Tahun: 2021
Penulis: Fahruddin dan Titan Oktavian
Penerbit: Guepedia Publisher
Halaman: ii + 96 halaman
Genre: Fiksi
Peresensi: Hikmah Imroatul Afifah
Mula-mula saya mengetahui buku yang berisi sekumpulan puisi ini dari status WhatsApp salah satu penulisnya. Dia adalah Titan Oktavian. Mengenalnya sejak usia taman kanak-kanak, membuat saya sedikit-banyak tahu soal kegemarannya. Tapi saya lupa persisnya kapan, dia mulai mencintai dan rajin bercumbu dengan puisi-puisi. Yang saya ingat, saya hampir selalu menikmati kata per kata yang dia rangkai menjadi bait-bait puisi. Kadang dia tuliskan di (caption) Instagram, sesekali juga nangkring di dinding akun Twitter-nya, yang sayangnya, beberapa bulan ini nampak seperti rumah tak berpenghuni. Sepi.
Demi kenikmatan saat membaca puisi-puisinya, maka saya sangat antusias begitu tahu kalau buku ini terbit. Tak butuh waktu lama untuk menandaskan isi dari buku ini. Berisi puisi dari Titan, juga Fahruddin, yang ditulis sejak tahun 2018 hingga 2021 —yang belum genap separuh ini, buku setebal 96 halaman ini saya baca dalam kurun waktu 210 menit. Seperti yang saya duga sebelumnya, saya benar-benar jatuh cinta dengan pilihan diksinya. Tidak over hiperbolis, jujur, dan tidak sulit dicerna. Soal puisi, saya lebih suka dengan puisi yang mudah dipahami maknanya. Tentu saja kesukaan tersebut adalah milik saya pribadi. Jika teman-teman lebih menyukai puisi yang butuh waktu lama untuk 'angen-angen', itu sama sekali tak jadi soal. Semuanya hanya perihal preferensi.
Jangan terkecoh dengan judul bukunya. Sebab puisi di dalamnya tidak melulu bicara soal cinta, rindu, dan pelukan belaka. Mereka berdua juga berbicara tentang sosok ibu dengan narasi yang jujur, beberapa kritik atas problem sosial, dan bahkan menjadikan pekerja seks komersial sebagai objek dalam puisinya. Soal poin terakhir, menurut saya, mereka cukup berani. Angkat topi!
Di samping hal-hal yang patut diapresiasi, saya ingin memberi beberapa catatan pinggir. Pertama, sebagai seorang penulis, dua kawan saya ini tentu harus banyak belajar. Dan saya yakin mereka juga sepakat akan hal itu. Selain memperkaya diksi, saya juga menyarankan untuk belajar self-editing. Perkara self-editing ini erat kaitannya dengan poin kedua yang akan saya sampaikan.
Baiklah, kita beralih ke poin kedua. Dalam hal ini, saya bertanya apa peran editor yang tertulis di balik sampul dalam buku ini? Sungguh disayangkan jika sajak-sajak indah terdistraksi keindahannya karena beberapa kesalahan kepenulisan. Selain penulis yang semestinya melakukan self-editing, penerbit juga harus menyunting bagian yang kurang tepat. Saya memahami bahwa puisi ini awalnya ditulis di catatan gawai yang kadang-kadang disingkat, atau menulis pengulangan kata dengan membubuhkan angka "2" di belakangnya. Semestinya hal ini tidak boleh luput dari perhatian penerbit. Supaya apa? Supaya makin banyak orang yang gemar membaca sebab disuguhi karya apik dan tidak membuat mata ‘sakit’ saat membacanya. Saya mohon maaf jika pada bagian akhir diksi resensi yang berkedok catatan pinggir ini dirasa cukup kasar. Besar harapan saya agar para penerbit, terutama penerbit indie lebih teliti dalam proses kurasi.
Lepas daripada itu semua, selamat untuk kelahiran sulungnya. Saya menanti kelahiran adik-adik dari si sulung ini.
Tabik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar