Penulis:
Dee Lestari
Tahun
terbit: 2021
Versi:
e-book di Storial.co
Peresensi: Khalimatu Nisa
Rapijali adalah naskah tertua Dee Lestari yang sudah berusia 27 tahun. Mangkrak belasan tahun, lahirnya Rapijali dari rahim ide disambut gegap gempita, tapi tidak sedikit juga yang merasa kecele.
Rapijali menjadi karya hibrida kedua Dee setelah Aroma Karsa yang terbit secara digital dan juga buku cetak. Seperti Aroma Karsa (2018), sebelum buku fisiknya beredar, Rapijali terlebih dulu menyapa pembaca digital Dee atau yang akrab disebut “digitribe” dalam format e-book.
Sebagai naskah yang mulanya ditulis oleh seorang remaja, kisah Rapijali berkisar pada kehidupan perempuan muda bernama Ping. Siswi SMA yang bernama asli Lovinka ini hidup di Batu Karas, sebuah desa di sekitar sungai Cijulang, dekat pantai Pangandaran. Ia yang yatim piatu dibesarkan oleh sang kakek, seorang pemusik blasteran yang menggawangi band lokal D’Brehoh. Bersama kakeknya, Ping menggeluti minat dan bakat alaminya dalam bermusik.
Konflik bermula saat ternyata sang kakek mengidap sakit keras dan merahasiakan hal itu dari Ping. Saat akhirnya sang kakek wafat, Ping diwasiatkan untuk diasuh Guntur, walikota Jakarta Selatan yang tengah berlaga dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Ping tidak pernah tahu bahwa Guntur adalah ayah kandungnya yang meninggalkan ia dan ibunya di masa lalu.
Dari sungai Cijulang, cerita
mengalir ke ibukota. Ping yang lahir dan tumbuh di desa dilanda shock
culture di tengah pergaulan anak muda Jaksel. Apalagi ia dimasukkan ke
sekolah elit bersama dengan anak kandung Guntur dari pernikahan yang terakhir.
Pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa ia harus meninggalkan Batu Karas dan perasaan
tidak diterima oleh anggota keluarga Guntur menggelayuti hari-harinya.
Musik jadi satu-satunya pelipur
lara Ping. Di sekolah, ia bertemu dengan sejumlah anak muda yang sama-sama
menggandrungi musik lantas berkolaborasi membentuk grup band. Di sinilah Rapijali
bermula. Nama Rapijali dibuat dari akronim nama-nama anggota band.
Musik,
Keluarga, Politik, dan Persahabatan
Kalau Dee bilang bahwa Rapijali
adalah cerita yang sederhana tapi menyimpan tingkat kesulitan tertentu,
barangkali itu karena kompleksitasnya. Bagi saya, membaca Rapijali tak ubahnya
mengikuti drama series. Pembaca disuguhi banyak aktor dan beragam
konflik yang disebar di sepanjang cerita.
Ada cerita tentang bakat musik
Ping sebagai seorang perfect pitch yang mampu mengenali nada tanpa harus
mengerti notnya. Di sini, sekali lagi Dee membuktikan kepiawaiannya bernarasi. Jika
sebelumnya ia membuat pembaca menghirup aroma lewat kata-kata di Aroma Karsa,
di Rapijali, dengan berbagai istilah musik, tanpa membuatnya menjadi rumit, Dee
membunyikan kata-katanya bagai alunan nada.
Di sisi lain, kisah keluarga
dijalin dengan cukup rumit. Ada kisah percintaan Guntur di masa lalu dan affairnya
di masa kini. Dimensi politik juga turut memberi warna dalam Rapijali. Dari
sosok Guntur, Dee menyuguhkan drama petahana versus penantang yang lazim
ditemui pada ontran-ontran politik dunia nyata.
Elemen persahabatan juga lumayan
kental dalam kisah ini. Ada kisah pertemanan Ping dengan sobat masa kecilnya di
kampung halaman dan keasyikan Ping dengan kawan-kawan barunya di Jakarta. Di
sini Dee menghadirkan getar-getar asmara khas anak muda. Kisah persahabatan ini
cukup membuat warga digitribe terbelah. Antara mendukung romansa Ping dengan
kawan masa kecilnya, Oding, atau move on ke Rakai, rekan satu bandnya.
Dengan kompleksitas itu tentu butuh banyak waktu bagi Rapijali untuk mengurai satu persatu benangnya. Dari pengalaman membaca cerbung digital, semakin hari, perjalanan cerita justru semakin memunculkan banyak pertanyaan. Menuju senjakala cerita, masih banyak hal belum terjawab. Benar saja, ternyata Rapijali tidak bisa tamat dalam satu buku. Kabarnya ia masih menyimpan dua babak lagi sebagai sebuah trilogi.
Di buku pertama ini, pemenggalan dilakukan menuju klimaks cerita yang membuat kisah ini jadi terasa amat menggantung. Berbeda dengan buku-buku serial lain yang setidaknya menyelesaikan satu petualangan pada satu buku, sekuel pembuka Rapijali benar-benar terasa seperti kisah yang belum rampung.
Pro Kontra Serial dan Dilema Dua Wujud
Informasi bahwa Rapijali merupakan sebuah serial cukup bikin geger. Bagi pembaca cerbung digital, hal itu baru diketahui dari keterangan di akhir cerita. Pembaca cetak baru tahu saat buku sampai di tangan, di mana di sana tertulis angka “1” dan subjudul “Mencari”, keterangan yang tidak ada dalam materi promosi.
Sebagian pembeli buku cetak
merasa kecewa. Beberapa dari mereka menyebut “strategi promosi” ini sengaja
nge-prank pembaca. Bahkan ada yang sampai meretur buku ke marketplace
dengan alasan buku tidak sama dengan gambar iklan pra-pesan. Pembaca
digital yang sejatinya juga kecewa karena harus menunggu lebih lama lagi
kelanjutan ceritanya, relatif lebih selow. Mungkin, karena kebanyakan mereka
adalah pembaca loyal Dee dan dari awal mindset mereka adalah membeli
sebuah cerbung, sehingga lebih ikhlas digantung.
Menanggapi pro-kontra ini Dee sampai
harus merilis maklumat di situs pribadinya demi menjelaskan mengapa Rapijali mesti
berformat serial. Argumen Dee adalah bahwa kebutuhan cerita yang panjang apabila
disajikan dalam bentuk satu novel tebal, tidak cocok bagi pembaca remaja
sebagai segmentasi yang disasar. Selain itu, lantaran Rapijali berdiri di dua
kaki: digital dan cetak, ia merasa harus menjaga kepentingan keduanya.
Dirahasiakannya informasi serial pada masa pra-pesan yang bersamaan dengan
berjalannya cerbung dikatakan sebagai upaya menjaga kenyamanan pembaca digital.
Pro-kontra serial ini tentu saja
lebih kepada urusan teknis belaka. Seorang penulis tentu saja tidak harus minta
izin pembaca untuk membuat cerita bersambung atau tidak. Sayangnya, di kasus
Rapijali ini ada perbedaan cover yang membuat sebagian pembaca merasa
kena prank. Barangkali akan lebih bijaksana kalau pra-pesan edisi cetak
menunggu cerbung selesai. Sehingga, penerbit dan penulis tak perlu repot-repot
menyembunyikan format serial buku. Meski tentu saja resikonya, ending
cerita bisa bocor lebih dulu.
Lepas dari itu saya mengapresiasi inovasi Dee untuk kembali membawa naskahnya ke format digital. Di era di mana sinetron bersambung atau drakor bersambung digandrungi, sensasi membaca cerita bersambung ternyata menyimpan keseruan tersendiri. Terlebih lagi adanya forum interaksi antara penulis dan pembaca yang membuat suasana membaca jadi lebih ramai. Meskipun masih banyak juga yang mengeluhkan keterbatasan fitur forumnya, seperti tidak adanya notifikasi.
Bagi mereka yang sulit merampungkan buku sekali duduk, membaca buku dengan cara nyicil ala cerbung begini juga bisa jadi solusi jitu. Nilai plus lainnya, pengalaman membaca juga lebih lengkap dengan audiostory untuk opsi “mendengarkan buku”. Dibanding buku-buku Dee lainnya, cerita Ping ini memang yang paling ringan, membacanya tidak menambah beban pikiran. Sangat pas dibaca atau didengarkan sambil leyeh-leyeh menutup hari yang melelahkan. Akhirulkalam, semoga saja Dee tidak ingkar janji untuk merilis sekuelnya tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar