sumber: mizanstore
Judul : Max Havelaar
Penulis : Multatuli
Penerbit : Qanita
Tahun Terbit : 2014
Cetakan ke : I
Halaman : 474
Genre : Fiksi
Peresensi : Aida Mudjib
Kisah Max Havelaar didasarkan pada pengalaman nyata Eduard Douwes Dekker, yang merupakan asisten gubernur di Hindia Timur yang memprotes pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi. Akibatnya ia dikeluarkan dari pekerjaannya. Dekker pulang ke Amsterdam lalu dengan buku ini dia membalas orang-orang yang bertanggung jawab atas pemecatannya.
Ada tiga narator dalam rangkaian kisah ini. Narator pertama adalah Batavus Droogstoppel, seorang makelar kopi pembenci syair. Ia tak sengaja mendapatkan lembaran-lembaran laporan perkebunan kopi dari Syaalman (saya penasaran apakah ini maksudnya pria memakai syaal atau nama Salman), seorang penyair miskin. kedua adalah Stern seorang penulis Jerman yang diupah Droogstoppel untuk memilah naskah syaalman, dan ketiga adalah Multatuli sendiri.
Pertama-tama, ceritanya dimulai di Amsterdam dengan karakter random menceritakan kisah-kisah yang agak tidak berhubungan. Butuh kesabaran membaca banyak bab untuk masuk ke cerita utama.
Multatuli membawa kita ke HIndia Timur Belanda, di mana Max Havelaar menerima Tugas pada jabatan yang cukup bertanggung jawab tinggi dan berusaha berjuang untuk menemukan jalan antara kebutuhan penduduk lokal yang tertekan, hierarki ketat Belanda dan kapasitasnya sendiri sebagai asisten residen.
Buku Max Havelaar ini berkisah tentang Max selama ia menjabat sebagai asisten residen, ia menjumpai banyak warganya yang menjadi korban tindakan sewenang-wenang dari Bupati Lebak (seorang pribumi). Banyak warga yang sawah dan ternaknya dirampas atau dibeli dengan harga yang tidak sesuai oleh Bupati Lebak. Kejadian ini dibiarkan begitu saja oleh Residen Banten (orang Belanda). Residen memberikan laporan yang tidak sesuai dengan kodisi masyarakat sebenarnya kepada Gubernur Jendral (warga Belanda). Dalam laporan tersebut seolah tak ada penindasan yang terjadi di daerahnya. Sebagai Asisten Residen Lebak, Max banyak menerima aduan dari masyarakat mengenai ketidakadilan sang Bupati. Max Havelaar pun melaporkan keluhan masyarakat agar Residen mau memecat Bupati Lebak. Max Havelaar juga melaporkan keluhan tersebut ke Gubernur Jendral. Permintaan Max Havelaar ditolak, dan justru ia yang diberhentikan.
Peringatan awal, sebagian besar Max bagi banyak orang akan sukar dimengerti atau membosankan karena disusun dengan nada formal juru tulis abad ke-19 ketika mereka menulis dokumen resmi satu sama lain. Ini adalah buku dengan gaya bercerita berlapis-lapis. Bak sebuah Matrioska. Bukan novel yang ditulis secara konvensional tetapi campuran humor, paparan, puisi, surat, dan catatan ekstensif. Hanya menjelang akhir buku alur ceritanya jauh lebih baik, untunglah.
Minus lain, buku ini ditulis oleh seorang Belanda dan dengan demikian POV-nya "kolonial", Multatuli memang dengan karakter Max berhasil menyangkal stereotip dan hubungan superioritas antara terjajah dan penjajah, meskipun terasa seolah buku tentang seorang pria kulit putih yang ingin pujian karena berdiri di atas sistem kolonial yang tercela.
Dikisahkan bahwa yang melakukan penindasan adalah sang Bupati, yaitu bangsa pribumi. Sementara dosa dari bangsa Belanda hanya kepengecutan, yaitu Residen dan Gubernur Jendral, karena mereka membiarkan penindasan tersebut terjadi.
Multatuli mungkin lupa jika kemudian sistem tanam paksa adalah dosa terbesar yang menyengsarakan masyarakat -bila dirunut untuk memenuhi kewajiban tersebut lah yang membuat Bupati Lebak tega pada rakyatnya.
Ini nukilan jelasnya:
"Ya, saya Multatuli... Maka saya akan meminta sebuah tempat di parlemen...
Ditujukan untuk memprotes ekspedisi tanpa akhir dan tindakan heroik terhadap makhluk-makhluk malang menyedihkan yang awalnya terdorong melakukan pemberontakan akibat perlakuan buruk... ditujukan untuk memprotes kepengecutan memalukan yang menodai kehormatan bangsa…"
Okelah cukup bagus penulis menyerahkan narasi Max kepada Droogstoppel seorang pedagang -sama seperti Hindia Belanda yang dipandang oleh Penjajah Belanda saat itu hanya sebagai komoditas. Multatuli ingin memperlihatkan bahwa jika orang Amerika yang membaca Uncle Tom's Cabin -dan membutuhkan pelajaran moralistik tentang buruknya slavery, bisa sadar akan perbudakan; orang Belanda juga kan berubah setelah membaca Max.
Orang Belanda masa itu banyak yang tidak mengetahui apa yang terjadi di Hindia — dan merasa nyaman dengan ketidaktahuan mereka. Kebanyakan orang Belanda bahkan tidak tahu bagaimana Hindia diatur atau bagaimana hubungan jajahannya dengan bisnis impor mereka yang sedang berkembang.Sangat individualis. Merasa bahwa setiap orang harus memikirkan semua urusan mereka sendiri, masalah bangsa jajahan bukanlah masalah bangsa Belanda. Ironis sih karena masalah kosongnya kas Negeri Belanda adalah masalah Hindia yang berujung kebijakan cultuurstelsel alias tanam paksa.
Pada awal abad ke-20 Pemerintah Belanda mencoba untuk mencegah korupsi dan mulai berperilaku sedikit lebih baik, tidak menggunakan koloni untuk keuntungan saja. Politik etis dijalankan namun terlambat seabad saya rasa. Setelah Perang Dunia II, bangsa Indonesia tak ingin KLBK dan kukuh ingin merdeka.
Meski saya tidak sepakat dengan Eyang Pram bahwa kisah Max membunuh kolonialisme, buku ini jelas membuka borok busuk & menusuk jantung penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia sendirilah yang separuh abad kemudian mencabut belati & membuat Hindia Belanda mati kehabisan darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar