Judul buku: Tentang Bagaimana Media Kecil Lahir, Tumbuh, dan Bertahan
Penulis: Agus Mulyadi dkk
Tahun terbit: Agustus 2019
Jumlah halaman: 136 Halaman
Penerbit: Buku Mojok
Genre: Non fiksi
Peresensi: Sarifah Mudaim
"Saya dan peserta lain diuji tes fisik, disuruh untuk menangkap lalat dengan sumpit, menyanyikan lagu dari Peterpan, tidur di atas tali seperti Bibi Lung, berjalan di bara api, menangkap ikan dengan tombak, menguras selokan Mataram, dan berburu kijang di hutan Kentungan. Tes terakhir adalah menggambar benda-benda di belakang tirai, tetapi dengan mata ditutupi kain hitam yang diikatkan di kepala, dan tangan diikat dengan kursi. Jadi, menggambarnya hanya bisa pakai mulut. Sungguh saat itu saya hanya bisa pasrah saja. Dan tidak disangka, saya yang diterima bekerja di mojok.co" (hal 70)
Kutipan ini diambil dari tulisan Ega Fansuri yang menggambarkan mojok laiknya dunia persilatan, di bagian ketiga tentang Meramu Jurus Visual Mojok. Ia memberi judul pada tulisannya Menjadi Pendekar Di Persilatan Mojok.
Ciri khas dari tulisan-tulisan Mojok yang terkenal yaitu segi lucunya. Dan selama ini yang saya tahu, salah satunya adalah tulisan Agus Mulyadi yang selalu berhasil membuat saya ngakak tiada henti. Akan tetapi setelah membaca buku ini, buku yang di dalamnya berisikan pengalaman para kru di balik layar mojok, saya tidak bisa berhenti tertawa di bagian yang ditulis Ega Fansuri ini. Ia adalah ilustrator yang gambar-gambarnya seringkali dijumpai entah itu di website, media sosial, dan lain sebagainya. Sama sekali tak disangka kalau ilustrasi tersebut adalah hasil karya ilustrator yang sering bertapa di Gunung Tidar, yang orangnya ternyata lebih gokil dari hasil gambarnya.
Kumpulan tulisan para kru Mojok ini membuat pembaca menjadi lebih mengenali Mojok dari sisi terdalam setiap kru-nya yang berisikan pengalaman mereka menjadi bagian media Mojok. Syafawi Ahmad Qodzafi misalnya, yang mengisahkan pengalaman mengirim tulisan sampai 3-4 kali tapi ditolak mentah-mentah oleh redaktur Mojok sehingga membuatnya semakin penasaran dan tak putus arang untuk terus mengirim tulisan sampai kemudian tayanglah tulisan perdananya di Mojok. Ia kini lebih dikenal sebagai Ahmad Khadafi, nama pena yang melekat karena lebih mudah diingat dan diucapkan dibanding nama aslinya. Ia juga kemudian menjadi bagian dari Mojok dan menjabat sebagai Redaktur Mojok. Mojok sendiri sempat tutup untuk beberapa waktu karena ada perombakan formasi.
Selain dua cerita di atas, ada banyak cerita menarik lainnya yang ditulis oleh setiap kru Mojok. Tulisan-tulisan ini dibukukan tepat di saat Mojok ulang tahun ke-5 dan memang dipersembahkan untuk para pembaca situs web mojok.co dan penikmat buku-buku terbitan Buku Mojok.
Saya sendiri juga kebetulan menjadi salah satu dari sekian orang yang banyak mengkoleksi buku-buku terbitan Buku Mojok, termasuk buku ini. Buku ini cukup menginformasikan bagaimana media Mojok lahir, tumbuh, mencoba bertahan, dan sampai saat ini semakin banyak dilirik oleh khalayak banyak. Menurut informasi Kepala Suku pada tahun 2019 disaat ulang tahun Mojok ke-5 ini, rangking Alexa Mojok bertengger di angka 85. Untuk sebuah media kecil yang berawak 15 orang, tentu hal itu sangat membanggakan. Karena ada banyak sekali media yang berawak 10 kali lipat, tapi peringkatnya berada di bawah Mojok. Wahh... keren yaaa. Di resensi ini, saya juga ingin sekaligus mengucapkan selamat untuk mojok.co, semoga selalu memberikan yang terbaik untuk para pembaca dan penikmatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar