Judul Buku: Damar Kambang
Penulis: Muna Masyari
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Jumlah Halaman: 200 halaman
Genre: Fiksi
Peresensi: Vivi Nafidzatin Nadhor
Ketika perbedaan adat menjadi pertaruhan martabat, keputusan demi keputusan sepihak tidak bisa ditolak. Keputusan demi keputusan yang telah mengundang masalah beratai itu mengingatkannya pada tujuh lapis kain "mokka' blabar", yang dikenang hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun kemudian. Kenangan itu bagai tetesan cuka di lubang-lubang luka bertabur garam, lubang-lubang yang meninggalkan bekas setelah semua terbayar tuntas. Jangan ditanya berapa harga yabg harus dibayar atas nama martabat dan kehormatan!
Cuplikan kata pengantar dari novel Damar Kambang ini rasanya cukup mewakili isinya—yang membuatku beberapa kali menggertakkan gigi karena geregetan saat membaca kisah beberapa perempuan yang diperlakukan sangat patriarkis dan menerima begitu saja tradisi adat setempat. Di halaman 6 disebutkan saat Marinten sebagai istri tak ubahnya benda. Sebab, dia dijadikan barang taruhan adu sapi karapan oleh suaminya.
"…pada saat itulah aku bak sejumput kapuk yang terbang lepas dari cangkangnya hanya dalam sekali tiup. Mulut seorang suami tak ubahnya mulut penyihir. Dia memadamkanku hanya dalam sekali ucapan!".
Tokoh kedua adalah seorang perempuan bernama Chebbing. Ia dinikahkan di usia anak oleh orang tuanya. Bagi orang awam, menikahkan anak perempuan di usia anak serupa memahat tanah liat. Anak akan tunduk atas keputusan apapun atas orang tua. Dengan menikah, kekhawatiran orang tua atas perbuatan anak perempuan yang bisa membuat martabat keluarga tercoreng bisa dihindarkan, alih-alih memberikan pengajaran yang benar. Anak perempuan dianggap lebih sulit dijaga dibanding kambing sekandang. Dan pilihan menikahkan mereka dengan segera, meski di usia anak, adalah solusi paling tepat agar tanggung jawab menjaga lalu beralih ke suaminya kelak.
Tokoh berikutnya adalah Ibu Kacong, yang tidak punya kesempatan mendidik anak sesuai dengan idealismenya, meski berkali-kali menolak agar anaknya tidak diajari yang bukan-bukan oleh Oba' Sakrah, tetapi tidak pernah didengar. Ibu Kacong akhirnya menyerah dan berpendapat bahwa suara perempuan selalu tenggelam di balik wajan, dandang, dan perabot dapur lainnya. Percuma saja berdebat panjang.
Gaya penulis dalam mengisahkan tokoh-tokohnya sangat bagus. Alurnya tidak mudah ditebak.
Selain mengungkap budaya lokal di Madura yang masih patriarkis, novel ini juga memberitahu pada kita adat dalam pernikahan di Madura. Seserahan, misalnya, dianggap sebagai simbol harga diri keluarga dan pengantin perempuan. Jika mahar yang diberikan tidak sesuai dengan adat mempelai perempuan, maka diartikan sama dengan menodai martabat. Kejadian itu dialami Chebbing. Pernikahannya dengan Kacong digagalkan oleh orang tuanya. Sebab, seserahan yang dibawa Kacong hanya sedikit dan tak sesuai yang diharapkan.
Karena novel berlatar Madura, tak lupa penulis menyelipkan beberapa bahasa Madura. Arti atau keterangan bahasa Madura tersebut diletakkan di glosari yang berada di bagian belakang buku. Penempatan ini, menurutku, cukup merepotkan karena harus membolak-balik buku. Alangkah baiknya jika keterangan itu dibuatkan catatan kaki saja agar mudah dibaca. Overall, novelnya bagus! Kalau tertarik, jangan lupa baca utuh novel ini ya.
mantab ning..
BalasHapuswaaah menarik bangeeett
BalasHapuskebetulan aku habis baca Tempurung by Oka Rusmini trus ada yang rekomendasiin ini