Pengarang: Lauren Weisberger
Penerbit: Simon Schuster
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: 301
Genre: Fiksi
Nama Peresensi: Aida Mudjib
Terus terang, saya membuka Revenge Wears Prada dengansedikit bersemangat karena kata “revenge”-nya. Saya menontonfilm The Devil Wears Prada jauh sebelum membaca novelnyadan totally impressed by Miranda Priestly -atau mungkin lebihtepat Miranda versi Meryl Streep daripada Miranda versi asliWeissberger yang tak berperikemanusiaan sekaligussuperwoman. Di akhir buku pertama, Andy Sachs, merasatersiksa sebagai asisten junior Miranda. Ia berhenti daripekerjaannya di tengah Paris Fashion Week setelah disuruhmemperbarui paspor anak Miranda nun jauh di New York sanasebelum terbang ke Paris, dalam beberapa jam saja. Suatu hal yang mustahil.
Saya membayangkan, seusai dimaki “f*ck you” oleh Andy, Miranda akan melancarkan suatu pembalasan luar biasa.
Revenge Wears Prada dimulai satu dekade kemudian, denganAndy sekarang menjadi pemimpin redaksi majalah pengantinaspirasional bernama The Plunge bersama Emily. Andy sendirimenikah dengan Max Harrison, pria tampan dari keluargaternama. Dalam peran barunya sebagai direktur editorial rumahpenerbitan, Elias-Clark selain tetap sebagai Chief Editor Runway, dia mendekati Andy dengan tawaran besar untukmengakuisisi The Plunge. Malapetaka pun terjadi.
Atau seharusnya begitu.
Weisberger, seperti di novel pertamanya, sepertinya tidakmenyadari bahwa antagonis sejati di cerita Andrea Sachs bukanlah Miranda Priestly –tapi Andy Sachs sendiri. Sepuluhtahun setelah meninggalkan pekerjaannya dengan Miranda, Andy masih memiliki mimpi buruk tentang mantan bosnya. Andy sepertinya tidak pernah memikirkan kemungkinan bahwaMiranda Priestly memiliki semua pengaruh besar karena diasangat baik dalam pekerjaannya. Atau di sisi lain, ia teguh dalam pendapatnya karena kesuksesan telah memberinya kepercayaan tinggi.
Andy tidak memiliki keahlian terkait itu. Ia hanya pintar menulisnamun dengan selera fashion yang sering membutuhkan bantuanEmily.
Satu-satunya hal yang paling menarik tentang industri fashion, adalah dikatakan sebagai mesin keinginan konsumen. Inti dariThe Plunge adalah untuk menggoda para calon pengantindengan pernikahan fantasi yang tidak akan pernah mampumereka raih. Di sisi lain, satu-satunya hal terbaik tentangindustri fesyen adalah kenyataan bahwa ini adalah 'industritriliunan dolar' yang menghargai kreativitas, seringkali dalambentuk yang tidak sesuai dan subversif. Jika Andy dengan caraapa pun selaras dengan seni, atau ide fesyen, Weisberger tidakmampu untuk menunjukkannya.
Dalam cerita Weisberger, Andy terlihat sangat baik –tapi kerapmenunda solusi, tidak komunikatif, berburuk sangka, keraskepala tapi munafik. Andy tidak menyukai Miranda tapimenggunakan jaringan & nama sebagai mantan asisten Miranda Priestly untuk mewawancarai selebritis. Yang lebih gila, Andy menikmati fakta bahwa kehamilannya berguna. Miranda memiliki soft spot kepada ibu hamil. Andy bahkan dengansenang hati menerima kado selimut bulu minx dan catatankehamilan serta pengasuhan anak Miranda.
Lalu bagaimana dengan revenge? Well, revenge seharusnyamengacu pada Miranda, jadi tidak masuk akal karena dia tidakmemiliki keinginan untuk membalas dendam. Miranda inginmendapatkan majalah mereka murni karena berprospek bagus. Dia bahkan tidak ingat sama sekali bahwa Andy atau Emily pernah bekerja padanya.
Andy memutuskan tanpa keraguan sedikitpun bahwa mengambiltawaran akuisisi Elias Clark adalah hal yang salah untukdilakukan. Meski sebagai investor, Emily dan Max setujudengan akuisisi, tetapi Andy memilih untuk tidak menjual tanpamenjelaskan alasannya kepada sahabatnya atau kepada suamitercintanya.
Dia tidak bisa memberikan alasan karena dia tidak punya alasanvalid selain: Miranda jahat, titik.
Tidak hanya itu, Andy tampaknya tidak memiliki keberanianuntuk keyakinannya. Bahkan, ia tampaknya malah tidakmemiliki keyakinan pada dirinya. Padahal, Max dengan sangatbijak sudah memberi pendapat.
"You know how to stand up for yourself against bullies, Andy, and when push comes to shove that's all Miranda really is. Your standard fare, run of the mill schoolyard bully." (hal. 245)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar