Penulis: Gladhys Elliona
Penerbit: KPG
Hal: v + 109
Genre: Fiksi
Peresensi: Iva Misbah
Jarang sekali saya mau membeli buku dari penulis yang namanya tak saya kenal dan bukunya tak banyak direkomendasikan orang. Padahal, sebuah ungkapan populer dari Haruki Murakami yang jamak direproduksi di media sosial menyebut: “Kalau kita membaca buku yang sama dengan yang dibaca orang lain, kita cuma bisa berpikir seperti orang lain.” Nyatanya untuk membaca sesuatu yang berbeda butuh keberanian. Keberanian untuk memilih, memutuskan, dan menanggung konsekuensi dari apa yang dibaca kemudian: menarik tidaknya gagasan yang dibawa, indah tidaknya narasi, dan lain sebagainya. Buku kumpulan cerpen Tentang Desir adalah salah satu upaya saya untuk membaca sesuatu yang baru, karya yang belum saya tahu dan dari penulis yang tak saya kenal sebelumnya.
Ada sepuluh cerpen yang termuat dalam buku Tentang Desir. Hampir seluruh ceritanya banyak menggambarkan relasi manusia dan alam yang dituturkan dalam nuansa kuno dan mistis. Setting cerita menggunakan kerajaan, zaman penjajahan/perang, hutan, laut, dan gunung sebagai latarnya. Kepercayaan gaib, mitos, jejak masa lalu tersebar di banyak bagian cerita.
Cerpen Yunus dan Sang Paus, yang masuk menjadi finalis 10 besar Festival Sastra Universitas Gadjah Mada, menceritakan hubungan unik nan sakral antara manusia dan paus sperma betina. Yunus, si manusia, akan bertemu dengan Ma, sang paus, yang selalu datang berkunjung ke laut dekat kampung Yunus pada hari kesepuluh di bulan kesembilan setiap tahunnya saat air laut sedang hangat-hangatnya. Yunus akan berenang bersama Ma sepanjang hari. Pernah bertiga dengan anak Ma, seekor paus sperma jantan yang masih muda. Sayangnya, hubungan indah ini terpaksa berakhir karena perburuan paus yang dilakukan nelayan-nelayan di kampung Yunus tinggal. Di tahun kesepuluh pertalian Yunus dan Ma, rombongan nelayan pemburu paus yang dipimpin ayah Yunus berhasil menombak Ma. Yunus patah hati dan murka. Ia berlari ke pantai, hanya bangkai tulang Ma yang ia temukan.
Cerita yang lain, Raksasa judulnya, bercerita tentang pengalaman seorang pemuda yang melihat raksasa hijau besar saat mendaki gunung. Dalam cerita, si raksasa digambarkan tak mengganggu. Ia hanya ingin berteman dengan para pendaki dengan mengikuti mereka. Dalam Percakapan Gagak dan Rusa, Gladhys mengisahkan tiga orang pemburu rusa yang mencoba mematahkan kepercayaan masyarakat sekitar hutan tentang kutukan mati bagi orang yang membunuh rusa di hutan mereka. Ketiganya berhasil membunuh rusa dan bersiap menunggu kematian mereka. Dari kedua cerita itu, Gladhys menunjukkan pembelaannya pada mitos dan kepercayaan-kepercayaan mistis yang berkembang di masyarakat yang sejatinya memiliki fungsi merawat alam dan menjaga keberlangsungan hidup seluruh makhluk.
Gladhys juga menggunakan metafora dalam beberapa ceritanya. Cerita Murka Tiga Saudara saya duga adalah metafora dari letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Alih-alih menggambarkannya sebagai fenomena alam(iah) semata, Gladhys mengaitkan peristiwa letusan gunung yang menyebabkan tsunami dahsyat dan langit gelap selama setahun dengan perlawanan terhadap kolonialisme. Gugusan pulau hasil letusan Gunung Krakatau Purba pada 416 M yang kemudian membentuk Gunung Krakatau dipersonifikasi oleh Gladhys menjadi tiga sosok bersaudara yang merawat dan melindungi masyarakat. Begitu kaum penjajah datang dan membuat kerusakan, tiga saudara ini murka dan menghancurkan seluruh kehidupan yang ada di sekitar mereka, bahkan mereka sendiri.
“Tanpa keraguan sedikit pun, Saudari Tertua memuntahkan api dan cairan panas dari dalam perutnya. Ia meledakkan amarahnya. Separuh tubuhnya yang sangat besar itu terlempar ke segala arah, menghantam dan menghancurkan pulau beserta segala isinya.
Saudari Tertua melolong dan menjerit, pedih dan pilu. Suara lolongannya terdengar hingga ke negeri Barat. Langit menggelap di seluruh belahan bumi oleh asap hitam kemarahannya, seolah-olah ia ingin mengabarkan dukacitanya yang mendalam kepada dunia.” (halaman 78)
Metafora lainnya saya temukan pada cerpen Menunggu di Langit Ungu yang berkisah tentang sepasang kekasih yang berasal dari dua tempat berbeda: Hutan Berkilau dan Tanah Perkampungan. Hutan Berkilau adalah metafor untuk kehidupan masyarakat tradisional yang ramah pada alam dan lingkungan, mandiri, dan berkesinambungan; sementara Tanah Perkampungan adalah metafor kehidupan masyarakat modern perkotaan yang konsumtif, berbudaya massal, dan hiruk pikuk. Sepasang kekasih dengan latar budaya berbeda namun saling mencinta dalam cerita Menunggu di Langit Ungu ini akhirnya berpisah karena perang yang diikuti si lelaki pemuda Hutan dan tak dimengerti oleh si perempuan pemudi Tanah.
Perpaduan alam dan nuansa magis nan mistis bukan hal baru dalam dunia kesusastraan Indonesia. Membaca cerita-cerita dalam Tentang Desir mengingatkan saya pada sosok Parang Jati dalam Bilangan Fu Ayu Utami dan Jati Wesi dalam Aroma Karsa Dewi Lestari. Dalam keterangan biografi penulis dan catatan apresiasi, diketahui bahwa Gladhys, penulis Tentang Desir, pernah menjadi asisten kurator sastra di Komunitas Salihara dan dimentori langsung oleh Ayu Utami untuk penulisan. Saya menduga kedekatan Gladhys dengan Ayu dan Komunitas Salihara mempengaruhi cara tulis dan isi karya yang diproduksi Gladhys. Alam, kepercayaan mistis, mitos, dan kejadian gaib adalah beberapa hal yang kerap dihadirkan Ayu Utami dalam karya-karyanya. Alam bagi Ayu tidak bisa dipisahkan dengan mitos, karena daya pikat alam serta keberlangsungannya berpusat di situ. Kepercayaan kuno tentang makhluk gaib penunggu hutan, mitos kutukan dan tumbal, dan kepercayaan akan alam yang hidup dan memiliki jiwa merupakan modal purba yang terus merawat dan menjaga kelestarian alam di mana hal ini bertolak belakang dengan pengetahuan modern yang merusak dan eksploitatif. Kita bisa mengingat adegan Parang Jati, si pemanjat tebing dalam Bilangan Fu, yang menolak pemanjatan artifisial sebab banyak menggunakan peralatan yang dapat melukai tebing. Sebaliknya, Jati memilih pemanjatan bersih yang metode panjatnya hanya mengandalkan alat-alat ramah bebatuan tebing. Baginya, tebing adalah sesuatu yang hidup, yang dapat merasakan luka dan sakit.
Semangat dan perspektif alam Ayu Utami sepertinya juga melekat pada Gladhys dan cerita-ceritanya. Alam yang eksotik dengan mitos-mitosnya, cerita kehidupan kuno yang memikat, dan makhluk-makhluk gaib rupanya turut menjadi ketertarikan dan perhatian Gladhys. Meski demikian, persoalan alam ini tidak secara gamblang muncul sebagai pokok persoalan lingkungan yang dihadapi manusia hari ini: kerusakan alam, kaitannya dengan eksploitasi akibat ekonomi politik global yang destruktif, serta dampak dari kerusakan alam terhadap kehidupan secara umum, seperti yang jamak diangkat dalam sastra hijau. Sebagian besar kesan yang mungkin akan didapat oleh pembaca, seperti halnya saya, adalah kesan eksotisme alam yang romantis. Yang akan mengingatkan kita pada dongeng-dongeng yang dikisahkan kakek-nenek kita dulu, tentang hutan berpenghuni binatang yang bisa berbicara, bidadari yang tinggal di pegunungan, sungai-sungai jernih nan gaib, dan lautan yang mengandung misteri Nyai Ratu Kidul.
Akhirnya, pengalaman membaca Tentang Desir adalah pengalaman yang cukup menyenangkan. Menanti kejutan-kejutan yang mungkin didapat dari penulis yang baru saya kenal membuat saya terjaga dan terus membaca. It was fun!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar