Perjalanan FIlsafat Barat Sejak Abad 16 sampai Abad 20
Judul: Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche
Penulis: F Budi Hardiman
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: pertama, 2004
Tebal Buku: xv + 312 halaman
ISBN: 979-22-1043-1
Modernitas yang kita nikmati dan agung-agungkan saat inibukan anugerah yang turun dari langit, melainkan lahir daridialektika pemikiran para filsuf setelah 4 abad lamanya.
Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan materi penulis ketikamengajar filsafat di STF Driyarkara dan Universitas Pelita Harapan Jakarta sejak tahun 1992. Di sela-sela kesibukantersebut, Budi Hardiman juga aktif dalam dunia kepenulisan. Diantaranya menjadi penulis esai di Harian Kompas, jurnal ilmiahKalam, Diskursus, dan beberapa lainnya.
Buku Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche sendiri merupakan buku ke-7 dari buku-buku nya yang lain, adayang berbahasa Inggris, Jerman, dan Indonesia. Perbedaan bahasa pada setiap karya tulis tidak lepas dari gelar Magister dan Doktor yang ia dapatkan di Universitas Hochschule fur Philosopie Munich, Jerman.
Genealogi Pemikiran Sejak Abad Pencerahan
Sebagai sebuah materi filsafat, buku Filsafat Modern cukupmenyenangkan. Tidak hanya menampilkan dialektika pemikiranpara tokoh secara runtut, penulis juga mencantumkan berbagaipernak-pernik pendukung yaitu kata-kata mutiara para tokoh, cuplikan teks asli, catatan pinggir, foto filsuf, tips praktis, bagan, dan anekdot. Pada bagian paling belakang, tersedia kamus mini untuk membantu pembaca semakin memahami isi buku.
Buku ini terdiri dari 10 bab yang membahas genealogi bangunpemikiran filsafat barat sejak era Machiavelli pada abad ke-16. Sebagai buku pengantar dalam memahami filsafat, penulismengkhususkan bab pertama sebagai pembuka perbincangan. Di dalamnya membicarakan tentang definisi modernitas, ciri khasparadigma modernitas, serta bagaimana semangat intelektualpertama kali muncul dari kondisi masyarakat yang terkungkungdogma agama yang bersifat otoriter (abad kegelapan).
Pengantar ini penting sebagai titik awal pembaca memahamisemangat para filsuf modern. Terpantik dari kondisi sosialmasyarakat Eropa yang sedemikian tertutup kabut dogmatismeKristen, tidak heran pemikiran filsuf awal era ini berkutat kepadakonsep hubungan negara dan agama, manusia dan Tuhan, sertakemampuan individu dalam menemukan kebenaran.
Tiga topik tersebut terus dikembangkan oleh pemikir setelahnyasejak bab ketiga. Pada bagian ini, barulah pembaca memasukizona dialektika antara Rasionalisme yang diwakili oleh para filsuf Prancis (Rene Descartes dkk) dan kelompok filsufEmpirisme yang berada di Inggris. Masing-masing madzhabmendapatkan porsi penjelasan yang seimbang.
Dalam setiap -isme, Penulis mengulas beberapa tokoh dari madzhab pemikiran tersebut yang dianggap paling populer dan signifikan. Misalnya dalam bab Empirisme, tercantum namaThomas Hobbes yang menyatakan manusia sebagai mesin anti-sosial sehingga harus berada dalam otoritas lebih besar yaitunegara, John Locke yang mengkritik keras kelompok Rasionalisme karena ia anggap hanya me-reproduksi konsep pemikiran Plato, begitupun dengan Berkeley dan David Hume yang menolak hukum kausalitas.
Namun pada bab ke-enam, Penulis secara intens hanyamembahas profil dan pemikiran Immanuel Kant, filsuf asalJerman yang berhasil mensintesiskan rasionalisme dan empirisme sebagai kesatuan instrumen pengetahuan manusia. Filsuf satu ini memang memiliki pemikiran yang sangatkompleks dan menarik, sekaligus relatif rumit. 25 halamandalam bab ini menceritakan Kant dan seluruh upayanya dalam menolak metafisika sebagai bentuk kebenaran melalui bangunpikir Kritisisme miliknya. Namun rupanya belum sepenuhnya berhasil.
Filsafat Kant menuai kritik pedas dari para filsuf sesudahnyayang juga sama-sama berasal dari Jerman. Dalam kelompok ini, ada nama-nama yang cukup populer kita dengar sampai saat iniyaitu Johann Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Joseph Schelling, dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Madzhabmereka bernama idealisme.
Ketertarikan utama idealisme terletak pada relasi antara subjekdan objek. Lahir sebagai kritik filsafat Kant yang mengatakanbahwa objek mengarahkan diri kepada subjek, idealismemengatakan bahwa subjek lah yang menangkap objek. Idealismemenolak keberadaan das ding an sich sebagai inti tak kasat matasetiap objek (ciri khas pemikiran Kant), karena unsur tersebuttentu bersifat metafisika dan dengan demikian, mempercayainya adalah kembali kepada dogmatisme.
Tipe kalimat yang santai dan sedikit verbal sangat membantupembaca memahami ulasan yang lebih jlimet. Misalnya ketikaPenulis mengawali transisi antara pembahasan filsafat Kant kepada pembahasan Idealisme. Dengan gamblang, iamenuliskannya seperti berikut:
“Menurut Kant, adanya Das ding an sich ini menjadi sebabunsur materi dari pengindraan. Das ding an sich tidak bisa kitaketahui karena melampaui pengetahuan kita. Lalu bagaimanakita bisa mengatakan bahwa ia menjadi ‘sebab’ sesuatu?”.
Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Ketika para filsuf Jerman sedang asik membicarakan Idealisme, dunia intelektual Prancis dilanda badai Positivisme. Di abad ke-19, Auguste Comte, bapak Positivisme mulai mencanangkanperlunya alat pengetahuan yang berguna praktis bagi kehidupansosial masyarakat. Demi tujuannya, ia pun mengadopsi sebuahilmu baru bernama Fisika Sosial atau yang kita kenal saat inidengan Sosiologi.
Abad ke-19 adalah era perpisahan antara Filsafat dengan ilmu-ilmu lain seperti Matematika, Biologi, Astronomi, Fisika, Kimia, dan Sosiologi yang sudah ada saat itu. Fase ini sekaligus juga menandai kelahiran ratusan ribu ilmu yang kita pelajarisekarang, sedangkan Filsafat menjadi fakultas ilmu tersendiri.
Akhir Masa Filsafat Modern
Pada bab 9 dan 10, pembaca mulai memasuki zona kritikterhadap idealisme maupun keseluruhan ide modernitas yang telah terbangun selama ratusan tahun.
Idealisme sebagai konsep yang ditampilkan sedemikian kokohdalam buku ini ternyata tidak berumur panjang. Bibitpemberontakan terhadap Idealisme telah tampak sejakkemunculan generasi Hegelian sayap kanan dan sayap kiri.Adapun nggota Hegelian sayap kiri yang pada akhirnya berpisahjalan tersebut adalah adalah Karl Max dan Ludwig Feuerbach.
Bab terakhir buku ini membahas seorang filsuf yang seringdianggap terlampau jenius oleh jamannya yaitu Friederich Wilhelm Nietzsche. Nama Nietzsce masih menjadi perbincangansampai hari ini karena keberaniannya menggugat kemapananfilsafat modern.
Dengan filsafatnya yang dikenal dengan PerspektivismeNietzshe, ia menyatakan bahwa kebenaran sepenuhnya adalahbersifat perspektif. Sistem-sistem filsafat tak kurang daripadasebuah pengakuan subjektif sang filsuf dengan kedokrasionalitas. Dengan demikian, apa yang berusaha setiap orang rumuskan sebagai kebenaran pengetahuan sebenarnya adalah upaya mewujudkan hasrat kekuasaan diri atau kelompok mereka.
Penutup
Pada dasarnya, setiap orang perlu belajar filsafat untukmenumbuhkan sifat kritis terhadap segala sesuatu. Apalagi di era kecanggihan teknologi saat ini, dimana arus informasi tak bisadibendung. Seseorang yang tidak memiliki tata logika yang benar, akan mudah terbawa arus karena menelan setiapinformasi begitu saja.
Namun sayangnya, filsafat hari ini masih lekat dengan stempeltabu di masyarakat Indonesia. Seringkali, filsafat dipercayadapat mengancam bangun keyakinan agama seseorang. Apakahitu benar?
Tentu saja tidak. Dari perjalanan filsafat modern di atas, kitadapat menyaksikan sendiri bagaimana pemikiran kritis dan mendalam terus dipraktekkan dari satu generasi ke generasi. Semangat untuk mempertanyakan segala sesuatu inilah yang harus kita tiru untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar