Judul Buku: Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam (Sehimpun Reportase)
Penulis: Rusdi Mathari
Penerbit: Buku Mojok
Tahun Terbit: 2018
Genre: Nonfiksi
Jumlah Halaman: 215
Peresensi: Zahrotun Nafisah
Kali pertama melihat judul pada buku ini, saya cukup bingung, apa maksud dari judul yang nampaknya sangat filosofis ini? Ternyata saya menemukannya setelah menuntaskan bacaan pada buku ini.
Himpunan reportase ini ditulis oleh Rushdi Matari, seorang jurnalis yang memiliki rentetan sepak terjang di berbagai media. Ia juga beberapa kali mendapat penghargaan untuk penulisan berita dari beberapa lembaga. Selain himpunan reportase ini, ia menulis beberapa buku yang merupakan ulasan kritik terhadap media, baik di Indonesia maupun internasional. Reportase yang kemudian dibukukan ini, ditulis olehnya rentang tahun 2007 hingga 2014. Tulisan ini juga telah diterbitkan di blog pribadinya. Buku ini berjumlah 19 tulisan. Ia terbagi menjadi dua bab, yang saya sendiri tidak tahu mengapa dibagi ke dalam dua bagian.
Buku ini terbit pada tahun 2018 yang diterbitkan oleh Mojok. Sebenarnya, ada lebih dari 30 naskah yang disodorkan. Karena beberapa alasan dan pertimbangan sehingga hanya 19 tulisan yang kemudian diterbitkan oleh Mojok.
Kumpulan reportasenya tak memiliki kesamaan tema. Tapi ada banyak kisah berharga perihal peristiwa kemanusiaan dan isu-isu sosial yang berkaitan dengan konstitusi negara dan pelanggaran HAM. Di antaranya catatan Rushdi yang mewawancarai penderita HIV. Ia menceritakan bahwa pengidap AIDS ini kerapkali dikucilkan oleh masyarakat. Hal ini akibat ketidaktahuan mereka mengenai penyakit HIV dan anggapan-anggapan negatif yang terlanjur melekat.
Misal, anggapan bahwa pengidap AIDS adalah pelaku seks bebas. Juga anggapan bahwa penyakit ini bisa menular dengan mudah begitu saja melalui udara, air liur, atau bahkan berjabat tangan. Seringkali, anak-anak yang mengidap penyakit ini karena bawaan dari orang tuanya. Sehingga ia harus menanggung beban yang bahkan ia sendiri tak menginginkannya. Beban yang berlipat ganda, dari penyakit yang ia idap dan stigma negatif dari masyarakat.
Ada kisah menarik juga mengenai kasus listrik yang tak pernah sampai di sebuah desa bernama Santren di Madiun. Berdasarkan pengamatan dan wawancara Rushdi dari dua belah pihak, yaitu masyarakat sipil dan pihak PLN, ada dugaan-dugaan dan alasan yang sifatnya subjektif. Desa yang sebenarnya tak jauh dari perkotaan itu sangat tak masuk akal bilamana tidak mendapatkan akses listrik di setiap rumah warganya.
Entah sudah berapa kali warga mengupayakan masuknya listrik ke desa mereka, bahkan sampai rela menabung, mengocek rupiah yang lebih demi mendapatkan listrik dan cahaya lampu di rumahnya. Di antara dugaan dari pihak masyarakat sipil mengapa listrik sulit masuk di desa Santren adalah Danang, salah satu warga setempat yang juga aktif memohon adanya akses listrik ke desanya, merupakan keturunan dari mantan PKI.
Kakeknya yang dari pihak ibu merupakan ketua Barisan Tani Indonesia yang merupakan ormas milik PKI. Ia ditunjuk sebelum terjadi huru-hara politik pada 30 September 1965. Tapi beruntungnya, kakeknya tidak masuk menjadi orang yang dieksekusi tanpa pengadilan karena terduga terlibat PKI di era Soeharto.
Dugaan itu muncul dari Danang sendiri yang menurut Rushdi dalam catatannya dianggap tidak berlebihan. Ia menduga, hal itu menjadi salah satu alasan kuat bagi PLN yang enggan mengupayakan adanya listrik di desa Santren. Tapi pihak PLN ternyata membantah, mereka mengaku bekerja secara profesional. Tidak diketahui oleh saya, apakah kini desa tersebut masih belum terpasang listrik dari PLN atau sudah.
Kisah lain dari pengidap AIDS dan sulitnya mendapatkan akses listrik dari PLN di Desa Santren, ada satu catatan reportase konflik Syiah-Sunni di Sampang yang terjadi pada tahun 2012. Berdasarkan catatan reportase yang diletakkan di halaman paling akhir ini, konflik ini berakar dari konflik keluarga yang lalu memiliki rentetan panjang hingga menimbulkan konflik dan diduga ditengarai oleh kepentingan politik.
Pada tulisan ini juga Rushdi secara adil menampilkan dua sisi masalah yang berasal dari kedua belah pihak, Sunni dan Syiah dan ternyata masing-masing pimpinan keduanya merupakan anggota keluarga. Catatan yang panjang ini sangat menarik untuk dibaca agar melihat dua sisi konflik Sunni dan Syiah yang terjadi di Sampang.
Pada tulisan terakhir inilah akhirnya ditemukan, mengapa judul buku yang diambil dari judul tulisan terakhir ini terpilih. Ada seorang Kiai di Kecamatan Omben yang mengatakan, “emok ngetong jhelenna ajem, kaloppae sokona dhibhik niddhek tamaccok.” (mereka hanya sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi ayam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar