanggungjawab. Lalu hadirlah Baek Isak, seorang pastor sakit-sakitan yang bersedia menikahinya dan mengajaknya hijrah ke Jepang. Noa lahir tidak lama setelah kepindahan mereka pada 1933 dan disusul oleh Mozasu.
Kehadiran Noa dan Mozasu seperti menjadi gula dalam pahitnya keluarga Sunja, masalah berdatangan silih berganti; suaminya yang dipenjara karena tuduhan penyebaran ajaran sesat (?) yang salah, kesulitan finansial, terbelit hutang, merasa tidak aman terlebih mendekati akhir Perang Dunia II, dan diskriminasi terhadap kaum minoritas. Masalah sehari-hari ini sudah menjadi teman akrab bagi Sunja dan sebagian besar keluarga Korea berstatus sosial rendah. Namun dari sekian masalah yang diceritakan dengan detail dan presisi oleh pengarang berdasarkan hasil penelitian yang mendalam, bagi saya ada dua hal yang menjadi fokus pengarang: stereotyping (italic?) dan krisis identitas yang ditampakkan dalam beberapa tokoh.
Misalnya yang sangat kentara adalah tokoh Noa, berdarah murni Korea yang ingin menjadi bagian dari mayoritas, menjadi ‘paling Jepang luar dalam’ yang ditunjukkan dengan sikap sehari-harinya: selalu menggunakan nama Jepang ketika di luar lingkungan keluarga, sangat mahir berbahasa Jepang, menyimpan rapat latar belakang keluarganya, dan bersikap layaknya orang Jepang. Noa memutuskan hubungan keluarga dengan Sunja setelah ia mengetahui bahwa ayah kandungnya adalah Koh Hansu, lelaki Korea yang berprofesi sebagai Yakuza karna menikahi anak bos Yakuza (semacam mafia) Jepang. Selama ini ia mengenal sosok itu sebagai teman ibunya yang kelebihan uang dan bersedia membiayai kuliahnya di Universitas Waseda. Usahanya selama ini sia-sia dan memutuskan gantung diri karena tidak lagi mampu bergulat dengan dirinya sendiri meskipun sudah memulai hidup baru dengan nama Jepang baru dan berkeluarga. Dari Noa saya belajar bahwa sekeras apapun kita mencoba mencerabutkan diri dari identitas kita, akar tetap akan menahannya dari dasar yang dalam.
Karakter ini berbanding terbalik dengan Mozasu yang tidak pernah merasa harus menjadi seperti umumnya anak-anak yang ingin ‘diterima’ dalam masyarakat. Pandangan mayoritas terhadap minoritas Korea saat itu: bau, kotor, tidak pintar, miskin, mudah marah, pencuri, atau bisa jadi apapun yag buruk tidak pernah diindahkan oleh Mozasu. Ia memilih menjadi dirinya, mencintai keluarganya, dan bekerja keras agar kelak tidak mendapati keluarganya kesulitan secara finansial lagi. Lalu ada Haruki Totoyama, seorang polisi Jepang yang berteman baik dengan Mozasu. Orang Jepang yang dikenal sebagai orang yang baik, menjalankan tugas sebagai polisi secara jujur, tidak memperlakukan minoritas sebagaimana umumnya mayoritas namun menyimpan rahasia tergelap bahwa ia adalah seorang homoseksual, orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang membuatnya menjadi golongan minoritas yang dipandang masih buruk dan menjijikkan di masyarakat.
Pengarang berhasil mendeskripsikan dengan detail betapa beratnya tinggal di Jepang kala itu, menjadi minoritas di tengah kemelut perang, perbedaan budaya, diskriminasi sosial, dan tentunya masalah finansial. Hubungan yang kompleks antartokoh, pentingnya menjadi kalangan minoritas dengan akses terbatas untuk terus mengupayakan pendidikan, konflik identitas, dan hubungan mereka dengan akar budaya yang mulai terkikis rasanya berbaur dengan masalah sehari-hari. Selain itu, poin menarik yang saya tangkap dari cerita ini adalah keteguhan perempuan dalam menanggung rasa kehilangan, keinginan yang tidak terpenuhi, dan usaha mempertahankan keluraga dan tradisi di tengah masyarakat partiarkis yang mengecilkan mereka. Peran perempuan dalam menjaga keutuhan keluarga dengan cinta dan kasih sayang yang tulus dituliskan nyaris nyata oleh Min Ji Lee.
“…Sunja-ya, a woman’s life is endless work and suffering. There is suffering and then more suffering. It’s better to expect it, you know. You’re becoming a woman now, so you should be told this. For a woman, the man you marry will determine the quality of your life completely. A good mansi a decent life, and a bad man is a cursed life—but no matter what, always expect suffering, and just keep working hard. No one will take care of a poor woman—just ourselves.” (hal. 30 versi Bahasa Inggris)
Kutipan di atas adalah pesan ibu Sunja padanya sebelum ia menjalin hubungan dengan Koh Hansu.
Kisah pelik itu terangkum dalam satu metafora yang cukup menarik untuk bisa dibahas lebih lanjut yaitu judul Pachinko. Pachinko sendiri adalah sebuah mesin lotere yang diproduksi pascaperang berakhir setelah perusahaan senjata tidak lagi memproduksi senjata perang dan sebagian besar pemilik usaha pachinko dijalankan oleh warga Korea di Jepang. Sehingga pachinko sering dipandang sebagai bisnis dengan stigma buruk saat itu seperti halnya mereka memandang siapa pemiliknya. Seperti halnya pachinko yang mengandalkan keberuntungan untuk mendapatkan hadiah lotre dan dipandang buruk, kehidupan generasi Sunja dan Baek Isak maupun keluarga keturunan Korea di Jepang juga demikian. Sampai hari ini, zainichi masih menerima hatespeech dari kelompok politik sayap kanan Jepang yang ultranasionalis, menginginkan minoritas dengan jumlah terbanyak di Jepang ini untuk hengkang dari Jepang. (https://mainichi.jp/english/articles/20191129/p2a/00m/0na/004000c)
Isu yang dibahas dalam buku ini masih sangat relevan di masa sekarang karena trauma pascaperang ternyata tidak bisa hanya diselesaikan dengan minta maaf atau membayar kerugian perang, namun kesadaran penuh untuk mengakui kesalahan dengan menuliskan kembali kisah-kisah tersebut dengan berani. Menceritakan kisah tersebut pada generasi selanjutnya adalah upaya reflektif, agar pengalaman buruk dan trauma yang diakibatkan perang tidak kembali terulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar