Catatan dari Tarim, Jembatan Rindu
Sepanjang perjalanan membaca buku Catatan dari Tarim, tak hentinya mata terbelalak kagum, dada bergetar hebat, dan hati berdesir. Namun, tidak berhenti di sana, (semoga) juga menambah tingkat keimanan dan ketakwaan saya sebagai pembaca. Melalui buku ini, kita diajak menelusuri bagaimana kehidupan para habaib di kota penuh keramat, Tarim. Gedung-gedung dan jalan setapak digambarkan dengan begitu detail. Kisah demi kisah terurai tentang guru besar beserta putra, menantu, dan keluarga besar, hingga murid, dan murid dari muridnya. Semua tergambar begitu jelas dan nyata melalui kalimat-kalimat indah Lora Ismail.
Buku dengan tebal 253 halaman ini berisikan intisari penting tentang jalan hidup keturunan Rasulullah yang sangat patut kita teladani. Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz dengan wibawa dan pesonanya yang begitu kuat mampu “menyihir” para santri, masyarakat bahkan para pemberontak. Semua tunduk dalam rasa hormat dan cinta pada kepribadian beliau. Pun dengan kisah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri dengan pilihan jalan dakwahnya yang berbeda dari kehidupan ayahnya dalam dunia politik pemerintahan.
Jika waktu lalu saya sempat mengidolakan kota Tarim sebagai kota tujuan menuntut ilmu, maka buku ini menjadi obat penghubung yang mampu mewakili rindu yang begitu menggebu. Saya, meski sampai detik ini belum menapakkan kaki di Tarim, berada di garda terdepan yang mengamini Lora Ismail dalam artikel kedua yang berbunyi, Catatan dari Tarim: Kota ini salah satu anugerah Allah Terindah dalam Hidupku. Apalagi Lora Ismail yang sudah mereguk lezatnya ilmu secara langsung kepada para Maha Guru Mulia di sana selama bertahun-tahun.
Awalnya, saya sempat mengira buku ini lebih cocok jika diberi judul yang lebih spesifik tentang Habib Umar, tetapi setelah lewat separuh isinya, Lora Ismail menyajikan pula cerita-cerita indah mengenai para zuriah Nabi Muhammad yang lain. Di antaranya guru Habib Umar, yakni Habib Salim Assyathiri— sang pemimpin para Ulama abad ini, Habib Ali Al-Jufri—sahabat, murid sekaligus besan Habib Umar— sang ulama penuh keikhlasan. Habib Muhammad bin Salim, ayahanda Habib Umar yang gigih berdakwah meski dibanjiri serangan dari para pemberontak hingga merenggut nyawa beliau. Habib Ali Al-Masyhur sang kakak Habib Umar yang senantiasa istikamah memimpin dan menggerakkan semua kegiatan keagamaan di kota Tarim. Habib Abdullah bin Shihab dengan karamah dalam “melihat” para murid dan tamunya saat sowan ke beliau.
Sebagai pembaca yang masih jauh dari kota Tarim, jauh dari kehidupan para habaib, hanya bisa menengadahkan tangan sambil memohon sedalam-dalamnya. Semoga dengan perantara membaca cerita demi cerita indah tentang kehidupan para kekasih ini dapat meningkatkan kecintaan saya—juga semua pembaca—kepada Rasulullah dan ahlulbait. Begitu pentingnya kisah-kisah ini dilestarikan dan terus digaungkan dalam majelis ilmu, dan dalam kisah pengantar tidur pada anak cucu. Demi generasi yang mencintai Rasulullah dan zuriahnya.
Kalau boleh menyebut, isi buku ini “daging” semua. Setiap tulisan diletakkan dengan apik dan runut. Tata letak buku ini juga begitu mendukung isinya yang indah. Keterangan gambar di masing-masing tulisan juga mampu mengobati rindu dan rasa ingin tahu tentang sosok yang diagungkan, dicintai, dan dimuliakan. Namun, ada beberapa catatan kecil dalam teknis penulisan buku, terutama pada bagian penyuntingan. Sepertinya buku ini masih memerlukan peninjauan ulang mengenai ketepatan penulisan, baik mengenai sesuai ejaan bahasa Indonesia, juga dalam efektivitas kalimat. Meski begitu, hal ini tidak mengurangi betapa pentingnya buku semacam ini disebarluaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar